Waspada, Skema Power Wheeling Bisa Katrol Tarif Listrik

Waspada, Skema Power Wheeling Bisa Katrol Tarif Listrik 
NERACA
Jakarta - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas "power wheeling" karena berisiko mengatrol tarif listrik di Tanah Air. Menurut dia, banyak yang berkepentingan dengan isu "power wheeling", misalnya kepentingan asing yang ingin menguasai sektor ketenagalistrikan dengan mendapat pinjaman transmisi yang dimiliki oleh negara. "Dengan demikian, tarif listrik bisa berisiko naik,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Dikatakannya, pihak swasta tidak mungkin membangun jaringan karena mahal, sehingga swasta ingin menerapkan "power wheeling". Dengan adanya skema itu, lanjutnya, swasta dapat menggunakan jaringan negara tanpa harus berinvestasi untuk menjual listrik dari pembangkit mereka kepada konsumen secara langsung. Salamudin menyatakan, konsep "power wheeling" itu sudah salah karena berisiko menihilkan peran negara dalam menjaga kedaulatan energi.
"Power wheeling" merupakan mekanisme yang dapat mentransfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung. "Padahal secara undang-undang, isu ketenagalistrikan harus terintegrasi dan dikuasai negara untuk kepentingan rakyat," katanya.
Selain itu, lanjutnya, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema "power wheeling" yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten. Belum lagi, kondisi listrik di Tanah Air mengalami "oversupply".
Dia menyatakan untuk kelebihan listrik 1 Gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan 'tax payers" melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW. Untuk itu, Salamudin menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus hati-hati soal klausul "power wheeling" dalam RUU EBET. Klausul tersebut sudah didrop pada awal tahun ini, dan sempat muncul lagi tiga bulan berikutnya.
Dalam sejarah pembahasan RUU berkaitan dengan energi, paparnya, klausul "power wheeling" selalu dipaksa masuk oleh pengusaha-pengusaha itu. "Dulu saat pembahasan draft RUU Energi sudah ditolak, ini di pembahasan RUU EBET masih berusaha dimasukkan lagi," katanya.

 

 

NERACA

 

Jakarta - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas "power wheeling" karena berisiko mengatrol tarif listrik di Tanah Air. Menurut dia, banyak yang berkepentingan dengan isu "power wheeling", misalnya kepentingan asing yang ingin menguasai sektor ketenagalistrikan dengan mendapat pinjaman transmisi yang dimiliki oleh negara. "Dengan demikian, tarif listrik bisa berisiko naik,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Dikatakannya, pihak swasta tidak mungkin membangun jaringan karena mahal, sehingga swasta ingin menerapkan "power wheeling". Dengan adanya skema itu, lanjutnya, swasta dapat menggunakan jaringan negara tanpa harus berinvestasi untuk menjual listrik dari pembangkit mereka kepada konsumen secara langsung. Salamudin menyatakan, konsep "power wheeling" itu sudah salah karena berisiko menihilkan peran negara dalam menjaga kedaulatan energi.

"Power wheeling" merupakan mekanisme yang dapat mentransfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung. "Padahal secara undang-undang, isu ketenagalistrikan harus terintegrasi dan dikuasai negara untuk kepentingan rakyat," katanya.

Selain itu, lanjutnya, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema "power wheeling" yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten. Belum lagi, kondisi listrik di Tanah Air mengalami "oversupply".

Dia menyatakan untuk kelebihan listrik 1 Gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan 'tax payers" melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW. Untuk itu, Salamudin menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus hati-hati soal klausul "power wheeling" dalam RUU EBET. Klausul tersebut sudah didrop pada awal tahun ini, dan sempat muncul lagi tiga bulan berikutnya.

Dalam sejarah pembahasan RUU berkaitan dengan energi, paparnya, klausul "power wheeling" selalu dipaksa masuk oleh pengusaha-pengusaha itu. "Dulu saat pembahasan draft RUU Energi sudah ditolak, ini di pembahasan RUU EBET masih berusaha dimasukkan lagi," katanya.

BERITA TERKAIT

INACRAFT 2025, Rumah BUMN Dukung UMKM dan Ajak Pengunjung untuk Dukung Produk Lokal

  NERACA Jakarta – Di tengah kesibukan pameran INACRAFT 2025, ada satu tempat yang wajib dikunjungi, yaitu _booth_ Rumah BUMN.…

Tiga Rekomendasi untuk Meningkatkan Mutu Program MBG

  NERACA Jakarta - CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan, terdapat tiga rekomendasi guna meningkatkan program…

Progres Pembangunan Fisik IKN Capai 87,9%

  NERACA Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan progres pembangunan fisik Ibu Kota Nusantara (IKN) telah mencapai…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

INACRAFT 2025, Rumah BUMN Dukung UMKM dan Ajak Pengunjung untuk Dukung Produk Lokal

  NERACA Jakarta – Di tengah kesibukan pameran INACRAFT 2025, ada satu tempat yang wajib dikunjungi, yaitu _booth_ Rumah BUMN.…

Tiga Rekomendasi untuk Meningkatkan Mutu Program MBG

  NERACA Jakarta - CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan, terdapat tiga rekomendasi guna meningkatkan program…

Progres Pembangunan Fisik IKN Capai 87,9%

  NERACA Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan progres pembangunan fisik Ibu Kota Nusantara (IKN) telah mencapai…