NERACA
Jakarta – Sepanjang tahun 2009 hingga 2010, industri plastik hilir mengalami kerugian hingga Rp 2 triliun. Kondisi terjadi akibat imbas pengenaan bea masuk bahan baku plastik sebesar 10% hingga 15% dari negara di luar kawasan Asean.
Bea masuk tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no 19 tahun 2009 tentang penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Masuk Impor Produk-Produk Tertentu.
Banyaknya kerugian yang diderita industri hilir plastik, tiga asosisasi yang berhubungan dengan industri hilir plastik yaitu Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Industri Plastik Hilir Flexible (Rotokemas) dan Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (Giatpi) menuntut pemerintah untuk segera mencabut peraturan tersebut.
“Kita minta kepada pemerintah untuk segera mengembalikan posisi bea masuk sebelum tahun 2009,” kata Tjokro Gunawan, ketua umum Aphindo sekaligus juru bicara ketiga asosiasi itu.
Menurut Tjokro, ketiga asosiasi itu telah mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat dalam kop surat bernomor Ref. No. 03/APHI/03/2011 pada 11 Maret 2011.
“Dalam surat tersebut, mereka meminta PMK No. 19/2009 dihentikan mulai tahun ini, sampai industri hulu benar-benar bisa memenuhi 100% kebutuhan mereka. “Untuk apa ada kebijakan BM kalau industri hulu juga belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan kami,” tandasnya.
Jika PMK tersebut tidak segera dicabut, lanjutnya, ada 800 perusahaan yang terancam bangkrut dan 500.000 tenaga kerja langsung terancam PHK. Pasalnya, PMK tersebut telah menyebabkan harga bahan baku plastik di pasar lokal dan regional meningkat. Sedangkan pasokan bahan baku dari industri lokal sangat sulit atau hanya bisa terpenuhi 50%. Akibatnya, sebagian besar perusahaan berbasis karung dan kemasan plastik mulai kesulitan melanjutkan produksi lantaran menipisnya pasokan bahan baku.
Berdasarkan PMK tersebut, sejumlah bahan baku penting yang diimpor untuk pembuatan karung plastik dan kemasan seperti polipropilena (PP) terkena BM 15%. Pada saat yang sama, bahan plastik kopolimer PP berbentuk cair dan pasta terkena 10%.
Tjokro menambahkan, alasan asosiasi baru melakukan protes melalui surat kementrian karena pihaknya berusaha memahami rencana pemerintah untuk melakukan perluasan usaha dari industri hulu petrokimia sehingga ketergantungan impor bisa dikurangi.
Namun sepanjang 2009 industri hilir telah mengalami kerugian cukup besar. Sementara itu janji perluasan indusri hulu petrokimia belum terealisasi. Dan industri masih mengimpor 50% dari kebutuhan bahan baku atau sekitar 600.000 ton.
“Seharusnya hilangnya dampak krisis ekonomi global pada tahun 2010 dapat meningkatkan omzet penjualan seluruh produk hilir plastik menjadi Rp11 triliun. Tapi justru diperkirakan hanya tercapai sekitar Rp10 triliun sehingga diduga telah terjadi potential loss sekitar 10% atau Rp1 triliun, dan tahun 2009 juga kita mengalami kerugian yang sama,” terangnya.
Pada tahun 2010, potensial lost akibat PMK 19 ini lebih berat dirasakan karena adanya peraturan pemerintah atas kenaikan tarif dasar listrik, upah pekerja (UMR), BBM dan bahan baku.
“Pada 2010, potential loss bisa mencapai 10%, sedangkan profit yang seharusnya kami peroleh sekitar 5% - 8%, ternyata setelah kami kalkulasi hanya terealisasi 2% - 3% (dari total omzet),” katanya.
Tjokro menyebut, dampak negatif dari peraturan tersebut sudah diketahui Kementrian Perindustrian. Dan pada awal 2010 Kemenprin memberikan persetujuan kepada industri hilir plastik untuk mendapat insentif fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP). Namun pemanfaatan insentif ini tidak optimal karena persyaratan administrasi dan birokrasi yang terlalu sulit dan panjang. Pada tahun 2010 hanya enam perusahaan dari 800 perusahaan hilir plastik yang mau memanfaatkannya.
“Untuk 2011, BMDTP hingga kini belum dapat dimanfaatkan karena belum ada keputusan dari menteri keuangan, walaupun kita sudah mengajukan melalui Kemenperin sejak Januari,” ungkapnya.
NERACA Jakarta – Pemerintah akan mengevaluasi insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) pada akhir 2025, seiring masih rendahnya…
NERACA Jakarta – Industri pengolahan kopi nasional terus menunjukkan kinerja yang positif dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan sektor industri…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mencetak wirausaha baru di berbagai daerah untuk menjadi pelaku industri yang adaptif,…
NERACA Jakarta – Pemerintah akan mengevaluasi insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) pada akhir 2025, seiring masih rendahnya…
NERACA Jakarta – Industri pengolahan kopi nasional terus menunjukkan kinerja yang positif dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan sektor industri…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mencetak wirausaha baru di berbagai daerah untuk menjadi pelaku industri yang adaptif,…