NERACA
Jakarta - Benar, dengan kadar gula yang tinggi maka akan berpotensi terkena serangan penyakit diabetes. Atas dasar itulah saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mulai mengurani konsumsi beras, dengan harapan agar terhindar dari penyakit diabetes.
Terbukti, data dari International Diabetes Federation pada 2017 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 negara dengan jumlah orang dengan diabetes. “Jadi sagu ini bisa menjadi bahan makanan pengganti beras,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Antarjo Dikin .
Lebih dari itu, menurut Antarjo, makanan sagu dapat menggantikan makanan pokok lainnya. Sebab, di dunia ini memang ada kecenderungan kelangakaan pangan. Sebab sumber daya alam mulai terbatas.
Melihat hal tersebut, maka sagu bisa juga dijadikan sebagai sumber pangan lainnya. Sehingga dengan membuka atau menciptakan pasar sagu, sama saja dengan mengangkat potensi petani dan membuka pasar ekonomi baru ke luar negeri.
5 Negara Pasar Sagu Indonesia
Terbukti, berdasarkan catatan Badan Pusat Satitstik (BPS) pasar sagu Indonesia terbesar ada di lima negara. Pertama Malaysia dengan volume ekspor 7.138.000 kilogram dengan nilai US$ 873.604. Kedua, Jepang dengan volume ekspor 4.122.000 kilogram dengan nilai US$ 2.008.748. Ketiga, Cina dengan volume ekspor 208.305 kilogram dengan nilai US$ 110.601. Keempat, Singapur dengan volume ekspor 7.175 kilogram dengan nilai 23.096. Kelima, Amerika Serikat dengan volume ekspor 4.615 kilogram dengan nilai US$ 68.227.
Sehingga, mengingat sagu memiliki kandungan serat yang tinggi, namun karbohidratnya rendah. Jadi sangat dianjurkan bagi penderita diabetes dan mencegah datangnya penyakit tersbut. “Maka
semoga negara belum banyak yang tau manfaatnya, harus terus sosialisasikan untuk mendorong pasar luar negeri,” himbau Antarjo.
Sebab, Antarjo mengakui dengan terus mensosialisasikan manfaat sagu otomatis akan membuka pasar lebih besar lagi. Adapun daerah sentra penghasil sagu terbesar di Indonesia ini ada 5 daerah juga.
Pertama, Papua dengan total produksi 66.593 ton dengan luas 155.675 hektar. Kedua, Maluku dengan total produksi 8.134 ton, dengan luas 36.478 hektar. Ketiga, Kalimantan Selatan dengan total produksi 4.130 ton dengan nilai 6.511 hektar. Keempat, Aceh dengan total produksi 1.711 ton seluas 6.946 hektar. Kelima, Riau dengan total produksi 338.726 ton seluas 73.587 hektar.
Melihat angka tersebut maka sagu berpotensi untuk dikembangkan, tinggal memnciptakan pasar-pasar baru baik didalam negeri ataupu luar negeri. Ini karena sagu saat ini bisa dikembangkan untuk aneka makanan.
Contohnya di Sumatera Selatan, bisa dijadikan sebagai bahan baku (makanan) pempek. Jadi sagu bisa dicampur dengan tepung sagu baru digoreng.Bayangkan jika sagu diolah masal atau dijadikan pempek maka konsumsi sagu bisa meningkat. Belum lagi jika dijadikan mie. Sebab saat ini mie sagu juga sedang berkembang.
“Artinya jika konsumsi sagu dalam negeri juga meningkat maka otomatis akan meningkatkan harga sagu ditingkat petani,” harap Antarjo.
Sekedar catatan, pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan penganekaragaman pangan yang berbasis pada sumber daya lokal. Di antaranya dengan adanya Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan dan peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2015 tentang ketahanan pangan dan gizi.
Sagu, Tanaman Pelindung
Disisi lain, menurut Antarjo, sagu tidak hanya sebagai makanan kesehatan, tapi juga sebagai tanaman pelindung bagi tanman lainnya. Hal ini karena sagu memiliki karalter tanaman yang berduri, maka tanaman sagu bisa ditanam di bagian luar tanaman budidaya.
“Sehingga dengan tanaman sagu yang berduri maka bisa melindungi dari hewan liar seperti babi, anjing ataupun lainnya,” terang Antarjo.
Tidak hanya itu, Antarjo mengakui, bahwa tanaman sagu juga baik untuk menyimpat air. Sebab tanaman sagu masuk dalam tanaman semi basah. Artinya tanaman sagu berguna bagi tanaman yang ada disekitarnya, sebab dapat menyimpan air.
Sebab sagu masuk dalam kategori tanaman agroforesty, sebab sagu ini bisa menahan tanaman lain. Dengan itu, masyarakat pada saat masuk musim kemarau tidak perlu buka lahan lagi karena tanaman sagu bisa juga dibikin seperti hutanisasi.
Bahkan tanaman sagu sangat efisien dalam penggunaan pupuk dan pestisida atau tidak ada perlakukan khusus. Ini karena tanaman sagu sama seperti tanaman pisang yang terus menghasilkan anakan. “Jadi selain menghasilkan makanan sagu juga menyimpan air, dan irit pemupukan” tegas Antarjo.
Kemudian, lanjut Antarjo, dalam satu pohon bisa menghasilkan 500 kiologram . Jadi jika harga sagu ditingkat petani berkisar Rp 3.000 – 5.000 per kilogram Rp 1.500.000 – 2.500.000 per tanaman. Sehingga jika konsumsi dalam negeri meningkat maka harga ditingkat petani akan lebih tinggi lagi.
NERACA Surabaya - Wakil Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Helvi Moraza menekankan pentingnya sinkronisasi dan kolaborasi dengan berbagai…
NERACA Jakarta – Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman melakukan penelusuran dan menemukan adanya anomali dalam distribusi beras di Pasar Induk…
NERACA Jakarta – Ekosistem pertembakauan di Indonesia sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda. Mulai dari petani tembakau, perajang tembakau, petani…
NERACA Surabaya - Wakil Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Helvi Moraza menekankan pentingnya sinkronisasi dan kolaborasi dengan berbagai…
NERACA Jakarta – Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman melakukan penelusuran dan menemukan adanya anomali dalam distribusi beras di Pasar Induk…
NERACA Jakarta – Ekosistem pertembakauan di Indonesia sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda. Mulai dari petani tembakau, perajang tembakau, petani…