Oleh: Debbie Yoshida, MSi, BKP., Dosen FEB Universitas Mercu Buana
Maraknya kasus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan kepailitan yang berlangsung sejak pandemi covid 19, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rakornas Apindo ke 31, Selasa 24 Agustus 2021 mengungkapkan terdapat 480 kasus pengajuan PKPU dan pailit di Pengadilan Niaga yang ada di Indonesia. Jumlah tersebut menurut hemat penulis cenderung meningkat sejalan dengan tekanan keuangan (financial distress) yang dialami perusahaan sebagai imbas pandemi covid 19 dan berlanjut dengan adanya dinamika lingkungan global yang penuh ketidakpastian.
Dampak krisis global akan berimbas langsung pada lingkungan bisnis di tanah air. Luka yang dalam akibat covid 19 masih belum terpulihkan dan sekarang menyusul krisis ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina dan situasi geo politik, yang semuanya itu memberi tekanan keuangan semakin berat bagi perusahaan.
Tekanan keuangan dapat diprediksi melalui berbagai pendekatan, antara lain dengan model Altman Z Score yang menggambarkan indikasi apakah suatu perusahaan berada pada zona aman, zona abu-abu atau zona bahaya, berpotensi gagal bayar atas kewajiban keuangan yang jatuh tempo. Setiap perikatan yang lahir dari perjanjian memuat seperangkat hak dan kewajiban yang harus ditepati oleh para pihak dalam arti melunasinya.
Jika kewajiban tidak dilunasi maka timbul masalah hukum berupa gugatan perdata di Pengadilan Umum atau gugatan pailit di Pengadilan Niaga. Kewaspadaan dan mitigasi risiko perlu mendapat perhatian serius oleh organ perusahaan.
Aspek Akuntansi
Setiap perusahaan memiliki aset yang dibiayai melalui instrumen utang dan atau ekuitas yang tergambar pada neraca perusahaan. Kesehatan keuangan perusahaan dapat dinilai melalui analisis laporan keuangan, sehingga akan diketahui bagaimana keadaan likuiditas, profitabilitas, struktur keuangan dan modal perusahaan secara reguler. Dengan mengetahui kesehatan keuangan perusahaan, manajemen dapat melakukan langkah-langkah strategis sedini mungkin untuk mencegah terjadinya gagal bayar atau gugatan kepailitan yang berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha (going concern). Manajemen aset, liabilitas, ekuitas amatlah penting, khususnya manajemen modal kerja dan arus kas, karena faktor tersebutlah penyebab utama gagal bayar yang terjadi pada perusahaan.
Perlu disadari bahwa penyajian laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang wajib dipatuhi oleh Direksi (Pasal 66 UU PT). Pada prinsipnya SAK mengatur perlakuan akuntansi atas penyajian laporan keuangan, penilaian aset dan liabilitas, pengakuan pendapatan dan beban serta pengungkapan (disclosure). SAK ada kalanya tidak sejalan dengan aspek hukum. Secara hukum kewajiban timbul karena dua hal, yaitu disebabkan adanya Undang-undang seperti kewajiban pajak, kewajiban imbalan kerja. Penilaian akuntansi atas kedua kewajiban tersebut tunduk pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 46 dan PSAK 24).
Kedua hal tersebut muncul pada neraca sebagai aset pajak tangguhan atau liabilitas (kewajiban) pajak tangguhan (PSAK 46). Sedangkan dari sisi PSAK 24 memunculkan kewajiban imbalan kerja. Begitu pula persoalan utang lainnya, contoh sewa pesawat terbang pada perusahaan airline yang diatur melalui PSAK 73. Sehingga mungkin saja pada neraca tercantum kewajiban keuangan suatu perusahaan sangat besar nilainya. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena laporan keuangan tunduk pada SAK yang berlaku.
Apakah jumlah kewajiban yang besar tersebut mempunyai implikasi hukum gagal bayar atau kepailitan? Jawabannya belum tentu. Kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan adalah utang menurut ranah hukum perdata, artinya nilai utang yang jatuh tempo sesuai dengan perjanjian. Sehingga manajemen perlu memilah berapa kewajiban yang harus dibayar perusahaan secara perdata.
Aspek Perpajakan
Perpajakan merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan badan usaha, mulai saat pendirian sampai dengan pembubarannya. Dalam kondisi perusahaan beroperasi dengan baik, kewajiban terkait dengan Pajak, khususnya Pajak Penghasilan, perusahaan wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan Pajak Penghasilan tahunan. Disamping itu juga kewajiban pajak bulanan, yaitu memotong/memungut, membayar dan melaporkan (SPT Masa). Semua kewajiban keuangan yang jatuh tempo wajib dibayar, baik pokok maupun bunga.
Bagaimana jika terjadi restrukturisasi sebagai hasil perdamaian yang disepakati dalam PKPU? Hukum memberi jalan perdamaian, menawarkan kepada debitur pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut ia dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi. Mekanisme akur damai ini mempunyai kekuatan hukum melalui pengesahan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Konsekuensi pajaknya atas hal tersebut mengacu pada Pasal 4 Ayat 1 UU PPh, yang menyatakan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat 1 maka keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dianggap sebagai penghasilan bagi debitur yang semula berstatus utang. Sedangkan bagi pihak kreditur (pihak berpiutang) dapat dibebankan sebagai biaya, baik secara akuntansi maupun secara pajak, karena berdasarkan perjanjian yang disetujui didepan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bagaimana kedudukan utang pajak seandainya perdamaian tidak tercapai yang akhirnya berlanjut pada proses kepailitan, yaitu pernyataan pailit dengan Putusan Hakim. Jika hal ini terjadi, sesuai dengan Pasal 21 ayat 1 dan ayat 3 Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak.
Di sisi lain Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 menyatakan dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Makna dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini menegaskan bahwa utang pajak bukan merupakan prioritas pertama, sehingga dalam praktek dilapangan dapat terjadi utang pajak debitur sekitar Rp 400.000.000, hanya dapat dibayar puluhan juta saja. Hal ini terjadi karena Kantor Pelayanan Pajak tidak termasuk dalam Kreditur lingkup pailit (Putusan MA No. 15 K/N/1999. Permasalahan hukum terkait dengan penyelesaian utang pajak perusahaan (debitur) pailit tampaknya akan selalu menjadi perdebatan hukum di kemudian hari.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Akar masalah yang memicu demonstrasi Ojol Selasa 20 Meil 2025…
Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Budaya Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi daring yang…
Oleh: Seruni Puspita Laras, Pengamat Energi Terbarukan Ketahanan energi merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keberlanjutan…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Akar masalah yang memicu demonstrasi Ojol Selasa 20 Meil 2025…
Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Budaya Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik judi daring yang…
Oleh: Seruni Puspita Laras, Pengamat Energi Terbarukan Ketahanan energi merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga keberlanjutan…