Oleh : Dr. Arif Yunianto, Penyuluh Pajak Ahli Madya, Ditjen Pajak
Objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Dari kalimat tersebut dimaknai bahwa tambahan kemampuan ekonomis yang dalam mendapatkannya dengan cara apapun, berasal dari manapun, digunakan untuk apapun, dengan nama apapun, dalam bentuk apapun, kesemuanya merupakan penghasilan (yang selanjutnya menjadi objek pajak).
Yang paling menarik adalah pada frasa “dalam bentuk apapun”, ini berarti tidak harus selalu berupa uang, artinya bisa barang, bisa juga fasilitas, termasuk natura yang belakangan banyak diperbincangkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, natura didefinisikan sebagai barang yang sebenarnya, bukan dalam bentuk uang (tentang pembayaran). Sedangkan menurut OECD, natura didefinisikan sebagai sebuah bentuk tunjangan pelengkapan di luar upah. Bentuk natura bisa bermacam-macam, misalnya akomodasi, fasilitas mobil, fasilitas rumah, dan sebagainya.
Ada berbagai pertimbangan mengapa sebuah perusahaan memberikan natura terhadap karyawannya. Yang paling sering adalah karena jabatannya yang penting, atau bisa juga sebagai penghargaan atas kinerjanya. Perusahaan memberikan natura juga dalam rangka untuk mempertahankan dan memotivasi orang-orang terbaiknya agar tetap loyal dan tidak pindah. Sangat jarang terjadi “karyawan biasa” mendapatkan natura tersebut. Oleh karena itu, sungguh tidak adil sementara yang kaya (karyawan dengan jabatan tinggi) memperoleh penghasilan (natura) namun tidak kena pajak. Bisa jadi penghasilan (natura) tersebut berkali-kali lipat dari penghasilan karyawan biasa.
Sebelum adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), natura bukan objek penghasilan. Dalam hal ini bisa diilustrasikan dalam sebuah contoh kondisi dimana seorang karyawan biasa harus menyisihkan penghasilannya (yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21) untuk mencicil kredit pemilikan rumah sederhana, sementara jajaran direksi memperoleh fasilitas rumah yang justru tidak ada pajak yang dibayar atau dipotong.
Untungnya dalam UU HPP, natura adalah sebagai objek pajak. Bunyi lengkapnya dalam pasal 4 Ayat (1) huruf a UU HPP yaitu ““Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Dalam hal ini bisa diilustrasikan dalam sebuah contoh kondisi dimana seorang karyawan biasa harus menyisihkan penghasilannya (yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21) untuk mencicil kredit pemilikan rumah sederhana, dan jajaran direksi memperoleh fasilitas rumah juga dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Dengan demikian, setelah UU HPP ini terlihat jelas sisi keadilannya, yaitu kesamaan perlakuan dalam hal pemotongan pajak sehubungan dengan diperolehnya “tambahan kemampuan ekonomis” dari perusahaan ke seluruh lapisan pegawainya mulai dari pegawai biasa sampai dengan jajaran direksi.
Selanjutnya, apakah semua natura dikenakan pajak? Ternyata tidak semua kok. Penggantian atau imbalan yang sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan adalah yang merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan tersebut merupakan penggantian atau imbalan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan Pegawai. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan jasa tersebut merupakan penggantian atau imbalan karena adanya transaksi jasa antar Wajib Pajak (Pasal 3 ayat 1, 2 and 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023). Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura tersebut merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima. Sedangkan yang sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk kenikmatan tersebut merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva; pemberi penggantian atau imbalan; dan/atau pihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi untuk dimanfaatkan oleh penerima (Pasal 3 ayat 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023).
Sedangkan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berikut ini dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan;
Menjadi semakin nyata bahwa dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 ini semakin menciptakan keadilan, karena adanya kesamarataan perlakuan antar karyawan dengan berbeda level. Dan juga tetap dikecualikannya beberapa jenis natura/ kenikmatan dari objek pajak penghasilan karena diperuntukkan bagi seluruh pegawai, untuk daerah tertentu, untuk pelaksanaan pekerjaan, dari APBN/ APBD dan jenis dan/ atau batasan tertentu.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Akar masalah yang memicu demonstrasi Ojol Selasa 20 Meil 2025…
Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Budaya Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi daring yang…
Oleh: Seruni Puspita Laras, Pengamat Energi Terbarukan Ketahanan energi merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keberlanjutan…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Akar masalah yang memicu demonstrasi Ojol Selasa 20 Meil 2025…
Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Budaya Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi daring yang…
Oleh: Seruni Puspita Laras, Pengamat Energi Terbarukan Ketahanan energi merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keberlanjutan…