Teknologi Kecerdasan Buatan: Alternatif dalam Asistensi Perpajakan

 

 

Oleh: Rimba Maulana, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *)

 

Teknologi informasi menjadi andalan para pelaku bisnis di era digital. Kini, banyak pelaku bisnis yang telah menggunakan teknologi informasi dalam menjalankan usahanya. Terdapat salah satu kemajuan teknologi informasi dunia termutakhir yang mulai dilirik oleh pelaku bisnis. Teknologi tersebut berupa kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Kecanggihan AI memang menggoda. Para pelaku bisnis beramai-ramai mengadopsi teknologi ini. Tak hanya sebatas merancang strategi, oleh pelaku bisnis, AI dipergunakan dalam pengambilan keputusan demi meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang berujung pada pertumbuhan dan laba.

Tren penggunaan AI dalam rangka mencari informasi ataupun panduan berbagai hal cenderung meningkat. Salah satunya terkait dengan informasi perpajakan, sehingga pelaku bisnis dapat lebih responsif dalam memahami pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya.

Wajib Pajak (WP) sering kali merasa kesulitan dalam mengoperasikan sistem perpajakan yang relatif kompleks. Peraturan perpajakan yang dinamis, serta proses pengisian formulir yang memerlukan waktu panjang, membuat banyak WP memerlukan layanan asistensi digital.

Sebenarnya, akses informasi perpajakan sudah dapat diperoleh dengan mudah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Situs Pajak dan kanal resminya telah menyajikan segudang resume, artikel, maupun konten terkait perpajakan. Tak mau ketinggalan, berbagai mitra DJP juga berlomba-lomba membagikan informasi perpajakan. Sayangnya, tak banyak WP yang memiliki keluangan waktu untuk sekadar mencari informasi tersebut secara mandiri.

Berkaca pada pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, sejumlah WP cenderung hanya “ikut-ikut isian temannya saja”. Padahal, kondisi tersebut menyebabkan tujuan untuk mengisi SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas menjadi tidak terpenuhi. Akibatnya, muncul potensi ketidaksesuaian data yang berujung penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dari DJP. Oleh karenanya, informasi yang sederhana namun komprehensif menjadi penting kehadirannya, agar WP dapat menjalankan hak dan kewajiban pajaknya dengan benar.

Simplifikasi Informasi

Kehadiran AI mereduksi keterbatasan pemahaman perpajakan yang dihadapi oleh WP. AI mampu menyederhanakan informasi yang sebelumnya relatif sulit dipahami. Salah satu penerapan AI yang bermanfaat adalah chatbot berbasis AI. Teknologi ini mengandalkan akurasi dan kecepatan menjawab pertanyaan perpajakan secara real-time. Teknologi ini menggunakan pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP), sehingga dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sehari-hari.

Tidak hanya itu, AI juga dapat mempersonalisasi informasi perpajakan sesuai dengan kondisi unik, sehingga dapat memberikan panduan berdasarkan masing-masing karakteristik WP. Dengan demikian, WP tidak perlu lagi repot mencari ataupun menginterpretasikan sendiri ketentuan yang terkait.

Sebagai contoh, penggunaan chatbot AI untuk mengetahui kewajiban pajak dengan persona Orang Pribadi yang berdagang toko kelontong secara eceran dan memiliki omset Rp50 juta dalam sebulan. AI akan memberikan jawaban sederhana dan komperhensif sesuai dengan peraturan perpajakan terbaru.

Namun, walaupun AI memberikan jawaban cepat dan mudah, penting untuk diketahui bahwa sistem AI tidaklah selalu sempurna. Sebagai contoh lainnya, dalam menghitung PPh Pasal 21 yang diketahui bahwa ketentuan saat ini menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata/TER. Hasilnya, jawaban yang diberikan tidak sesuai meskipun telah ditambahkan dalam pesan agar disesuaikan dengan peraturan terbaru. Sehingga, penting untuk menggarisbawahi bahwa AI dapat memberikan panduan awal yang informatif. Namun, WP tetap perlu memastikan bahwa informasi yang diterima sesuai dengan peraturan terbaru agar terhindar dari potensi kesalahan penerapan peraturan pajak.

 Perbedaan Coretax dengan AI

Menjelang implementasi Coretax pada tahun 2025, DJP sedang menyebarluaskan informasi melalui edukasi kepada masyarakat. Coretax merupakan bagian dari Reformasi Perpajakan Jilid III yang berlangsung dari tahun 2017 hingga saat ini. Dilansir dari https://pajak.go.id/reformdjp/, DJP telah merumuskan 10 business directions sebagai acuan dalam pengembangan organisasi, proses bisnis, dan sistem yang akan datang dalam rangka Reformasi Perpajakan. Salah satunya yaitu Data & Knowledge Driven yang menitikberatkan pada optimalisasi pemberian layanan dan penyelesaian proses yang berbasis data dan pengetahuan dengan memanfaatkan Business Intelligence, Knowledge Management, dan Compliance Risk Management.

Menurut Carlo Vercellis, Business Intelligence (BI) adalah kategori luas dari aplikasi dan teknologi untuk mengumpulkan, menyediakan akses, dan menganalisis data dengan tujuan membantu pengguna perusahaan dalam membuat keputusan bisnis yang lebih baik (Vercellis, 2009). Nantinya, Coretax memiliki alat analisis dan BI yang akan menganalisis data dari bahan mentah hingga menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan oleh DJP.

Walaupun keduanya merupakan kecerdasan berbasis teknologi, BI berbeda dengan AI. Secara sederhana, BI memberikan wawasan berbasis data untuk para pengambil keputusan, sementara AI mampu bertindak berdasarkan wawasan tersebut dengan lebih mandiri dan otomatis. Dalam pengembangan selanjutnya, DJP akan memfasilitasi peran baru dan peningkatan peran yang ada melalui perubahan yang dimungkinkan oleh teknologi seperti  big data analytics, artificial intelligence, dan shared services. Hal ini disebutkan dalam Centralized Key Capabilities in Centers of Excellence, salah satu business direction lainnya.

Kehadiran AI dapat memberikan banyak kemudahan dalam dunia perpajakan. Dengan teknologi AI, WP dapat memperoleh informasi perpajakan hingga dapat menjadi alternatif dalam asistensi perpajakan.

Namun, penting untuk diingat bahwa WP belum dapat sepenuhnya bergantung pada teknologi ini. Informasi yang diberikan oleh AI, meskipun canggih dan efisien, WP tetap disarankan untuk selalu melakukan konfirmasi atas informasi yang diterima dengan berkonsultasi langsung ke Penyuluh Pajak di KPP atau layanan informasi resmi DJP. Dengan cara ini, WP dapat memastikan jawaban yang diperoleh sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga dapat terhindar dari potensi kesalahan atau pelanggaran.

Di masa depan, kita berharap bahwa perkembangan teknologi AI akan lebih dapat membantu dari sisi perpajakan. Sinergi antara kecerdasan manusia dengan teknologi, diharapkan akan menghadirkan sistem perpajakan di Indonesia yang semakin inklusif. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.  

BERITA TERKAIT

Fenomena "Gig Economy" dan Side Hustle: - Realita Baru Dunia Kerja Anak Muda

      Oleh: Diana Triwardhani, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta   Di era digital seperti sekarang ini, cara orang…

Aksi Indonesia Gelap Rawan Ditunggangi Kepentingan Politik

    Oleh : Aditya Anggara, Pemerhati Sosial Politik    Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial dan ruang publik diramaikan…

Strategi Melawan Pelemahan Ekonomi Lewat Kolaborasi dan Teknologi

    Oleh : Dian Susilawati, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam menghadapi tantangan pelemahan ekonomi global…

BERITA LAINNYA DI Opini

Penyelarasan Kebijakan Anggaran Pusat dan Daerah

  Oleh: Dr. Mahpud Sujai, Pejabat Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh   Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku di Indonesia sejak…

Menolak Demo Indonesia Gelap, Saatnya Bersatu Demi Keberlanjutan Pembangunan

  Oleh : Kurniawan Binangkit, Pengamat Sosial Politik   Peringatan Hari Reformasi pada 20 Mei seharusnya menjadi momentum refleksi dan…

Swasembada Pangan: Pilar Penting Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

    Oleh: Sadena Devi, Pemerhati Pangan    Pemerintah Indonesia terus menunjukkan keseriusannya dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan…