NERACA
Jakarta - Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah adalah sepenggalan judul pidato yang disampaikan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno telah memberikan pesan yang mendalam betapa pentingnya mengenali sejarah perjalanan bangsa ini agar generasi penerus bisa mencintai dan mengambil pelajaran yang didapat. Setidaknya semboyan inilah yang masih mempunyai korelasi tentang pentingnya mengenai sejarah rupiah sebagai alat transaksi di negeri ini dan juga sebagai indentitas bangsa Indonesia di mata dunia. Tahukah butuh perjuangan yang tidak mudah, bisa mendapatkan pengakuan rupiah di mata dunia sebagai alat resmi transaksi di Indonesia dan resmi sebagai mata uang Indonesia.
Maka hadirnya museum Bank Indonesia (BI) di kota Tua Jakarta, dinilai mampu menjawab penasaran masyarakat dan keingintahuan sejarah perjalanan panjang rupiah ataupun sistem pembayaran, sampai ke bentuk alat pembayaran dari priode ke priode, pun juga dengan kisah masa lalunya.”Museum tidak hanya digunakan sebagai sarana pembelajaran melihat peristiwa masa lalu, namun harus dijadikan sarana mengasah pengetahuan pengunjung sehingga menjadi lebih memahami masalah ekonomi.”kata Kepala Museum BI, Yiyok T Herlambang.
Asal tahu saja, perjalanan rupiah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak terlepas dari sejarah perjuangan bangsa dalam membangun Indonesia. Bila ditengok sejarahnya, yaitu di masa pemerintahan Hindia Belanda, mata uang yang digunakan adalah Sen dan Gulden yang diterbitkan oleh De Javasche Bank. Namun ketika Jepang masuk Indonesia, uang Belanda yang beredar itu ditarik dari peredarannya. Itu terjadi sekitar tahun 1942. Pemerintah Jepang mengganti uang yang beredar itu dengan uang mereka sendiri yang diterbitkan oleh bank Nanpo Kaihatsu Ginko. Walaupun mata uangnya masih menggunakan bahasa Belanda, yang disebut "Gulden Hindia Belanda".
Saat masa pendudukan Jepang akan berakhir, sebagai upaya untuk menarik hati masyarakat Indonesia, pemerintah Jepang menerbitkan mata uang baru dengan menggunakan bahasa Indonesia, nama mata uang itu adalah Rupiah Hindia Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekannya, mata uang baru yang beredar itu banyak digunakan dalam transaksi yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Semua mata uang, baik itu terbitan Hindia Belanda maupun terbitan Jepang semuanya berlaku untuk digunakan sebagai transaksi, sebab pada masa itu negara sedang mengalami kondisi ekonomi yang masih kacau balau.
Kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil itu semakin diperparah dengan kedatangan para sekutu yang mencoba mengambil alih kekuasaan Indonesia. Tentara sekutu yang terkenal dengan sebutan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) itu datang dan menarik semua uang yang beredar dari masyarakat Indonesia, dan menggantinya dengan mata uang baru bernama "Gulden NICA" atau uang NICA.
Para pejuang kemerdekaan jelas menolak uang NICA tersebut, Karena uang itu menampilkan gambar Ratu Wilhelmina, (Kepala Negara Belanda saat itu), lambang kerajaannya, dan dicetak dengan menggunakan bahasa Belanda. Ketika uang NICA sudah mulai memasuki kawasan Pulau Jawa, Bung Karno dengan sigap mendeklarasikan bahwa uang itu adalah ilegal. Sementara dia mengatakan kalau legal Indonesia adalah uang terbitan Jepang yang saat itu masih dijadikan pilihan sebagai alat pembayaran dan bisa digunakan di kawasan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Era Kemerdekaan
Pemerintah Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya, langsung mengambil langkah untuk segera membuat mata uang sendiri. Tapi hal itu terkendala dengan sumber daya untuk membuat dan mencetak mata uang itu. Bahkan pabrik-pabrik untuk mencetak uang saat itu selalu saja diserang sekutu, mereka berupaya untuk mencegah peredaran uang Indonesia. Pada masa-masa awal kemerdekaan, dengan perjuangan gigih, pemerintah Indonesia akhirnya bisa mencetak dan menerbitkan uang sendiri Indonesia belum menggunakan mata uang rupiah. Uang pertama yang diterbitkan adalah “Oeang Republik Indonesia” atau yang lebih dikenal dengan sebutan ORI. Uang itu diterbitkan pada tanggal 3 Oktober 1946.
Pada masa itu, semua uang terbitan Jepang harus segera ditukarkan dengan ORI. Sampai pada tahun 30 Oktober 1946, standar nilai tukar ORI ditetapkan dengan harga 50 Rupiah Hindia Belanda = 1 ORI. Dan pemerintah juga menetapkan bahwa 1 ORI memiliki nilai yang setara dengan 0.5 gram Emas. Sehingga dengan begitu, peredaran Rupiah Hindia Belanda dinyatakan ilegal dan tidak berlaku untuk digunakan di Indonesia.
ORI memiliki jangka waktu peredaran di Indonesia selama 4 tahun, ORI sudah mulai digunakan semenjak 1945-1949. Namun penggunaan ORI secara sah baru dimulai semenjak diresmikannya mata uang ini oleh pemerintah sebagai mata uang Indonesia pada 30 Oktober 1946. Pada masa awal kemerdekaan tersebut ORI beredar luas di masyarakat meskipun uang ini hanya dicetak di Yogyakarta saja. ORI sedikitnya sudah dicetak sebanyak lima kali dalam jangka waktu empat tahun antara lain, cetakan I pada 17 Oktober 1945, seri II pada 1 Januari 1947, seri III dikeluarkan pada 26 Juli 1947. Pada masa itu ORI merupakan mata uang yang memiliki nilai yang sangat murah jika dibandingkan dengan uang-uang yang dikeluarkan oleh de Javasche Bank. Padahal uang ORI adalah uang langka yang semestinya bernilai tinggi.
Jatuhnya ORI karena mengalami masalah finansial yang sangat buruk. Keadaan ini membuat pemerintah Indonesia harus mencetak uang sebanyak mungkin dengan tujuan untuk menambah isi kas negara. Namun, pencetakkan uang yang semakin banyak ini membuat tingkat inflasi menjadi tidak terkendali, bahkan nilai tukarnya pun merosot. Awalnya nilai tukar ORI yang dari 5 Gulden NICA berubah menjadi 0.3 Gulden NICA. Itu terjadi pada pada bulan Maret 1947. Pada 8 April 1947, gubernur provinsi Sumatera mengeluarkan “ Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS)” Ada banyak keraguan sebenarnya mengenai bagaimana tepatnya mata uang ini mulai ada dan dipakai sebagai mata uang resmi. Pada masa setelah diresmikannya rupiah masih ada satu bentuk mata uang yang sempat dipakai di Indonesia. Mata uang ini adalah mata uang yang dikeluarkan pada masa RIS yang dikenal sebagai mata uang RIS. Mata uang ini masuk dalam sejarah perkembangan mata uang Indonesia sebagai pengganti sementara Rupiah. Setelah masa RIS berakhir mata uang Indonesia kembali menjadi rupiah, namun tidak ada sumber pasti yang menyebutkan mengenai waktu transisi secara tepat dari mata uang RIS ke mata uang rupiah ini. Setelah masa RIS tersebut rupiah mulai dipakai secara umum dan mulai banyak mengalami perkembangan dan penyempurnaan.
Lahirnya Rupiah
Baru bulan November 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) mulai mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS ini terdiri dari Jawa dan Sumatera, serta 15 negara kecil lainnya. Pada periode ini, kekacauan ekonomi yang terjadi di RIS adalah akibat dari banyaknya berbagai macam mata uang yang beredar di masyarakat. Seperti uang ORI, NICA, uang Jepang, dan uang Belanda sebelum pendudukan Jepang. Ditambah lagi dengan uang yang dicetak sendiri oleh daerah-daerah terpencil.
Sejak 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan “ rupiah “ sebagai mata uang kebangsaannya yang baru. Sebagai mata uang resmi Indonesia, rupiah kemudian dikeluarkan dan dikontrol oleh Bank Indonesia. Terlebih lagi semenjak BI secara resmi dijadikan bank central dan diberi kewenangan penuh untuk mengatur perbankan negara pada 1 Juli 1953. Rupiah kemudian diberi kode atau simbol yang digunakan pada semua pecahan uang kertas dan uang logam berupa “ Rp “ dan diakui oleh semua pihak.
Kini di era modern, rupiah beberapa kali berubah fisiknya seiring bergerak dinamisnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun rupiah sebagai mata uang Indonesia masih rapuh terhadap mata uang negara lain dan hal rupiah pernah terkoyak oleh mata uang asing di saat krisis ekonomi hingga hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan akibat minimnya transaksi penggunaan rupiah. Maka berangkat dari situlah, BI mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal ini dimakudkan pula untuk mendukung nilai tukar rupiah yang stabil.
Peraturan tersebut tertuang dalam PBI No. 17/3/PBI/2015, dan berlaku sejak diundangkan PBI pada tanggal 31 Maret 2015. Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang, Eko Yulianto mengatakan, saat ini belum seluruh transaksi di wilayah NKRI menggunakan rupiah dan masih banyak transaksi dalam negeri dengan valuta asing (valas). "Penggunaan valas yang cukup besar memberikan tekanan pada nilai rupiah,"ujarnya.
Menurut Eko, dengan berlakunya peraturan ini maka nilai tukar rupiah akan terjaga kestabilannya. Nantinya penerapan peraturan ini akan bersinergi dengan beberapa stakeholder, seperti pemerintah, DPR untuk kebijakan dan regulasi. "Lalu peraturan ini perlu didukung oleh pelaku usaha, kemudian BI akan mengoordinasikan dengan aparat penegak hukum untuk pengawasan jalannya peraturan ini," terang Eko.
Namun, Eko mengatakan, peraturan ini tidak akan melarang sama sekali penggunaan valas dalam transaksi. Namun, kata dia, ada beberapa kondisi yang memperbolehkan transaksi menggunakan valas. Kedepan hadirnya peraturan tersebut, diharapkan bisa membawa perubahan yang berarti terhadap nilai tukar rupiah yang kokoh di negerinya sendiri. Semoga. (bani)
Perusahaan pengembang properti, Summarecon kembali memperkenalkan hunian premium keluarga terbarunya yang berada di kawasan Summarecon Mutiara Makassar (SMM). Berlokasi strategis…
Genjot pertumbuhan penjualan dan penetrasi pasar di Indonesia lebih luas lagi, TCL, pemimpin global dalam teknologi elektronik dan produk pintar…
Emiten properti, PT Modernland Realty Tbk. (MDLN) membukukan laba bersih konsolidasian di kuartal pertama 2025 sebesar Rp761,3 miliar, berbalik arah…
Perusahaan pengembang properti, Summarecon kembali memperkenalkan hunian premium keluarga terbarunya yang berada di kawasan Summarecon Mutiara Makassar (SMM). Berlokasi strategis…
Genjot pertumbuhan penjualan dan penetrasi pasar di Indonesia lebih luas lagi, TCL, pemimpin global dalam teknologi elektronik dan produk pintar…
Emiten properti, PT Modernland Realty Tbk. (MDLN) membukukan laba bersih konsolidasian di kuartal pertama 2025 sebesar Rp761,3 miliar, berbalik arah…