Jakarta – Pepatah lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang, sepertinya tidak akan berlaku bagi para pengusaha. Faktanya, lebih enak menjadi pengusaha di negeri orang, ketimbang di negeri sendiri. “Terlalu banyak beban yang kita pikul di sini yang menyebabkan high cost economy”, ungkap Sofjan Wanandi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
NERACA
Pernyataan Sofjan bukan sekadar isapan jempol belaka. Lihat saja, dari sisi ongkos birokrasi di republik ini mencapai 10%. Padahal, di luar negeri hanya 2-3%. “Ongkos birokrasi di kita itu kebanyakan tidak resmi. Macam-macamlah bentuknya. Rata-rata di bea cukai, pajak, dan jalan,” jelas Sofjan di Jakarta, kemarin.
Tak hanya ongkos birokrasi, pengusaha juga dibebankan ongkos logistik. Di Indonesia, lanjut Sofjan, ongkos logistik sebesar 14-15%. Sementara di luar negeri hanya 4-5%. “Ini karena jalan-jalan kita rusak, kereta api, dan pelabuhan juga kurang bagus. Infrastruktur kita jelek,” tandas dia.
Lebih-lebih bunga kredit bank di Indonesia bisa sampai tiga kali lipat di luar negeri. “Di Indonesia sampai 10-15%, padahal di luar negeri hanya 5-6%,” ujarnya.
Belum lagi soal upah buruh yang tinggi juga menjadi masalah tersendiri. “Itulah kenapa pengusaha enggan ke bisnis labour intensive. Mereka lebih memilih mesin dari pada buruh,” ungkap dia seraya menyebutkan, dari semuanya itu, Indonesia sudah kalah harga 15% dibanding produk dari luar.
Sementara Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan, Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, sampai saat ini masih banyak pungli (pungutan liar) yang dilakukan birokrasi kepada pengusaha. Pungli yang dilakukan birokrasi biasanya menyangkut masalah perizinan dan transportasi (jalanan) yang dilakukan oknum aparat.
Selain itu, lanjut Hariyadi, ada masalah lain yang menyebabkan biaya pengusaha menjadi tinggi yaitu kondisi infrastruktur Indonesia yang belum memadai pun menjadi faktor penentu naiknya biaya produksi yang harus ditanggung pengusaha.
Lebih jauh lagi Hariyadi memaparkan maraknya pungli birokrasi terjadi juga di daerah sehingga ongkos produksi membengkak. “Dampak otonomi daerah banyak melahirkan peraturan daerah yang berujung pada pungutan atau pajak terhadap pengusaha dan tentu saja itu sangat memberatkan pengusaha”, kata Hariyadi kepada Neraca, Rabu.
Dari masalah tersebut, kata Hariyadi, menyebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia hanya mengalokasikan rata-rata 10% dari anggarannya. Sehingga, mempengaruhi biaya produksi pengusaha. “Jadi, pangkal persoalan biaya ekonomi tinggi di Indonesia sebenarnya bukan hanya terletak pada pengusaha saja, tetapi juga karena negara, birokrasi, dan pemerintah, yang gagal menciptakan iklim usaha yang kondusif dan gagal membangun kesempatan kerja yang lebih luas. Negara membiarkan terjadi demoralisasi di bawah. Negara menjadi benalu dunia usaha dan rakyat secara bersamaan”, papar Hariyadi.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati tak menampik fenomena tersebut. Menurut dia, salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di high cost economy atau ekonomi biaya tinggi. Salah satu sumber utamanya adalah dari birokrasi. “High cost economy bisa berasal dari biaya-biaya siluman, tidak adanya penyederhanaan birokrasi dan perizinan, termasuk model perpajakan,” ujar Enny kepada Neraca, Rabu (5/12).
Enny menambahkan, high cost economy hanya akan mengurangi daya saing produk dalam negeri terhadap produk luar negeri. “Dari high cost economy menyebabkan harga naik 20-40% terhadap harga pokok produksi. Ini mengurangi daya saing,” katanya. Angka ini, menurut dia, bisa diartikan daya saing barang tersebut anjlok 40% akibat berbagai biaya siluman ini.
Selain itu, Enny menghimbau agar Pemerintah Daerah (Pemda) perlu mengubah pola pikir dalam memberikan pelayanan kepada investor atau pengusaha dan membenahi birokrasi untuk memperlancar arus investasi. "Secara umum yang diharapkan investor dari luar negeri atau lokal adalah kepastian usaha, salah satunya kemudahan dalam berinvestasi," katanya
Enny mengatakan, selama ini Pemda sering membuat Peraturan Daerah (Perda) yang justru menghambat iklim investasi di daerah. Contohnya, Perda yang hanya mengejar pemasukan semata tanpa memberikan pelayanan maksimal bagi investor. "Perda itu dibuat untuk memberikan pemasukan bagi daerah dalam jangka pendek, sedangkan seharusnya investasi dipermudah," ujar dia.
Menurut Enny, langkah pertama pengusaha dalam menjalankan investasinya adalah pengembangan lalu setelah itu baru hasilnya diberikan bagi daerah. Hal itu menurut dia, akan merugikan Pemda saat ini tetapi menguntungkan bagi pemerintahan selanjutnya.
Di mata Enny, pandangan Pemda harus jangka panjang dengan mempermudah perijinan. Hal itu akan melahirkan keuntungan yang besar bagi Pemda karena pertumbuhan investasi yang tinggi. "Tapi kemudahan itu jangan mengesampingkan kepentingan Indonesia dan daerah, karena tidak semuanya masuk. Namun ada dalam pedomannya, di setiap daerah tentu ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (renstra)," tegas Enny.
Concern Bersama
Menanggapi tingginya ongkos birokrasi tersebut, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Prof Firmanzah Ph.D mengakui bahwa kondisi itu kini menjadi concern bersama. “Kita terus melakukan upaya-upaya. Reformasi birokrasi akan terus dilakukan. Upaya-upaya untuk membuat birokrasi lebih efisien terus dilakukan”, ujarnya, kemarin.
Firmanzah juga mengatakan, capacity building di pemerintah daerah terus ditingkatkan. Bappenas memiliki pelatihan, workshop, dan training untuk meningkatkan kualitas manusia. Pengawasan dan kontrol terus dilakukan “Banyak hal sudah dilakukan pemerintah untuk membenahi itu,” ujar guru besar FEUI itu.
Menurut Firmanzah, Pemda juga sudah melakukan perbaikan-perbaikan. Sebut saja Sragen dan Surabaya. “Di sana telah melakukan otomatisasi pelayanan publik, misalnya untuk perizinan, pembuatan KTP, dan izin mendirikan usaha,” tuturnya. novi/iqbal/iwan/rin
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…