Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Mahasiswa Program Magister UGM *)
Perhelatan pemilihan umum tahun 2024 di Indonesia telah berlangsung dengan beberapa program kerja yang digelontorkan beberapa calon terkait usulan kebutuhan fundamental di Indonesia. Namun, dalam lingkup program kerja tersebut masih secara samar mengenai sejauh mana ada upaya pengelolaan barang publik yang masih terdapat pandangan yang berbeda dari pihak akademisi maupun praktisi sekalipun.
Keberadaan barang publik dan kegagalan pasar besar telah teridentifikasi sebagai pondasi awal yang perlu mendapatkan intervensi pemerintah. Saat ini, sebagian besar negara modern telah mengembangkan mekanisme yang modern untuk memastikan terciptanya pendapatan guna membiayai barang publik seperti pendidikan dan juga kesehatan serta prioritas nasional lainnya.
Faktanya hampir setiap negara memiliki kas negara dan layanan pendapatan internal. Kebanyakan negara mengandalkan pajak, terutama pajak atas barang dan pendapatan untuk menghasilkan dana bersama guna mendanai prioritas kolektif.
Pengelolaan saat ini terkait pendidikan memang telah diatur dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan porsi perhatian sebesar 20%. Namun, pertanyaannya apakah anggaran tersebut mampu mengakomodir kebutuhan pendidikan di Indonesia? ataukah ada pembenaran akan keterbatasan pendanaan oleh pemerintah walaupun kebutuhan jenjang pada level pendidikan tinggi di Indonesia masih perlu ditingkatkan kualitasnya?
Lebih lanjut, pendidikan dianggap sebagai hak asasi manusia dan kebaikan publik dalam kebijakan publik global, sejak tahun 1945. Konseptualisasi ini telah dihasilkan dan ditingkatkan oleh organisasi internasional seperti UNESCO, namun lanskap pendidikan telah mengalami perubahan yang signifikan sejak itu dan sekarang ditandai oleh keterlibatan yang semakin meningkat dari aktor non-negara, termasuk organisasi berorientasi profit.
Fenomena Lapangan
Seperti fenomena yang terjadi terkait peran pendanaan secara daring yang mengambil porsi pada jenjang perkuliahan di salah satu universitas di Indonesia. Permasalahan mengenai barang publik mengenai pendidikan kemudian dipertanyakan, sejauh mana peran swasta dapat ikut serta dalam dunia pendidikan.
Mempelajari dari kurun waktu setelah dekade Perang Dunia II, dalam konteks negara kesejahteraan, yang tumbuh meliputi semua bidang kehidupan ekonomi dan sosial, pendidikan secara luas dianggap sebagai barang publik, yaitu barang yang harus disediakan oleh negara. Berakar dalam teori ekonomi, konseptualisasi pendidikan sebagai kebaikan publik ini menjadi dasar, bersama dengan hak atas pendidikan, pendekatan humanistik terhadap pendidikan yang diadopsi oleh organisasi internasional seperti UNESCO dan Komite Hak Anak PBB. Pendekatan humanistik semacam ini berdasarkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap kehidupan, martabat manusia, keberagaman budaya, dan keadilan sosial. Fokusnya adalah pengembangan individu secara penuh dan mempertimbangkan dimensi-dimensi budaya, sosial, ekonomi, etika, dan kewarganegaraan dari pendidikan.
Namun, meskipun terdapat kesepakatan umum tentang hak atas pendidikan dasar, peran negara, bahkan di tingkat dasar, semakin dipertanyakan oleh para pendukung pasar, yang merujuk pada ekonomi neoklasik. Sejalan dengan itu, pendekatan humanistik terhadap pendidikan kehilangan pijakan melawan wacana yang lebih sempit secara ekonomi dan utilitarian yang memandang pendidikan lebih sebagai barang privat atau sebuah komoditas.
Konseptualisasi pendidikan sebagai barang publik juga dipertanyakan oleh transformasi lanskap pendidikan yang ditandai terutama oleh keterlibatan yang semakin besar dari aktor non-negara, termasuk aktor berorientasi profit, dalam apa yang selama ini dianggap sebagai domain negara. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam konteks tantangan besar, di antaranya adalah "pola produksi dan konsumsi ekonomi yang tidak berkelanjutan" serta "peningkatan intoleransi budaya dan agama...", "kerentanan, ketidaksetaraan, pengecualian, dan kekerasan... dalam dan antara masyarakat" (UNESCO, 2015).
Kebutuhan Prinsip Normatif
Dalam konteks ini, ada kebutuhan akan prinsip normatif yang mendasari pendekatan humanistik dan holistik terhadap pendidikan untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan konteks global yang sedang berlangsung, serta untuk memikirkan ulang tujuan pendidikan dan mencapai model pengembangan baru. Apakah konsep barang publik memberikan landasan normatif yang diperlukan bagi pendekatan humanistik terhadap pendidikan?
Lebih lanjut bahwa barang publik dipercaya rentan akan penghindaran dari kontribusi (contohnya pajak, dan lain-lain), dan pengecilan preferensi karena mengakibatkan kegagalan pasar. Dalam penentuan barang publik, pasar harus mempu memperkirakan permintaan agar barang tersebut tersedia.
Selain itu, pendidikan tidak sesuai dari definisi sempit dari barang publik murni, yaitu barang yang memiliki karakteristik dan tidak dapat dikecualikan dan tidak ada persaingan. Contohnya, ada kemungkinan ketersediaan fasilitas pendidikan yang kurang memadai, ketika ada ketimpangan jumlah siswa maka akan mengurangi manfaat yang dapat diterima siswa lain karena tidak mendapatkan manfaat pendidikan yang sama.
Musgrave (1959) berpendapat bahwa sejatinya barang ini harus mampu disubsidi oleh pemerintah tanpa ada pengikatan mengenai kemampuan atau kemauan membayar. Akibat adanya kegagalan informasi, Mugrave meyakini ketika ada kekurangpahaman mengenai manfaat pendidikan dari masing-masing individu maka mengakibatkan kesenjangan manfaat dan juga jumlah pendidikan yang masing-masing diterima walaupun mampu untuk membayarnya. Sejatinya pendidikan menghasilkan manfaat kolektif, yang disebut eksternalitas positif yang jauh melebihi manfaat individu. Manfaat kolektif ini terutama mencakup pertumbuhan ekonomi, kapasitas dan daya saing suatu negara, serta kohesi sosial dan nilai-nilai bersama. Oleh karena itu, dengan pendekatan sosial dan etika, negara berada pada posisi yang baik untuk dapat menilai apa yang dibutuhkan individu dalam penyediaan pendidikan.
Lebih lanjut, mengenai konsep ekonomi dari barang publik yang didefinisikan oleh Samuelson dan Musgrave adalah memiliki nilai analitis yang terbatas. Konsep ekonomi barang publik dianggap tidak memadai sebagai model yang positif bahkan ketika didefinisikan dalam pengertian yang lebih luas yang mempertimbangkan ketentuan negara terhadap kegagalan pasar. Teori neo klasik ini ekonomi ini memisahkan dari teori sumber politiknya agar dapat dibumikan menjadi teori ekonomi murni. Konsep teknis saat ini masih membatasai dari perspektif batas-batas negara, antara lain untuk dapat mengecualikan individu agar tidak memperoleh manfaat jika tidak membayarnya (non-excludabilitas).
Oleh karena itu, teori positif setelah Perang Dunia ke II ini harus memadai dalam memberikan pemahaman mengenai pengeluaran publik yang jauh hingga sosiologi politik (Margolis, 1955) dan adanya analisa kebijakan publik dengan nilai yang jelas tanpa berada dibalik sebuah konsep yang dianggap teknis (Malkin dan Walidawsky, 1991). Ketidakmemadainya konsep ekonomi barang publik, khususnya pendidikan sebagai panduan konkret maka dirasa dasar teoritisnya masih berbeda padangan dengan prinsip-prinsip yang mendasari pendekatan humanistik terhadap pendidikan di lapangan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…
Oleh: Ratna Soemirat, Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…
Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…
Oleh: Ratna Soemirat, Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…