PINTU MASUK PRODUK IMPOR ILEGAL - INDEF : E-Commerce RI Lebih Liberal dari China dan India

NERACA

Jakarta -  Lokapasar atau e-commerce  berkembang sangat subur di Indonesia terlebih mulai pandemi Covid-19 kemarin dimana aktifitas yang tadinya offline menjadi online. Atas pesatnya bisnis e-commerce  pun bermunculan platform-platform baru. Dan terakhir TikTok Shop yang kini ditutup oleh pemerintah, karena dianggap media sosial tidak bisa untuk jualan.

Atas ramainya isu yang berkembang Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pun mengangkat diskusi secara daring dengan mengangkat tema “Larangan Social Commerce, Tepatkah?”  pada Selasa (3/10). Diskusi ini menyinggung soal kondisi e-commerce di Indonesia yang cenderung lebih liberal dibandingkan China dan India, khususnya untuk penandaan barang atau tagging asal produk, apakah produk lokal, atau impor.  Sehingga ini bisa jadi pintu masuk barang-barang ilegal.

Menurut Peneliti Center of Digital Economy and SME INDEF, Nailul Huda masalah label dan sertifikasi produk impor dan lokal. Khususnya pada tagging, yang dapat melacak produk-produk lokal, baik itu dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) atau perusahaan besar dan produk impor. Menurutnya, pelaku e-commerce atau pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) di Indonesia masih belum memiliki kewajiban untuk melakukan tagging, sementara pemerintah belum bisa memaksa platform untuk melakukan tagging.

“Kita ini nampaknya, di Indonesia ini, kalau bisa dibilang di pengaturan e-commerce, lebih liberal dibandingkan dengan di China. Di negara itu, barang yang dijual di e-commerce, harus melampirkan tagging dari mana, itu informasi kalau dia barang impor yang importirnya dari mana, nomor importir, sertiifkasinya. Kita belum ada. Makanya banyak barang ilegal masuk,” ungkap Nailul saat menjadi pemateri diskusi ini.

Hal tersebut diperparah dengan belum adanya kewajiban bagi pelaku e-commerce di Indonesia untuk melakukan tagging di produknya. Namun, dia menekankan, barang-barang crossborder di e-commerce jelas barang impor, dibandingkan produk yang dijual namun tidak ketahuan asalnya impor atau lokal.

Nailul pun menyebutkan salah satu platform e-commerce yang berhasil membuat fitur etalase khusus barang lokal, yang merupakan perusahaan di bawah naungan Sea Group, sehingga mereka dapat memetakan barang lokal dan impor.  “Nah makanya, butuh sebenarnya tagging bagi semuanya, bukan hanya Shopee. Kita dorong juga TikTok Shop, Tokopedia, [dan lain-lain], kita harus lakukan tagging ini barang dari mana,” tegas Huda.

Nailul pun menyindir, negara tetangga seperti India dan China justru melakukan tagging. Maka tidak heran jika dia blak-blakan mengatakan, “Lucunya, kita tidak melakukan tagging, di India, mereka melakukan tagging barangnya dari mana. Jadi kita lebih liberal dibandingkan China dalam hal e-commerce,” ujarnya.

Alasan Nailul cukup kuat mengapa tagging perlu dilakukan untuk semua pelaku e-commerce, baik itu Tokopedia di bawah naungan GoTo, Shopee di bawah naungan Sea Group, Bukalapak, dan Lazada di bawah naungan Alibaba, dan lainnya, yakni untuk membantu pemerintah membuat kebijakan insentif terhadap produk lokal. .

Selain itu, dia juga membahas label produk. Dia menyinggung banyaknya produk impor ilegal yang dijual bebas di platform e-commerce. Argumennya, produk-produk ini tidak memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI), buku manual atau panduan dalam Bahasa Indonesia, dan lainnya.  “Made in Tiongkok saja. itu merugikan. Seharusnya peraturannya adalah, ketika masuk ke pasar Indonesia, harus ada aturan labelling, harus mengurus izin SNI, kalau makanan harus izin halal. Banyak sekali PMSE yang belum melakukan hal tersebut,” ujarnya. 

Pada Kesempatan yang sama, Direktur Program INDEF Dr.Esther Sri Astuti S.A menilai, Permendag 31/2023 lebih baik karena mengatur izin usaha bagi merchant dalam negeri, membatasi harga bagi produk impor yang masuk ke Indonesia dan memberi ruang promosi bagi produk Indonesia dalam social commerce. “Jadi, hal ini tentunya akan lebih baik karena tidak bisa misalnya kita beli barang dari luar harga Rp10 ribu-Rp15 ribu tapi di impor dari luar negeri. Nah, itu yang akan mematikan produk domestik di platform tersebut,” ujarnya.

Catatan lainnya, kata dia, batasan harga dan jenis produk impor harus jelas ditentukan range harganya agar tidak ada tsunami produk impor. Sebab, platform e-commerce dan social commerce dijadikan promosi bagi barang-barang impor.  Selain itu, adanya ruang promosi untuk produk lokal harus ditingkatkan sehingga penting adanya regulasi yang mengatur minimal berapa persentase produk lokal yang dipasang di social commerce tersebut. “Katakanlah 40 persen, 50 persen harus ada produk lokal. Kalau ini tidak diatur maka menurut saya social commerce dan e-commerce hanya menjadi ajang promosi transaksi produk impor. Jangan sampai itu terjadi,“ tandasnya. agus

BERITA TERKAIT

MENKEU AKAN MELANTIK PEKAN INI: - Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai Baru

  Jakarta-Rumor  mengenai pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai akhirnya mulai menemui  titik terang. Setelah sebelumnya santer beredar kabar…

Efisiensi Anggaran Bakal Berlanjut Tahun Depan

  NERACA Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal kebijakan efisiensi anggaran akan berlanjut pada tahun anggaran 2026.…

Minim Anggaran Tantangan Wujudkan Tiga Juta Rumah

NERACA Jakarta – Program pemerintah mewujudkan tiga juta rumah dalam setahun masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Ya, persoalan anggaran…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENKEU AKAN MELANTIK PEKAN INI: - Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai Baru

  Jakarta-Rumor  mengenai pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai akhirnya mulai menemui  titik terang. Setelah sebelumnya santer beredar kabar…

Efisiensi Anggaran Bakal Berlanjut Tahun Depan

  NERACA Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal kebijakan efisiensi anggaran akan berlanjut pada tahun anggaran 2026.…

Minim Anggaran Tantangan Wujudkan Tiga Juta Rumah

NERACA Jakarta – Program pemerintah mewujudkan tiga juta rumah dalam setahun masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Ya, persoalan anggaran…