NERACA
Jakarta – Ketahanan energi di dalam negeri masih tergolong rapuh. Pasalnya, akses masyarakat memperoleh energi masih sulit, disparitas harga antar daerah masih sangat tinggi, dan masih bergantungnya Indonesia pada kondisi geopolitik negara lain. “Kita bisa dibilang kuat jika masih punya cadangan dan mampu bertahan meskipun kondisi di luar bergejolak," kata Hadi di Jakarta, Selasa (26/8).
Guna mengantisipasi hal itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Hadi Purnomo mengatakan Indonesia seharusnya mengurangi ekspor energi fosil seperti gas dan batubara. Pasalnya, Indonesia masih rajin dalam melakukan ekspor kedua energi tersebut, sementara di dalam negeri masih belum terserap banyak.
Hadi menjelaskan cara yang tepat adalah mengurangi secara bertahap ekspor gas dan batubara yang selama ini mendominasi ekspor energi. “Perlu perubahan paradigma, menetapkan batas waktu untuk memulai menghentikan ekspor fosil untuk kebutuhan dalam negeri,” ujar Hadi di Jakarta, Selasa (26/8).
Selain mengurangi ekspor fosil, lanjut dia, pemerintah diminta untuk menyiapkan cadangan penyangga dan cadangan energi strategis untuk menjamin ketahanan energi jangka panjang. “Indonesia sampai saat ini belum memiliki cadangan penyangga energi. Ini adalah stok yang harus tetap ada dan disiapkan untuk melakukan antisipasi,” katanya.
Dia melanjutkan, untuk distribusi energi Indonesia, juga berpengaruh pada ketahanan energi. Indonesia sebagai negara kepulauan, kata dia, juga menjadi kendala tersendiri. "Kan butuh moda transportasi, belum lagi kendala cuaca, ini juga harus diperbaiki," kata dia.
Menurut Hadi, ketersediaan energi bisa saja berasal dari luar negeri jika produksi dalam negeri masih dinilai kurang. Indonesia masih sangat bergantung pada impor minyak. Sementara itu, produksi minyak dalam negeri menurun dan tidak adanya pengembangan energi baru yang terbarukan.
Untuk mendukung ketersediaan ini, kata dia, harus ada kesiapan pendanaan dari lembaga keuangan untuk energi terbarukan dan kesiapan Sumber Daya Manusia. "Semoga pemerintah baru dapat me-review kontrak-kontrak baru dan kebijakan energi," katanya.
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara ikut menilai, problem struktural Indonesia saat ini terletak pada ekspor dan energi. Menurutnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada sektor komoditi. China mengurangi batu bara sebagai sumber daya energi, dan batu bara yang dimiliki Indonesia akan habis jika terus diekspor.
“China mengurangi batu bara sebagai sumber energinya, kemudian batu bara kita juga habis kalau ekspor terus. Soalnya kita bukan produsen batu bara yang bisa. Jadi lebih baik batu bara untuk dalam negeri saja,” ujarnya.
Menurutnya, dalam sektor riil, Indonesia harus memperjuangkan chief dari ekspor yang berbasis komoditas menjadi ekspor yang berbasis manufacturing. Selain itu, Indonesia juga harus mengembangkan energi lain yang terbarukan daripada terus berkutat pada sumber energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM). “Energi harus kembangkan energi lain dari BBM seperti geothermal, gas, dan air,” tukas dia.
Data ekspor impor Indonesia menunjukkan bahwa bahan bakar fosil masih menjadi komoditas ekspor utama guna memperoleh sumber devisa. Meski produksi minyak bumi Indonesia telah mengalami penurunan drastis, namun tetap saja tercatat terjadi kegiatan ekspor minyak mentah sebesar 10.933,1 ribu ton pada rentang Januari - Oktober 2013 atau senilai US$ 8.582,9 Juta.
Namun uniknya di sisi lain Indonesia malah melakukan impor minyak dan bahan bakar mineral pada rentang waktu yang sama dengan nilai total mencapai US$ 33.790,6 Juta. Produksi Gas Alam Indonesia tahun 2010 yang mencapai 2,8 juta BCF hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 1,3 juta BCF.
Sementara itu sisanya yang mencapai hampir dua kali lipat hanya dijadikan komoditas ekspor. Batubara juga mengalami perlakuan yang sama. Dari total produksi batubara yang mencapai 452,13 juta Ton, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya 75,78 Juta Ton, sedangkan sisanya yang mencapai angka 83% diekspor ke berbagai negara seperti ke China, Jepang, dan India.
Kejadian yang serupa juga terjadi pada CPO (crude palm oil). Produksi CPO Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebesar 26,5 juta ton, namun yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya 5,3 juta ton, sedangkan 21,2 juta ton lagi digunakan sebagai komoditas ekspor.
NERACA Tangerang – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggelar ekspose beragam produk impor yang diduga tidak sesuai ketentuan di gudang PT ATI,…
NERACA Jakarta – PT TASPEN (Persero) resmi mengumumkan pelaksanaan penyaluran Gaji Ketiga Belas Tahun 2025 kepada para penerima pensiun dan…
NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya meningkatkan serapan udang nasional melalui kampanye gerakan memasyarakatkan makan ikan…
NERACA Tangerang – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggelar ekspose beragam produk impor yang diduga tidak sesuai ketentuan di gudang PT ATI,…
NERACA Jakarta – PT TASPEN (Persero) resmi mengumumkan pelaksanaan penyaluran Gaji Ketiga Belas Tahun 2025 kepada para penerima pensiun dan…
NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya meningkatkan serapan udang nasional melalui kampanye gerakan memasyarakatkan makan ikan…