Pengamat: Kekuasaan Yudikatif di Indonesia Masih Lemah
NERACA
Jakarta - Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai kekuasaan yudikatif di Indonesia masih terlihat lemah dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.
"Yudikatif masih terlihat lemah dibanding dua kekuasaan yang lain, tapi ini yang independen," kata Oce dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (8/3).
Oce mengatakan bahwa independensi kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif, akan sangat terganggu bila kekuasaan eksekutif dan legislatif bergabung dan mencoba mempengaruhi lembaga peradilan."Ini seperti bagaimana membuat seleksi hakim agung imun dari segala intervensi," ujar Oce.
Lebih lanjut Oce memaparkan bagaimana kondisi Indonesia yang pernah melalui masa di mana kekuasaan legislatif yang memiliki kontrol politik di parlemen dan kekuasaan eksekutif yang dimiliki pemerintah, memberikan pengaruh besar terkait dengan pemilihan hakim.
Menurut Oce, pengaruh ini yang dapat menyebabkan ketidakpercayaan publik akan lembaga peradilan."Pada reformasi tahun 1998, semua berangkat dari ketidakpercayaan publik, dan sekarang kita harus mampu membuat badan dan lembaga peradilan yang dipercaya dan berwibawa serta mendapat kepercayaan publik," kata Oce.
Oce kemudian menambahkan bahwa hingga saat ini masalah ketidakpercayaan publik belum sepenuhnya selesai karena masih ada masalah integritas serta pelanggaran etik yang terjadi dalam lembaga peradilan.
Presiden Perlu Turun Tangan
Lalu, Oce menyebutkan Presiden Joko Widodo perlu turun tangan langsung untuk mengatasi permasalahan dalam lembaga peradilan dengan mengeluarkan paket kebijakan hukum yang lebih komprehensif."Presiden harus melakukan reformasi peradilan secara komprehensif, Presiden bisa mengeluarkan paket kebijakan hukum yang lebih baik," kata Oce.
Oce menilai pemerintah masih belum memperhatikan bidang hukum, padahal ada tanggung jawab politik yang perlu dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan agenda reformasi termasuk dalam bidang hukum."Sebagai contoh adalah kasus Sekretaris Mahkamah Agung (MA), ini sudah sangat besar dan tidak bisa dibiarkan," ujar Oce.
Menurut dia, kasus dugaan suap yang menyeret nama Sekretaris MA Nurhadi merupakan momentum penting untuk melakukan reformasi peradilan secara komprehensif. Oce kemudian mengatakan kasus-kasus yang mencoreng peradilan di Indonesia masih kurang ditindak dengan tegas."Kalau responnya masih biasa saja, lama-lama malah akan jadi permisif dengan kasus-kasus seperti ini," kata Oce.
Lebih lanjut Oce menyebutkan permasalahan dalam lembaga peradilan ini masih terus berlarut-larut karena kurangnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.”Persoalan seperti suap, korupsi, integritas buruk, kurangnya kompetensi, serta berbagai pelanggaran etik dan moral,” pungkas Oce. Ant
NERACA Semarang - Pakar ilmu komunikasi dari Carleton University, Canada Prof. Merlyna Lim mengingatkan bahwa media sosial (medsos) dalam kenyataannya…
NERACA Jakarta - Aktris Maudy Ayunda menilai adanya kemajuan teknologi yang masif di era saat ini telah membantu guru untuk…
NERACA Jakarta - Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto menekankan bahwa pendidikan tinggi, sains, dan teknologi memegang…
NERACA Semarang - Pakar ilmu komunikasi dari Carleton University, Canada Prof. Merlyna Lim mengingatkan bahwa media sosial (medsos) dalam kenyataannya…
NERACA Jakarta - Aktris Maudy Ayunda menilai adanya kemajuan teknologi yang masif di era saat ini telah membantu guru untuk…
NERACA Jakarta - Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto menekankan bahwa pendidikan tinggi, sains, dan teknologi memegang…