Kembali, hukuman mati menjadi bahan pembicaraan hangat saat ini. Hal itu terjadi karena kini sedang panas-panasnya diskusi tentang hukuman mati yang dialamatkan kepada para pembunuh berencana Sisca Yofie. Ada yang berkata, pembunuh Sisca Yofie harus diberi hukum setimpal, ada pula yang mengiba dengan argumen, hanya Tuhan yang berhak mengambil hidup.
Bagaimanapun, kedua pandangan itu dapat dibenarkan, satunya dari nalar hukum atau logika, satunya lagi dari nalar agama atau perasaan. Pertama, dari nalar hukum atau logika, hukuman mati dibenarkan dengan alasan bahwa apa yang kita tanam, itu juga yang harus kita tuai. Maka, diktum kau jual-kubeli menemui kebenarannya di sini. Dan, balas dendam pun menjadi sesuatu yang dibenarkan sehingga sejak dari Perjanjian Lama, hukum mata ganti mata dan sebagainya terus awet dan diwariskan.
Logika atau Perasaan
Kedua, dari nalar agama atau perasaan. Meskipun di Kitab Suci banyak diceritakan tentang martir, agama tetap mendefinisikan bahwa hidup-mati merupakan hak prerogatif Tuhan. Tidak satu orang pun berhak menghabisi nyawa orang lain, bahkan bunuh diri merupakan aib besar, apalagi membunuh orang lain. Dalam hal ini, pada Perjanjian Baru, ada hukum kasih. Intinya, kita harus memaafkan dengan penitensi pertobatan. Katolik mengartikan penitensi itu sebagai sanksi yang dapat ditebus melalui doa-doa. Artinya, dosa harus ditebus dengan doa-doa, bukan dengan dosa-dosa melalui hukuman mati.
Nah, masalah kemudian apakah hukum mati diperlukan menjadi masalah lanjutan yang berpaut dimana dan darimana kita bertolak. Apakah dari logika atau perasaan? Apakah dari zaman lama atau zaman baru? Yang pasti, membuat hukuman mati berarti juga mengartikan bahwa ada kesalahan yang bisa ditebus, ada pula yang tidak. Ada manusia yang pantas bertobat, ada pula tidak. Lebih jauh, hukuman mati mengandung logika yang meletakkan beban tanggung jawab dari sebuah kejahatan semata-mata hanya ditekankan dan dibebankan kepada pelaku kejahatan sehingga ia harus disingkirkan dari masyarakat. Padahal, terjadinya kesalahan bukan berada di tempat kosong. Di sana ada sederet aturan yang bisa saja malah menyulitkan pelaku yang kelak bisa dihukum mati.
Celakanya, aturan dan penegak aturan tidak mau tahu. Bagi mereka hukum tetap hukum. Dalam hal ini, penegak aturan atau katakanlah itu negara dalam nama hakim bertindak menjadi “Tuhan”. Sehingga secara serampangan, mereka diterjemahkan sebagai Tuhan yang akhirnya mendapat “legitimasi” untuk menilai apakah dia pantas bertobat atau tidak, apakah dia pantas mendapat hidup lebih atau tidak. Padahal, sejatinya negara bertugas untuk melindungi setiap tumpah darah, hukum pun sejatinya berfungsi untuk merawat adab, tentu dengan cara beradab pula.
Maka, atas nama agama dan perasaan, kita tentu menggugat bahwa hukuman mati merupakan hukuman salah alamat. Alasannya, seperti kata adagium klasik, with money you can buy blood, but not life. Pepatah ini mendesak. Darah merupakan suplai kehidupan yang dapat dibeli, tetapi kehidupan sama sekali tidak dapat dibeli karena tidak ada dijual. Hidup merupakan anugerah terindah dari Tuhan. Tanpa napas, kita tetap saja seperti debu yang diukir Tuhan, jorok dan tak berarti sama sekali. Artinya, kita harus merawat kehidupan, bukan mempermainkan, apalagi mencabutnya.
Karena itulah kemudian kita mendesak supaya negara, yang adalah berfungsi merawat dan melindungi kehidupan setiap warga negara, tidak gegabah yang lalu menerapkan hukuman mati begitu saja. Taruhannya banyak. Selain manusia tidak lepas dari sifat hakiki yang manusiawi, yang bisa teledor, yang bisa salah, hukuman mati juga menisbikan pertobatan. Padahal, Tuhan selalu merindukan pertobatan anak-anak-Nya yang hilang.
Hal itu akan makin tragis lagi andai di kemudian hari diketahui bahwa yang keburu dihukum mati terbukti tidak melakukan kesalahan. Seperti tadi, Anda bisa membeli darah, tetapi tidak dengan kehidupan. Bagaimana dan dimana kita kemudian meminta maaf jika hukuman mati diberikan secara khilaf? Ke kuburan yang dihukum mati? Ke tempat saudaranya, atau mengadu kepada Tuhan? Bagaimana pula kalau keluarga yang dihukum mati menuntut atas nalar hukum dan logika, apakah yang menghukum mati itu harus dihukum mati pula?
Sudah Kuno
Percayalah, hukum mati sudah kuno. Hukum mati mematikan sisi lain manusia yang pada hakikatnya mempunyai hati untuk kembali ke jalan yang benar. Padahal, nalar hukum sebenarnya memanusiakan manusia, bukan menghanguskan manusia. Sementara, hukuman mati itu benar-benar melanggar kesempatan hidup dan melanjutkan hidup seakan-akan manusia yang dihukum mati tidak layak untuk bertobat. Maka, benarlah apa yang dikatakan para pejuang kehidupan seperti Kontras, misalnya. Mereka mengatakan hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apa pun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.
Sekali lagi, hukuman mati sudah kuno. Kini kita sudah menjemput zaman modern yang manusiawi. Jika kita katakan hukum primitif kurang beradab, tentu menjadi tantangan bagi kita untuk memberadabkan hukum modern. Negara lain sudah banyak menerapkannya. Amnesty International, misalnya, melaporkan, di antara 195 negara, sebanyak 86 negara menerapkan hukuman mati dan 75 negara lainnya sudah menghapusnya. Yang terbaru adalah Filipina pada Juni 2006. Negara lain yang dulu menerapkan hukuman mati dan sekarang menolaknya adalah Belanda. Bahkan, bekas penjajah Indonesia ini beberapa kali mengampanyekan penolakan.
Pertanyaannya, kapan Indonesia sebagai negara yang menghargai kehidupan menerapkannya? Kapan Indonesia sebagai negara religius mengakui sisi manusia yang mempunyai hati dan kemauan untuk bertobat? Bukankah kita makhluk beradab, berpikir, bersusila, yang tentu tahu tata krama dan bagian-bagian? Bukankah bagian Tuhan untuk menilai pantas hidup atau tidak, pantas bertobat atau tidak, sedangkan bagian manusia hanya “memaksakan” manusia untuk bertobat?
Kalau begitu, kini saatnya bagi kita menentang hukuman mati. Hukuman mematikan, kalau itu misalnya sudah keterlaluan, boleh saja. Bagaimana itu misalnya? Menempatkan si keterlaluan tadi di penjara yang nyaris tanpa akses ke luar. Di sana dia akan merenung dan bertobat hingga siap menghadap Tuhan. Jika misalnya suatu ketika hukuman mematikan yang dialamatkan padanya khilaf sebagai mana kita juga manusia khilaf, kita masih bisa toh mengeluarkannnya? Intinya, fungsi hukum adalah menobatkan, bukan mematikan. Hukumannya boleh “mematikan”, tetapi maksudnya bukan hukum mati! (analisadaily.com)
Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…
Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…
Oleh: Dewi Widyaningrum, Pemerhati Kebijakan Publik Dalam lanskap perekonomian global yang kian tidak menentu, Indonesia menunjukkan ketangguhan…
Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…
Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…
Oleh: Dewi Widyaningrum, Pemerhati Kebijakan Publik Dalam lanskap perekonomian global yang kian tidak menentu, Indonesia menunjukkan ketangguhan…