Beban Fiskal vs Suku Bunga Tinggi

 

Oleh: Marwanto Harjowiryono

Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal

 

Bertenggernya suku bunga pada tingkat yang tinggi dan bertahan lama, berlangsung dalam perekonomian global. Awalnya dimulai saat perekonomian global menghadapi tekanan tinginya inflasi paska pandemi Covid-19. Hampir seluruh otoritas moneter di negara-negara besar di dunia menggunakan intrumen suku bunga untuk mengendalikan inflasi agar dapat mereda.

Faktanya,  inflasi belum sepenuhnya mereda namun suku bunga tetap bertahan tinggi dalam kurun waktu  yang cukup lama. Pengelola kebijakan moneter  Indonesia pun turut terseret dalam pusaran kebijakan global ini, meski dengan latar belakang yang sedikit beda. Perlu dipahami bahwa perekonomian nasional saat ini memang  sangat terbuka, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh gejolak perekonomian global.

Kondisi masih bertahan tingginya suku bunga  ini yang membebani perekonomian global untuk tidak tumbuh cepat paska pandemi Covid-19. Situasi perekonomian Indonesia sedikit berbeda. Inflasi relatif terkendali, suku bunga tergolong tinggi, dan nilai tukar tertekan  dan merosot.

Belakangan berbagai  pihak  mulai mempertanyakan kenapa suku bunga tetap tinggi, meskipun inflasi sampai dengan Juni 2024 relatif rendah,  sekitar 2,84 % (yoy). Bahkan, beberapa pihak mulai membandingkan dengan kebijakan yang ditempuh oleh beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Korea  Selatan, yang berani menahan dan bahkan menurunkan suku bunga, namun nilai tukar mereka tidak merosot dalam.

Bank Indonesia selaku otoritas moneter menanggapi  bahwa tetap tingginya suku bunga tidak terlepas dari upaya untuk untuk mengendalikan capital outflow, sehingga rupiah dapat menguat kembali. Kebijakan ini merupakan kebijakan bank sentral yang independent dalam rangka mengelola suku bunga guna  mencapai sasaran kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran dan kebijakan makro prudensial.

Padahal pada sisi lain, tingginya suku bunga akan berdampak kepada makin tingginya beban dunia usaha, yang pada giliranya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tingginya suku bunga akan berdampak juga  terhadap makin  tingginya  beban belanja APBN, teritama untuk pembayaran bunga utang.

Dalam APBN 2024 misalnya, asumsi dasar ekonomi makro yang cukup kuat pengaruhnya terhadap pelaksanaan anggaran meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, yield SBN 10 tahun, disamping harga dan produksi migas. Asumsi suku bunga (SBN 10 tahun) yang digunakan dalam perhitungan APBN 2024 sebesar 6,7%, sementara realisasi yield SBN per 26 Juni tercatat 7.1 % atau rata-rata 6,83 % (ytd).

Meningkatnya suku bunga acuan dalam tahun 2024, akan mempengaruhi pergerakan suku bunga pasar, dan berujung pada naiknya yield SBN 10 tahun. Meningkatnya suku bunga akan mendorong naiknya  yield atas SBN yang baru diterbitkan pemerintah, serta SBN dengan yang bersuku bunga fleksibel.

Dampaknya belanja negara akan meningkat, yang akhirnya akan mendorong naiknya defisit APBN. Dalam konteks sensitivitas belanja, maka bila yield SBN naik 0.1 % (ceteris paribus) akan mendorong naiknya defisit sekitar  Rp 1,2 triliun.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, sinergi kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat urgen. Beban APBN 2024 akan membesar bila suku bunga tahun 2024 terus meningkat. Bahkan, akan mendorong biaya perekonomian yang membebani dunia usaha. Dampaknya, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Koordinasi dan kerja sama yang intens antara otoritas moneter dan fiskal  menjadi sangat vital. Harapannya  nilai tukar rupiah dapat menguat, namun suku bunga tetap dapat dikendalikan pada tingkat yang optimal untuk menggairahkan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

BERITA TERKAIT

Peran LPS Kini Melemah?

  Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom  UPN Veteran Jakarta   Pada kuartal pertama tahun 2025, ekonomi nasional tengah menghadapi tekanan…

Perkuat Sektor Manufaktur

Oleh: Agus Gumiwang Kartasasmita Menteri Perindustrian   Industri manufaktur di berbagai negara saat ini tengah menghadapi dampak dari ketidakpastian ekonomi…

Memacu Kinerja Bursa

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro,  MSi Dosen Pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Solo   Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…

BERITA LAINNYA DI

Peran LPS Kini Melemah?

  Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom  UPN Veteran Jakarta   Pada kuartal pertama tahun 2025, ekonomi nasional tengah menghadapi tekanan…

Perkuat Sektor Manufaktur

Oleh: Agus Gumiwang Kartasasmita Menteri Perindustrian   Industri manufaktur di berbagai negara saat ini tengah menghadapi dampak dari ketidakpastian ekonomi…

Memacu Kinerja Bursa

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro,  MSi Dosen Pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Solo   Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…