Hegemoni Kekuasaan Korporasi

Awal hingga pertengahan tahun 2024, Indonesia dihadapkan dengan banyak persoalan konflik politik yang menimbulkan protes yang tak wajar. Dari pelanggengan otoritas kekuasaan secara sepihak dengan mengubah skema produk hukum demi meloloskan GRA (Calon Wapres) melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai perluasan tafsir mengeai penentuan persyaratan untuk menjadi Kepala Daerah (minimal 30 tahun saat dilantik sebagai Kepala Daerah, bukan pendaftaran), yang diindikasikan kepada Kaesang Pangarep dalam kontestasi Pilkada 2024 secara serentak, yang keduanya putra Jokowi merupakan ironi matinya demokrasi.

Ditambah dengan viralnya kalimat “All Eyes on Papua” di sosial media, ada aksi demo yang dilakukan oleh masyarakat lokalitas papua untuk menyuarakan pembelaannya atas situasi dan kondisi yang ada di Papua. Kami menduga ada pertentangan dinamika konflik antara masyarakat lokalitas adat dengan korporasi kapital.

Kemudian di Juni, yang seharusnya dirayakan dengan agenda Bulan Bung Karno melalui wejangan revolusi untuk membangun bangsa Indonesia lebih baik, malah disajikan dengan bertambahnya daftar konflik era Presiden Jokowi. Viralnya kalimat “All Eyes on Papua” (semua mata tertuju pada Papua) merupakan protes terhadap warga lokalitas adat Papua, untuk bertahan hidupnya di hutan adat, bakal diambil oleh PT IAL. Hutan adat tersebut dikabarkan akan dibabat habis dan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit yang seluasnya seperti kota Jakarta, di hutan Boven Digoel, Provinsi Papua Pegunungan.

Jika proyek tersebut terlaksana, konsekuensinya adanya dapat mengancam bagi warga lokalitas adat Papua, terkhusus Suku Awyu dan Woro yang berjumlah ratusan. Karena bagi mereka, bahwa hutan adat merupakan sumber penghidupan bagi mereka akan hilang dan terancam. Bahkan, tak sedikit warganet menyuarakan hutan adat Papua akan dibabat habis untuk perkebunan sawit. Konon kabarnya ada 7 perusahaan yang bakal beroperasi melalui Proyek Tanah Merah.

Tidak hanya itu. Pemerintahan provinsi setempat disebut-sebut memberikan izin atas lingkungan hidup untuk PT IAL, dengan mengantungi izin seluas 36.094 hektar di hutan adat suku. Namun perizinan tersebut ditolak secara tegas oleh suku Awyu dan Woro, dan kemudian digugat oleh Hendrikus Woro di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, pada Kamis (28/10/23), dan putusan tersebut memenangkan pihak korporasi. Kemudian berlanjut ke Mahkamah Agung (MA), kasasi merupakan harapan terakhir dalam menyelamatkan hutan adat. Ia berharap MA mencabut izin lingkungan PT itu.

Lalu soal deforestasi seperti diungkapkan oleh eks Menko Polhukam Mahfud MD yang dipublikasikan Kompas.com, menyebutkan angka deforestasi terjadi dikawasan hutan Indonesia mencapai 12,5 juta hektar, 2.500 tambang ilegal (tanpa Izin Usaha Pertambangan/IUP), lebih luas dari daratan Korea Selatan dan 23 kali luas pulau Madura. Tentu fenomena ini cukup menjadi perhatian penting keberpihakan bagi Pemerintah, khsusunya rezim dibawah Pemerintahan Jokowi mengatasi krisis lingkungan.

Tentu dalam konteks ideologi Pancasila, rezim pemerintahan Jokowi dipertanyakan dalam implementasi kebijakan yang ideologis, terutama dalam melaksanakan sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bukan segelintir oligarki kekuasaan yang menghantui aktivitas masyarakat.

Melihat realitas tersebut, menjadi refleksi bagi kita sebagai rakyat Indonesia agar tidak terjadi adanya konflik berkepanjangan yang sedang terjadi di Papua, terkait dengan pengalihan hutan adat menjadi perkebunan sawit. Dengan kata lain, bahwa konflik yang merugikan hutan adat atas nama kepentingan negara untuk rakyat adalah distorsi dan pembodohan publik. Bahkan konflik warga lokal adat Papua dengan kepentingan korporasi tidak hanya mengancam lingkungan, namun juga keberlajutan ekosistem Papua yang berdampak secara sosial dan budaya, hanya bergantung pada hutan adat tersebut.

Konflik hutan adat di Papua yang bermuara pada konvensi lahan ke perkebunan sawit, merupakan gambaranya nyata problem yang kompleks dalam mengawal isu lingkungan hidup yang dihadapi diseluruh dunia, seiring dengan ditunjukkankan realitas memburuknya pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan sumber daya alam. Menurut kami, melindungi hutan adat serta mendukung adanya pertanian alternatif dan berkelanjutan adalah langkah dalam menjaga keseimbangan ekologi serta menghormati hak masyarakat adat. Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengajarkan bahwa pentingnya menjaga keberlangsungan lingkungan alam demi kesejahteraan manusia dan ekosistem.

BERITA TERKAIT

Transportasi Era Jokowi

  Pembangunan ekonomi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama satu dekade terakhir telah membawa perubahan yang signifikan. Salah…

Perkuat Ekonomi Nasional

Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu kebijakan penting pemerintah dalam memajukan perekonomian nasional. UU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja…

Bertahan Hidup Ekonomis

Sebagian besar masyarakat strata terbawah saat ini bergantung pada pekerjaan informal seperti pedagang kaki lima (PKL) atau buruh harian, yang…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Transportasi Era Jokowi

  Pembangunan ekonomi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama satu dekade terakhir telah membawa perubahan yang signifikan. Salah…

Perkuat Ekonomi Nasional

Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu kebijakan penting pemerintah dalam memajukan perekonomian nasional. UU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja…

Bertahan Hidup Ekonomis

Sebagian besar masyarakat strata terbawah saat ini bergantung pada pekerjaan informal seperti pedagang kaki lima (PKL) atau buruh harian, yang…