Oleh : Agus Yuliwan (Pemerhati Ekonomi syariah)
Perkembangan keuangan syariah di tanah air masih jalan di tempat, meskipun sudah berjalan selama dua dekade lebih, tetap saja tak beranjak dari market share yang ada selama ini, yakni 5 persen. Bahkan, upaya - upaya para stakeholders dalam melakukan perubahan kebijakan selama dua dekade tersebut, nyaris tetap saja tak ada progres yang signifikan. Mengapa demikian? Apakah keuangan syariah sulit dipasarkan di tanah air yang mayoritas Muslim ini?
Apabila melihat realitasnya--mayoritas secara demografi bangsa ini adalah umat Islam, tentunya mereka membutuhkan sistem keuangan yang berbasis halal. Lantas mengapa hal itu jadi kontra produktif dan realitas berbicara lain.
Kalau kita kaji seksama, bahwa sistem keuangan syariah adalah sistem keuangan yang mengedepankan berbasis bagi hasil (floating) bukan bunga(rate). Itu artinya, apapun produk - produk berbasis bagi hasil dalam sistem keuangan itu adalah syariah, karena praktek dalam sistem keuangan syariah adalah bagi hasil. Atas dasar inilah--maka lembaga keuangan apapun seperti perbankan konvensional bisa menjual produk bagi hasilnya di Dana Pihak Ketiga (DPK), berupa tabungan, deposito dan giro. Maka dengan demikian akan memudahkan prinsip - prinsip bagi hasil itu tersosialisasikan dalam sistem keuangan nasional.
Untuk itu agar produk bagi hasil bisa masuk dalam perbankan konvensional, kembali pada pihak regulator, yakni Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), apakah ada keberanian dalam mengeluarkan kebijakan tersebut. Jika ini berhasil--merupakan sejarah besar bagi keuangan nasional dimana dalam perbankan konvensional ada produk bagi hasilnya. Sejarah ini harus dilakukan dan harus ada langkah berani yang dilakukan oleh pihak regulator.
Jika regulator melakukan hal ini, maka ekonomi berbasis bagi hasil yang selama ini dimiliki sebagai budaya bangsa Indonesia akan dikembangkan lebih masif lagi. Literatur sejarah mencatatkan jika konsep mertelu, paron dan mertigo adalah konsep bagi hasil dalam budaya ekonomi bangsa yang telah dijalankan dalam masyarakat. Jika konsep ini dibawa dalam ranah ekonomi nasional, maka pemerintah ini sesungguhnyanya menjalankan nilai - nilai budaya ekonomi bangsa. Tinggal mau atau tidak pemerintah ini dalam menjalankannya.
Maka dengan adanya penempatan produk bagi hasil di bank konvensional secara otomatis tanpa menggunakan kata "syariah" sesungguhnnya. Implementasi dari konsep syariah telah dijalankannya secara substansi muamalah. Mudah mudahan resonansi pemikiran ini menjadi pemangku kebijakan publik terpacu untuk melakukannya.Sehingga sistem bagi hasil yang dijalankan di negeri ini bukan 5 persen tapi bisa 80 persen market sharenya. Amin.
Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…
Oleh: Pande K. Trimayuni Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sosialisasi program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kini mulai gencar disosialisasikan ke berbagai daerah…
Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…
Oleh: Pande K. Trimayuni Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sosialisasi program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kini mulai gencar disosialisasikan ke berbagai daerah…