Oleh: Sapardi, Penyuluh Ahli Muda, KPP Madya Dua Tangerang *)
Melihat perkembangan saat ini begitu banyak fasilitas perusahaan yang banyak dinikmati oleh pegawai berupa fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan, atau fasilitas lain dalam bentuk barang. Dan juga kenikmatan berupa fasilitas atau pelayanan pemberian member atau keanggotaan untuk olahraga eksklusif (golf, gym, berkuda), fasilitas kesehatan yang kebanyakan hanya dinikmati oleh pegawai level atas (higt level employee) yang selama ini terbebas dari pengenaan pajak, hal ini menimbulkan ketidakadilan terhadap pegawai lainnya terutama pegawai level menengah ke bawah yang tidak ikut serta dalam menggunakan serta menikmati fasilitas yang diberikan.
Menurut data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pekerja dengan penghasilan Rp500 juta per tahun memiliki porsi pajak natura mencapai Rp52,7 juta. Selama ini fasilitas tersebut tidak bisa dilaporkan sebagai penghasilan di SPT Tahunan, sehingga tidak dikenai PPh.
Secara konsep, natura atau fringe benefit merupakan bentuk tunjangan yang melengkapi atau di luar upah atau gaji normal (OECD Glossary). Selain itu, fringe benefit juga diartikan sebagai segala bentuk kompensasi nontunai yang secara sukarela diberikan pemberi kerja kepada karyawannya (Turner, 1999). Bentuknya bisa beragam, seperti akomodasi gratis, tunjangan liburan, fasilitas kendaraan, opsi saham karyawan, dan lain sebagainya.
Pengertian Natura sendiri merupakan imbalan atau pembayaran berupa barang, sedangkan kenikmatan merupakan imbalan berupa fasilitas/pelayanan yang diberikan tekait hubungan pekerjaan atau jasa.
Dalam praktiknya, pemberian natura dan/atau kenikmatan terhadap pegawai merupakan hal yang lumrah dilakukan. Biasanya natura dan/atau kenikmatan diberikan karena jabatan tertentu, reward atas kinerja, atau hal lainnya. Pengusaha menggunakan fringe benefit untuk membantu mereka dalam merekrut, memotivasi, dan mempertahankan orang-orang berkualitas di perusahaannya.
Sebelumnya, dalam UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, pemberian fringe benefit atau natura bukan merupakan objek penghasilan (non-taxable income) yang tidak dilaporkan sebagai penghasilan dan tidak dipotong pajak (non-taxable). Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d. Namun, apabila natura dan/atau kenikmatan tersebut diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), atas natura dan/atau kenikmatan tersebut dikenakan pajak (taxable income).
Dari sisi pengusaha, biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan juga tidak dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto (non-deductible expense) sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh.
Pengecualian hanya diberikan untuk biaya penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No 7 Tahun 2021 tidak hanya merevisi tarif pajak PPh Wajib Pajak Orang Pribadi di Pasal 17 ayat (1) huruf a, tetapi juga mengatur ketentuan baru mengenai pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan dalam pasal 4 ayat (1) huruf a.
Artinya, Natura tidak sama dengan tunjangan, meski keduanya sama-sama termasuk objek pajak penghasilan menurut UU HPP. Contoh, tunjangan rumah diberikan dalam bentuk uang, sedangkan natura diberikan dalam bentuk bangunan rumah.
Dalam UU HPP ketentuan mengenai PPh Natura dan/atau Kenikmatan mulai berlaku 1 Januari 2022, sedangkan ketentuan mengenai pemotongan PPh Natura dan/atau kenikmatan berlaku 1 Januari 2023
Biaya pemberian natura/kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible) dapat dibebankan secara fiskal sepanjang memenuhi unsur 3M yaitu biaya untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara penghasilan. Sementara untuk imbalan dan penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dipotong dan digabungkan dengan bentuk uang berdasarkan ketentuan Pemotongan yang belaku
Menunggu turunan aturan pelaksanaan mengenai natura dan/atau kenikmatan yang diberikan terkait hubungan pekerjaan atau jasa tetap berpedoman dari Undang-undang HPP mengenai Pengecualian Objek Pajak Penghasilan pasal 4 ayat (3) huruf d yang dikecualikan dari objek pajak, adalah penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekejaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:
Dengan pengecualian di atas, fasilitas dari perusahaan untuk karyawan yang digunakan untuk menjalankan pekerjaan, misalnya alat kerja, telepon seluler, laptop, seragam, dan fasilitas keselamatan kerja, tidak termasuk natura pajak. Meski memiliki nilai ekonomis dan menambah kekayaan karyawan, barang-barang tersebut tidak dikenai pajak.
Perhitungan pajak natura adalah seperti perhitungan pajak terhadap penghasilan lainnya. Nilai natura dimasukkan sebagai penambah penghasilan bruto, seperti halnya bonus, THR, komisi, gratifikasi, dan pendapatan lainnya.
Adapun nilai natura yang dipotong pajak tidak dihitung berdasarkan harga barang atau fasilitas yang diterima oleh karyawan, tetapi berdasarkan harga sewa dengan mempertimbangkan nilai penyusutan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…
Oleh: Ratna Soemirat, Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…
Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…
Oleh: Ratna Soemirat, Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…