NERACA
Jakarta – Universitas Paramadina mengadakan diskusi bekerjasama dengan The Indonesian Institute. Diskusi yang dimoderatori Benni Yusriza (Dosen Universitas Paramadina), Senin (2/10), menyampaikan bahwa diskusi ini diadakan karena berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh rekan-rekan TII. Selain itu, mengutip bahwa berdasarkan hasil penelitian CSIS bahwa pada pemilu yang akan datang ada 60% pemilih pemula.
Menurut Adinda Tenriangke Muchtar dari The Indonesian Intitute, penelitin ini dibuat sebelum ada peraturan yang diterapkan oleh KPU saat ini. Dia mengatakan penggunan media sosial dianggap sangat baik dan efisien karena dapat menjangkau berbagai pihak dan sektor. Tetapi, banyak akun dan bot yang digunakan, yang kemudian dapat menyebabkan berbagai permaslahan serta konflik sosial.
“Konflik sosial ini salah satunya berasal dari berita hoaks atau informasi bohong mengenai sebuah pemberitaan, dapat dilihat pada saat pemilu 2019 sebanyak 973 berita hoaks, kemudian pada pilkada 2020 terdapat 47 berita hoaks, dan hingga saat ini terus bertambah,” ujarnya.
Adinda menganggap peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah saat ini belum cukup untuk merespon berbagai pemberitaan yang ada di media sosial. Berbagai peraturan tersebut masih bersifat technical, dan sangat berbeda dengan penggunaan sosial media saat ini, dengan media konfensional. Selain itu, masih ada permasalahan mengenai kampanye melalui media sosial belum diatur secara rigid.
Menurut pembicara lainnya, Husni Mubarak dari PUSAD Paramadina, mengatakan hasutan kebencian memang sengaja untuk menghasut, sedangkan pelintiran kebencian merupakan bentuk haustan dan mencari korban. Dia memberikan contoh narasi negatif dalam konteks menyudutkan lawan dengan identitas khusus, narasi untuk mengajak menjadi pesimis, lawan politik dan mush bukan kompetitor, dan bangsa kita sedang terancam hancur bila kita kalah. Kemudian, contoh narasi positif dengan inklusif merangkul, karakternya kita bersama mereka, optimistik, pertemanan, dan bersama kita bisa.
Kemudian Ahmad Khoirul Umam dari Universitas Paramadina mengungkapkan bahwa hoaks, hate speech, dan lain sebagainya dijadikan sebagai produk yang diorkestrasi oleh kekuatan tertentu yaitu kekuatan bisnis. Tetapi tak hanya kekuatan bisnis, ada kekuatan lain seperti pada sosial media TikTok. Basis dari data TikTok tersebar dengan menetapkan algoritma dan melakukan publikasi dengan sebebas-bebasnya. Tak hanya melalui Tiktok, manipulasi opini publik dapat dilakukan melalui berbagai platform media sosial lainnya. Maka dari itu harus tetap melakukan filter terhadap berbagai pemberitaan mengenai disinformasi yang ada mengenai pemilu kedepannya. (Mohar/fba)
NERACA Jakarta - Indonesia siap menggelar Sidang ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) yang akan berlangsung pada…
NERACA Serang - Anggota Komisi V DPRD Banten Yeremia Mendrofa meminta pemerintah daerah (pemda) baik provinsi, kabupaten kota setempat serius…
NERACA Depok - Meski proses sudah terlambat sesuai ketentuan peraturan perundangan. DPRD Kota Depok terkesan "Ragu-ragu" untuk memberikan informasi secara…
NERACA Jakarta - Indonesia siap menggelar Sidang ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) yang akan berlangsung pada…
NERACA Serang - Anggota Komisi V DPRD Banten Yeremia Mendrofa meminta pemerintah daerah (pemda) baik provinsi, kabupaten kota setempat serius…
NERACA Depok - Meski proses sudah terlambat sesuai ketentuan peraturan perundangan. DPRD Kota Depok terkesan "Ragu-ragu" untuk memberikan informasi secara…