BPR Rawan Fraud

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, tindak pidana perbankan (fraud) paling rentan terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dibandingkan di bank umum. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, jumlah BPR sebanyak 1.800 bank dibandingkan jumlah bank umum yang hanya 118 bank, tentunya menjadikan kesempatan terjadinya 'fraud' lebih terbuka di BPR. "Tindak pidana perbankan kebanyakan terjadi di BPR. Sekitar 80 persen BPR itu ditutup karena fraud," ujar Nelson di Jakarta, Senin (14/11).

Selain dari kuantitasnya yang lebih banyak, lanjut Nelson, fraud di BPR juga terjadi karena tingkat pengawasan oleh otoritas tidak seintens sebagaimana pengawasan yang dilakukan di bank umum. Lokasi BPR yang jauh dari jangkauan pengawas pun juga menjadi salah satu faktornya. "BPR-BPR ini, karena lokasi yang jauh dan tersebar tadi, serta size-nya juga kecil tetap dilakukan pemeriksaan sekali setahun, cuma mungkin di dalam pengawasan itu tidak sesimultan kayak bank-bank umum, kira-kira begitulah. Jadi kemungkinan terjadinya fraud di BPR itu jadinya lebih tinggi," ujar Nelson.

Kasus yang telah dilimpahkan bidang pengawas perbankan ke Departemen Penyidikan OJK pada 2014 sebanyak 59 kasus, pada 2015 sebanyak 23 kasus, dan 2016 sebanyak 26 kasus. Berdasarkan statistik penanganan tindak pidana perbankan yang ditangani oleh OJK, jenis kasus tindak pidana perbankan yang terjadi pada 2014 sampai 2016 antara lain kasus kredit (55 persen), rekayasa pencatatan (21 persen), penggelapan dana (15 persen), transfer dana (5 persen), dan pengadaan aset (4 persen).

Nelson menambahkan, OJK bersama aparat penegak hukum dan industri perbankan juga terus menjalin kerja sama dan koordinasi, untuk pencegahan terjadinya dugaan tidak pidana perbankan maupun proses penanganan dugaan tindak pidana perbankan "Tugas OJK menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dengan terus menekan tindak pidana perbankan sehingga masyarakat terlindungi dengan baik," ujar Nelson.

OJK juga akan memperketat bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan penerapan good corporate governance (GCG) dan manajemen risiko demi menghasilkan kinerja yang lebih baik. Penerapan tata kelola yang baik atau GCG untuk BPR rencananya diterapkan pada 2017 dan aturan Manajemen Risiko (MR) pada 2021. Hal ini tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No 4/2015 tentang Penerapan Tata Kelola yang Baik bagi BPR dan POJK No 13 /2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi BPR.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, ada beberapa hal mendasar yang mengharuskan BPR menerapkan GCG dan manajemen risiko. Pertama, masih ada BPR dicabut izin usahanya bukan karena kalah dalam persaingan tetapi lebih disebabkan oleh pengurus BPR belum melaksanakan GCG dengan penuh tanggung jawab.

Kedua, penataan dan pengelolaan kekayaan dan keuangan BPR masih ada yang belum dilakukan secara profesional dan masih ada untuk kepentingan pribadi. ”Kemudian, terakhir, pengelolaan risiko di BPR masih ada beberapa kelemahan dan bahkan masih ada yang belum paham tentang risiko, sehingga performance BPR menurun karena belum memahami dengan baik risiko yang ditimbulkan,” ujar Joko.

Untuk memaksimalkan peran BPR dalam menopang UMKM dan menghadapi persaingan di antara lembaga keuangan lainnya, maka kinerja keuangan BPR harus terus ditingkatkan. Joko menilai, peningkatan kinerja keuangan BPR dapat dilakukan dengan menerapkan GCG.

Penerapan GCG ini merupakan sebuah konsep yang menekankan pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat dan tepat waktu. Menurutnya, penerapan prinsip GCG sangat diperlukan agar perbankan dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, serta dapat menerapkan etika bisnis, sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat dan transparan.

 

BERITA TERKAIT

Respon OJK Terkait Merger Adira Finance dan Mandala Multifinance

    NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penggabungan usaha PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (kode saham: ADMF)…

ADB dan Indonesia Konversi Pinjaman US$3,3 Miliar ke Rupiah

  NERACA Jakarta – Asian Development Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia) bekerja sama dengan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) untuk mengonversi 27…

DJSN : Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan Meningkat

    NERACA Jakarta – Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryantono mengatakan, pada tahun ini terjadi peningkatan klaim terjadi…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Respon OJK Terkait Merger Adira Finance dan Mandala Multifinance

    NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penggabungan usaha PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (kode saham: ADMF)…

ADB dan Indonesia Konversi Pinjaman US$3,3 Miliar ke Rupiah

  NERACA Jakarta – Asian Development Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia) bekerja sama dengan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) untuk mengonversi 27…

DJSN : Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan Meningkat

    NERACA Jakarta – Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryantono mengatakan, pada tahun ini terjadi peningkatan klaim terjadi…