Oleh: Marwanto Harjowiryono
Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal
Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD dan DPRD telah selesai dilaksanakan. Belanja negara yang dikeluarkan untuk mendukung agenda pesta demokrasi tersebut terbilang cukup besar, sekitar Rp 71 triliun jumlahnya, termasuk biaya persiapannya sejak tahun 2022. Suatu jumlah yang cukup besar, namun itu sebanding dengan telah tersalurkannya pilihan rakyat atas pimpinan negara dan legislatif untuk lima tahun ke depan.
Pada masa Pemilu umumnya kegiatan investasi menurun, karena investor terutama yang berasal dari dari luar negeri memilih untuk melihat perkembangan situasi (wait and see) terutama perkembangan sosial dan politik yang terjadi sebelum dan paska pemilu. Mereka juga mempertimbangkan figur Presiden dan Wakil Presiden terpilih serta mencermati berbagai janji yang ditebarkan masa kampanye. Harapan kita, setelah ditetapkannya Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan membawa kepastian dan angin segar pada dunia usaha.
Apakah berbagai janji Presiden terpilih masa kampanye dapat dilaksanakan di tahun 2024? Paling tidak sampai dengan Oktober, dimana Presiden Jokowi masih bertindak sebagai Kepala Pemerintahan, yang sekaligus sebagai Bendahara Umum Negara (yang kemudian didelegasikan kepada Menkeu), maka janji presiden terpilih belum bisa di eksekusi. Apalagi semua DIPA Kementerian/Lembaga yang menjadi landasan hukum pencairan anggaran, juga belum memasukkan program dan kegiatan yang menampung berbagai janji tersebut.
Lantas apakah setelah pelantikan Presiden terpilih di bulan Oktober 2024 nanti janji tersebut dapat dieksekusi? Secara legal bisa, karena Presiden baru dapat mengajukan perubahan APBN 2024 kepada DPR pada bulan November. Namun sisa waktu eksekusi hanya tinggal 1,5 bulan, itupun bila pembahasan di DPR dapat diselesaikan dengan cepat.
Sisa waktu yang sangat riskan dan berisiko untuk mengeksekusi program baru dalam APBN. Jadi berbagai janji Presiden terpilih nampaknya baru akan bisa di eksekusi pada APBN 2025 nanti. Lantas tantangan APBN apa yang lebih urgent untuk dimitigasi?
Tantangan terbesar APBN 2024 akan terpusat kepada risiko memburuknya perekonomian (indikator ekonomi nasional) yang dapat mempengaruhi pendapatan negara, belanja negara dan pembiayaan negara. Selain itu, resiko terjadinya pembayaran atas beban kontijensi yang belum dimasukkan dalam belanja negara, serta konsekuensi perubahan beban pada neraca negara juga dapat menekan APBN 2024.
Memburuknya perekonomian nasional yang tercermin dari lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2024 akan berisiko menekan pendapatan negara. Masih tingginya suku bunga akan berisiko kepada meningkatnya belanja, terutama yang berasal dari pembayaran bunga utang dalam negeri.
Melemahnya rupiah akan berisiko terhadap meningkatnya belanja subsidi BBM, meningkatnya kewaiban utang luar negeri dan berbagai belanja operasional yang dibelanjakan di luar negeri. Di lain pihak, melemahnya rupiah akan meningkatkan penerimaan pajak migas dan PNBP migas.
Belanja kontijensi akan berisiko meningkat bila terjadi klaim pada beberapa penjaminan atas proyek/program BUMN yang mendapat penugasan/penjaminan pemerintah. Risiko timbulnya kewajiban negara akibat adanya putusan pengadilan yang telah inkracht juga dapat membebani pengeluaran negara.
Risiko pengeluaran negara dari memburuknya neraca konsolidari sektor publik perlu diwaspadai. Masih tingginya kebutuhan pembiayaan utang akibat melemahnya rupiah, mengakibatkan laju kewajiban utang akan melebihi laju pertambahan aset. Hal ini akan mendorong penurunan ekuitas negara. Sementara utang sektor publik valas akan berisiko meningkat, terutama karena terbatasnya sumber pembiayaan domistik. Terlebih lagi setelah skema pembelian SBN oleh Bank Indonesia di pasar perdana (burden sharing) berakhir.
Oleh : Adib Prasetya Pengamat Hubungan Internasional Sidang Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) atau forum parlemen Indonesia dengan…
Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Benar, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu penopang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP Pengamat Kebijakan Publik Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (Migor) Minyakita mengalami kenaikan…
Oleh : Adib Prasetya Pengamat Hubungan Internasional Sidang Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) atau forum parlemen Indonesia dengan…
Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Benar, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu penopang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP Pengamat Kebijakan Publik Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (Migor) Minyakita mengalami kenaikan…