Kampanye Negatif Berdampak Kepada Ekspor Produk Sawit

NERACA

Jakarta – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto menyebutkan bahwa berbagai aktivitas kampanye negatif terhadap produk minyak kelapa sawit (CPO) dari Indonesia juga berdampak kepada penurunan ekspor produk tersebut ke sejumlah negara. "Ada dampak pengaruhnya kepada ekspor CPO," kata Kecuk Suhariyanto di Jakarta, disalin dari Antara.

Menurut dia, jumlah ekspor CPO dan produk turunannya yang tercatat pada Mei 2018 ini diketahui mengalami penurunan bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Beberapa negara yang diketahui mengalami penurunan dengan mengimpor lebih sedikit CPO dan produk turunannya dari Indonesia antara lain adalah India, Spanyol, Italia, dan Belanda.

Namun secara keseluruhan, berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia ke berbagai negara tersebut mengalami peningkatan pada Mei 2018 dibandingkan April 2018, misalnya India meningkat 91,0 juta dolar AS atau naik 8,97 persen.

Selain itu, masih pada periode yang sama, ekspor ke Belanda meningkat 80,8 juta dolar AS atau naik 25,02 persen, dan ekspor ke Italia meningkat 23,2 juta dolar AS atau naik 14,03 persen bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat kinerja ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya pada Januari-April 2018 mengalami penurunan sebesar 4 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono di Jakarta, Rabu (30/5), menyebutkan ekspor minyak sawit hingga April 2018 hanya mencapai 10,20 juta ton, sedangkan pada 2017 mencapai 10,70 juta ton.

"Di samping karena ekspor kita turun 4 persen, tahun ini harga lebih rendah dari tahun lalu rata-ratanya sekitar 10 persen lebih rendah sehingga berdampak pada pencapaian nilai ekspor kita," kata Joko.

Joko menjelaskan nilai ekspor pada Januari-April 2018 pun turun sekitar 13 persen menjadi 7,04 miliar dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 8,06 miliar dolar AS. Khusus pada April 2018, volume ekspor minyak sawit total termasuk biodiesel, oleofood dan oleochemical membukukan penurunan sebesar 5 persen atau dari 2,53 juta ton.

Menurut Joko, negara-negara tujuan utama, yakni Tiongkok, India, Uni Eropa dan Amerika Serikat, pada April 2018 mengalami penurunan impor sehingga berdampak pada nilai ekspor minyak sawit nasional.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi untuk bisa mengembangkan industri hilir kelapa sawit untuk meningkatkan nilai tambah.

Saat ini, katanya, industri hilir kelapa sawit Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini tercermin dari rendahnya hak paten yang diajukan Indonesia di industri tersebut.

Berdasarkan data World Intellectual Property Organisation 2011, permohonan paten Indonesia tercatat hanya tiga, jauh di bawah Malaysia sebanyak 79 permohonan, Singapura sebanyak 34 permohonan, dan Thailand sebanyak tiga permohonan.

“Kalau Indonesia tidak hanya menjadi produsen tapi juga melakukan hilirisasi tentunya akan membuat surplus neraca perdagangan yang akan memberikan dampak terhadap nilai tukar rupiah," katanya.

Apalagi, saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus terdepresiasi dari kondisi 2015. Berdasarkan data Fx Sauder, pelemahan itu tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga dialami oleh ringgit terhadap dolar AS, yuan terhadap dolar AS. Sementara itu, yen dan won terhadap dolar AS justru menguat dari posisi 2015.

Arif melanjutkan, hanya dengan mengekspor kelapa sawit, nilai ekspor mencapai US$18 miliar atau sekitar Rp252 triliun pada 2017. Pendapatan devisa tersebut tentunya akan semakin besar apabila Indonesia juga menambah ekspor barang turunan kelapa sawit. Pasalnya permintaan terhadap kelapa sawit akan terus meningkat, terlebih dari pasar ekspor. Diperkirakan pada 2020, konsumsi kelapa sawit akan mencapai sekitar 40 juta ton.

Umumnya, kelapa sawit digunakan sebagai bahan baku biodesel, minyak goreng, margarin darn shoreting, crude palm oil (CPO), hingga oleochemical. "Ini merupakan potensi yang sangat besar sekali. Jangan sampai peluang ini justru dimanfaatkan oleh pesaing kita yang sebenarnya sumber dayanya jauh di bawah Indonesia," ucapnya.

Kendati demikian, sambungnya, pemerintah perlu melakukan diplomasi perdagangan untuk mendorong ekspor CPO dan produk turunannya. Penolakan keras dari pasar global terhadap produk kelapa sawit.

BERITA TERKAIT

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…