Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Di bawah bayang-bayang Nataru yang bakal tanpa pernak-pernik karena krisis kembar kelangkaan ruang muat dan kelangkaan peti kemas ternyata tidak semua pihak boncos. Ada yang malah justru mendulang cuan. Mereka ini adalah kalangan pelayaran peti kemas itu sendiri.
Pendapatan lain yang didulang selama krisis peti kemas adalah dari kenaikan freight (uang tambang). Ini soal hukum supply and demand saja sebenarnya. Dengan terbatasnya ruang muat kapal sementara kebutuhan eksportir/importir untuk mengapalkan produk mereka ke pasar relatif tinggi jelas harga ongkos tambang dinaikan oleh operator. Kapan lagi ada peluang seperti ini, begitulah kira-kira kata mereka. Sudah menjadi rahasia umum, freight pelayaran peti kemas sejak lama belum disesuaikan dan barulah pada musim Covid-19 ini ada peluang untuk dinaikan.
Alan Murphy, head of consultancy Sea Intelligence, mengatakan sudah sepuluh tahun freight pelayaran peti kemas tidak naik. Menurut firma konsultasi Mckinsey, saat ini freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibanding awal 2019. Ini khusus berlaku untuk rute dari China ke Eropa. Sementara itu, Freightos Baltic Index, sebuah patokan bagi rute-rute pelayaran utama, mencatat freight pada rute China-Pantai Barat AS mencapai 7.000 dolar AS per satuan kontainer (20 kaki atau 40 kaki). Sementara untuk China-Eropa menyentuh 10.000 dolar AS.
Cuan bagi operator pelayaran peti kemas juga didapat dari berbagai charge atau surcharge. Pelayaran peti kemas yang melayani Indonesia, mereka mengutip terminal handling charge (THC) sebesar 95 dollar AS untuk setiap peti kemas 20 kaki, 145 dolar AS per peti kemas 40 kaki dan 40 kaki high cube dan 295 dolar untuk ukuran peti kemas 45 kaki. THC ini hanya untuk kontainer bertipe dry, open top dan flat rack. Untuk peti kemas tipe reefer lain lagi charge-nya. Reefer 20 kaki dipatok di harga 195 dolar AS, 265 dolar AS untuk reefer 40 kaki dan 40 kaki high cube. Menariknya, MLO hanya membayarkan THC kepada operator terminal peti kemas (THC memang dikutip oleh terminal) sebesar 83 dolar AS/peti kemas 20 kaki. Selisihnya lumayan juga.
Para operator pelayaran peti kemas juga memungut container imbalance charge (CIC) yang besarnya sekitar 20 dolar AS untuk peti kemas 20 kaki, 30 dolar AS untuk 40 kaki dan 40 kaki high cube serta 30 dolar AS untuk peti kemas 45 kaki. Lalu, ada pula kutipan equipment maintenance charge (EMC) yang disesuaikan dengan kondisi pelabuhan setempat. Untuk pelabuhan Tanjung Priok, harganya sekitar Rp600.000 untuk peti kemas 20, 40 dan 40 kaki high cube. Adapun untuk peti kemas 45 kaki harganya Rp900.000.
Masih ada lagi charge yang dikutip oleh pelayaran kontainer di luar ocean freight. Saya cukupkan sampai segitu saja. Yang jelas, ada blessing in disguise bagi MLO di tengah lautan pandemi. Hanya saja barangkali sepertinya mereka menari di atas penderitaan orang lain. Entahlah.
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Pada kuartal pertama tahun 2025, ekonomi nasional tengah menghadapi tekanan…
Oleh: Agus Gumiwang Kartasasmita Menteri Perindustrian Industri manufaktur di berbagai negara saat ini tengah menghadapi dampak dari ketidakpastian ekonomi…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Pada kuartal pertama tahun 2025, ekonomi nasional tengah menghadapi tekanan…
Oleh: Agus Gumiwang Kartasasmita Menteri Perindustrian Industri manufaktur di berbagai negara saat ini tengah menghadapi dampak dari ketidakpastian ekonomi…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…