Dampak Kebijakan Non-Tariff Barrier Terhadap Ekonomi RI

Dampak Kebijakan Non-Tariff Barrier Terhadap Ekonomi RI 
Oleh: Desi Hestika Putri, Alumni UIN Jakarta dan Peserta GenBI 
Dalam era perdagangan bebas saat ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan pelaku bisnis dalam negeri untuk lebih meningkatkan produktivitas dan kualitas produk,  agar hasil produksi mereka mampu bersaing dengan produk impor.  Pasalnya, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 250 juta orang lebih, merupakan pasar yang besar yang cukup menarik bagi negara lain untuk memasarkan produknya di negeri ini.
Nah, upaya peningkatan kualitas produk menjadi hal penting sehingga akan menjadi salah satu bentuk non-tariff barrier to trade (NTB). Dengan demikian, produk domestik tidak terpukul, namun  tetap dapat bersaing meski produk impor membanjiri pasar dalam negeri. Menurut data World Trade Organization (WTO), terdapat enam tipe NTB yaitu pembatasan khusus pada perdagangan, administrasi dan kepabean, standardisasi, partisipasi pemerintah dalam perdagangan, bea impor dan lainnya seperti pembatasan ekspor.
Bagaimanapun, kondisi perdagangan bebas antarnegara sekarang menjadi tren kerja sama di bidang perekonomian. Indonesia tak perlu mengisolasi atau menarik diri, tetapi saat terjun di dalamnya harus berhati-hati. Artinya, pemerintah juga harus tetap tegas dalam memberikan perlindungan terhadap sektor tertentu yang dinilai harus diproteksi. Tanpa perlindungan, maka daya saing industri dalam negeri akan tergerus bahkan laju investasi bisa jadi melambat.
Adalah bentuk perlindungan melalui non tariff barrier dinilai lebih efektif melindungi pasar. Karena di tengah keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas, neraca perdagangan di domestik tetap harus seimbang. Dalam perdagangan bebas, impor akan menjadi lebih murah karena tarif 0%. Peningkatan impor terutama barang jadi akan membuat industri kita tidak tumbuh, sehingga investasi berpotensi tertekan. Untuk itu, NTB merupakan opsi yang juga direkomendasikan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) guna memproteksi industri dan konsumen.
Dampak lain dari impor adalah melemahnya nilai tukar mata uang rupiah yang akan berdampak langsung bagi perekonomian di Indonesia. Melemahnya nilai tukar bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga (imported inflation) dikarenakan tingginya konsumsi impor Indonesia yang pada akhirnya, menekan pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter di negeri ini memiliki tugas untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia yaitu “(1) Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”
Ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah antara lain melalui pola kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Patut disadari, bahwa peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, BI berwenang membuat kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan perkreditan. 

 

Oleh: Desi Hestika Putri, Alumni UIN Jakarta dan Peserta GenBI 

 

Dalam era perdagangan bebas saat ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan pelaku bisnis dalam negeri untuk lebih meningkatkan produktivitas dan kualitas produk,  agar hasil produksi mereka mampu bersaing dengan produk impor.  Pasalnya, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 250 juta orang lebih, merupakan pasar yang besar yang cukup menarik bagi negara lain untuk memasarkan produknya di negeri ini.

Nah, upaya peningkatan kualitas produk menjadi hal penting sehingga akan menjadi salah satu bentuk non-tariff barrier to trade (NTB). Dengan demikian, produk domestik tidak terpukul, namun  tetap dapat bersaing meski produk impor membanjiri pasar dalam negeri. Menurut data World Trade Organization (WTO), terdapat enam tipe NTB yaitu pembatasan khusus pada perdagangan, administrasi dan kepabean, standardisasi, partisipasi pemerintah dalam perdagangan, bea impor dan lainnya seperti pembatasan ekspor.

Bagaimanapun, kondisi perdagangan bebas antarnegara sekarang menjadi tren kerja sama di bidang perekonomian. Indonesia tak perlu mengisolasi atau menarik diri, tetapi saat terjun di dalamnya harus berhati-hati. Artinya, pemerintah juga harus tetap tegas dalam memberikan perlindungan terhadap sektor tertentu yang dinilai harus diproteksi. Tanpa perlindungan, maka daya saing industri dalam negeri akan tergerus bahkan laju investasi bisa jadi melambat.

Adalah bentuk perlindungan melalui non tariff barrier dinilai lebih efektif melindungi pasar. Karena di tengah keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas, neraca perdagangan di domestik tetap harus seimbang. Dalam perdagangan bebas, impor akan menjadi lebih murah karena tarif 0%. Peningkatan impor terutama barang jadi akan membuat industri kita tidak tumbuh, sehingga investasi berpotensi tertekan. Untuk itu, NTB merupakan opsi yang juga direkomendasikan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) guna memproteksi industri dan konsumen.

Dampak lain dari impor adalah melemahnya nilai tukar mata uang rupiah yang akan berdampak langsung bagi perekonomian di Indonesia. Melemahnya nilai tukar bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga (imported inflation) dikarenakan tingginya konsumsi impor Indonesia yang pada akhirnya, menekan pertumbuhan ekonomi.

Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter di negeri ini memiliki tugas untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia yaitu “(1) Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”

Ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah antara lain melalui pola kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (inflation targeting framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).

Patut disadari, bahwa peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, BI berwenang membuat kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan perkreditan. 

BERITA TERKAIT

Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

  Oleh: Farhan Farisan,  Mahasiswa PTS di Bandung Swasembada pangan telah menjadi bentuk strategis nasional yang terus dihidupkan dalam setiap…

Langkah Tegas Berantas Judi Daring Berhasil Tekan Jumlah Deposit

    Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro   Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…

Pemerintah Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset

  Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik     Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

  Oleh: Farhan Farisan,  Mahasiswa PTS di Bandung Swasembada pangan telah menjadi bentuk strategis nasional yang terus dihidupkan dalam setiap…

Langkah Tegas Berantas Judi Daring Berhasil Tekan Jumlah Deposit

    Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro   Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…

Pemerintah Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset

  Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik     Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…