Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
Pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik dan tantangan batik ke depan jelas akan semakin berat, bukan saja karena regenerasi perbatikan tidak tumbuh dengan baik, tapi juga terpaan industri konveksi yang semakin modern. Oleh karena itu, realitas ini menjadi tantangan untuk menumbuhkembangkan kecintaan terhadap batik. Meski di satu sisi tidak mudah tapi disisi lain tidak ada alasan untuk mengabaikan keberadaan di masa depan terhadap industrialisasi batik nasional. Setidaknya hal ini adalah komitmen agar batik tidak punah diterpa modernisasi industrialisasi konveksi.
Komitmen terhadap penumbuhkembangan industri batik dan perbatikan tentu tidak bisa lepas dari pembinaan sejumlah sentra industri batik nasional. Data menunjukan hingga kini pelaku industri batik dan perbatikan nasional terdiri 101 industri kecil menengah yang tersebar di sejumlah sentra industri batik nasional di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta. Penyerapan tenaga kerja mencapai 15.000 orang. Oleh karena itu sejatinya ada sejumlah persoalan terkait perbatikan. Pertama: regenerasi terhadap pelaku di industri batik dan perbatikan cenderung melambat dan ini menjadi salah satu persoalan serius di industri batik saat ini, selain pandemi.
Betapa tidak pembatik adalah subjek penting dari keberhasilan pengembangan daya tarik penciptaan produk-produk batik terbaru, termasuk juga kreatifitas motifnya. Ketika regenerasinya tidak signifikan maka berdampak terhadap kualitas penciptaan produk dan motif batik itu sendiri, padahal motif batik merupakan salah satu nilai jual bagi perbatikan.
Kedua: setali tiga uang regenerasi pembatik adalah penciptaan motif batik. Terkait ini perbatikan nasional mendaftarkan logo Batikmark ‘Batik Indonesia’ lewat perlindungan Hak Cipta no. 034100 ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Keputusan tentang BatikMark tercantum pada Keputusan Menteri Perindustrian No.74/2007 sedangkan pengaturannya tercantum pada Peraturan Dirjen IKM tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan BatikMark ‘Batik Indonesia’.
Kualifikasi batik yang lolos mendapatkan sertifikasi yang berlaku selama 3 tahun dan bisa diperpanjang. Identifikasi terhadap persyaratan untuk lolos sertifikasi menyangkut tentang ketahanan warna, kerut serat, dll. Hal ini memberi gambaran tentang pentingnya identitas batik di era persaingan yang kian ketat dan dari 10 negara yang menekuni perbatikan ternyata hanya Indonesia yang ditetapkan sebagai Global Home of Batik.
Ketiga: persoalan tentang kuantitas dan kualitas batik dan perbatikan nasional tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan tentang bahan baku, baik kain atau komponen yang lainnya. Ironisnya, ketika nilai tukar terpuruk maka ini juga berdampak terhadap biaya produksi batik nasional. Betapa tidak, untuk kasus salah satu bahan dari perbatikan misalnya gondorukem. Data menunjukan produksi gondorukem nasional hanya 80 ribu ton per tahun dan pemenuhan kebutuhannya dipasok PT Inhutani I dan II di Sumatera dan Sulawesi, sementara kebutuhan nasional mencapai 70 ribu ton per tahun sedangkan defisit gondorukem per tahun yaitu 20 ribu ton karena faktor adanya ekspor sejumlah komoditas gondorukem. Hal ini tentu harus dicarikan solusinya demi perbatikan nasional.
Keempat: kreativitas warna juga menjadi salah satu persoalan dalam industri batik nasional. Padahal, pewarnaan dalam batik menjadi salah satu daya tarik. Artinya, perlu ada inovasi dalam pewarnaan yang lebih menarik tanpa harus terkendala faktor buangan limbahnya di masyarakat. Oleh karena itu, perlu kejelian menyikapi 4 faktor persoalan dalam industri batik nasional sehingga ke depan industri batik nasional bisa tetap bangkit dan bersaing di pasar global.
Paling tidak, harapan ini tidak terlepas dari mata rantai batik nasional yang sangat kompleks. Di satu sisi, penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional menjadi tantangan untuk memacu industri batik meski di sisi lain komitmen ini juga harus melibatkan semua komponen terkait.
Industri batik dan perbatikan nasional tidak bisa terlepas dari dampak pandemi setahun ini dan karenanya kiprah batik nasional perlu dicermati agar tidak mati suri. Terkait hal ini bahwa kepedulian Kepala Daerah untuk menumbuhkembangkan industri batik yang ada di setiap daerah menjadi penting karena tidak hanya akan memperkuat citra batik di daerah tetapi juga memacu branding batik secara nasional.
Bahkan, imbasnya juga dapat menjadi bagian dari penguatan identitas nasional. Oleh karena itu, beralasan jika upaya dibalik peringatan Hari Batik Nasional yaitu bagaimana membangun kecintaan terhadap batik sehingga batik menjadi kebanggaan dalam berbusana dan menunjang geliat bisnis perbatikan nasional sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan melalui penyerapan tenaga kerja dan juga mata rantainya.
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Di era kecerdasan buatan dan digitalisasi yang…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal di Indonesia telah terbukti selalu mampu menyelamatkan rakyat dan perkonomian…
Oleh: Haryo Limanseto Juru Bicara Kemenko Perekonomian Mempertimbangkan stabilitas perekonomian global yang masih dihadapkan pada berbagai tantangan seperti ketidakpastian geopolitik,…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Di era kecerdasan buatan dan digitalisasi yang…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal di Indonesia telah terbukti selalu mampu menyelamatkan rakyat dan perkonomian…
Oleh: Haryo Limanseto Juru Bicara Kemenko Perekonomian Mempertimbangkan stabilitas perekonomian global yang masih dihadapkan pada berbagai tantangan seperti ketidakpastian geopolitik,…