Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta
Dalam era media sosial dan digital saat ini, gaya hidup mengalami transformasi besar-besaran. Salah satu fenomena yang semakin mencolok adalah maraknya gaya hidup flexing, yaitu kebiasaan memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah di platform digital, mulai dari barang bermerek, liburan eksklusif, hingga kendaraan mewah. Fenomena ini kian erat kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat, khususnya generasi muda, yang didorong oleh pengaruh sosial media dan keinginan untuk diakui. Di balik kilau gemerlap dunia digital, tersembunyi realita yang mencemaskan: tren konsumtif yang mengarah pada jeratan utang.
Gaya hidup flexing bukanlah hal baru, namun media sosial telah memberikan ruang yang luas bagi perilaku ini untuk berkembang pesat. Istilah "flexing" berasal dari budaya hip-hop Amerika yang berarti memamerkan kekayaan atau prestasi. Di Indonesia, flexing sering terlihat dalam bentuk unggahan foto-foto liburan, barang mewah, atau gaya hidup hedonistik di Instagram, TikTok, dan YouTube.
Perilaku ini banyak diasosiasikan dengan status sosial, pengakuan, dan pencitraan diri. Dalam konteks digital, nilai sosial seringkali diukur melalui jumlah like, follower, dan engagement, bukan lagi melalui substansi atau prestasi nyata. Fenomena ini menciptakan tekanan sosial tersendiri, mendorong banyak orang untuk ikut serta agar tidak dianggap ketinggalan zaman atau "kurang berhasil".
Budaya Beli Tanpa Rasional
Konsumerisme digital merujuk pada kebiasaan konsumsi yang digerakkan oleh kemudahan teknologi, iklan digital yang agresif, dan pengaruh sosial media. E-commerce dan platform pembayaran digital telah membuat proses belanja menjadi sangat mudah, cepat, dan impulsif. Diskon besar, flash sale, dan promosi influencer menjadi pemicu kuat dalam memengaruhi perilaku beli masyarakat.
Menurut survei dari Katadata Insight Center, 64% pengguna internet Indonesia mengakui bahwa mereka pernah membeli barang secara impulsif karena melihat konten dari influencer atau promosi digital. Fakta ini menunjukkan bahwa konsumsi di era digital tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan didorong oleh keinginan untuk tampil sesuai standar sosial yang dibentuk oleh lingkungan virtual.
Fenomena flexing tidak selalu dibarengi dengan kondisi finansial yang sehat. Banyak anak muda yang rela berhutang demi menjaga citra di media sosial. Pinjaman online (pinjol), paylater, kartu kredit, dan cicilan tanpa DP menjadi solusi instan bagi mereka yang ingin hidup mewah meski tak sebanding dengan pendapatan.
Maraknya penggunaan layanan keuangan digital seperti paylater dan pinjol juga menjadi indikasi tingginya konsumsi yang tidak rasional. Berdasarkan data OJK (2024), pengguna aktif layanan paylater meningkat 30% dalam satu tahun terakhir, dengan mayoritas pengguna berasal dari kelompok usia 20-35 tahun. Sayangnya, tidak semua dari mereka memiliki pemahaman yang memadai tentang manajemen keuangan dan risiko utang.
Dalam banyak kasus, pengguna terjebak dalam lingkaran utang berbunga tinggi yang sulit dilunasi. Hal ini tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental, hubungan sosial, dan produktivitas.
Faktor Pendorong
-Tekanan Sosial dan FOMO (Fear of Missing Out): Banyak anak muda merasa tertekan untuk tampil sukses seperti rekan-rekan atau influencer yang mereka ikuti. Ketakutan akan ketinggalan tren membuat mereka terjebak dalam konsumsi berlebihan.
-Standar Kehidupan Digital yang Tidak Realistis: Media sosial menampilkan sisi terbaik kehidupan seseorang, menciptakan ilusi bahwa semua orang sukses dan bahagia. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian.
-Kurangnya Literasi Finansial: Banyak anak muda belum memiliki pengetahuan dasar tentang pengelolaan keuangan, seperti pentingnya tabungan, investasi, dan bahaya utang konsumtif.
-Kemudahan Akses Kredit dan Pinjaman Digital: Teknologi finansial membuat proses pengajuan pinjaman menjadi sangat cepat dan tanpa proses seleksi ketat, yang sering kali dimanfaatkan secara impulsif.
-Budaya Instant Gratification: Budaya instan yang menjanjikan kepuasan cepat membuat banyak orang tidak sabar untuk menunggu atau menabung, dan lebih memilih jalan pintas dengan berhutang.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Solusi dan Strategi
Gaya hidup flexing dan konsumerisme digital memang menjadi bagian dari zeitgeist generasi saat ini. Namun, ketika tren ini tidak dibarengi dengan kesadaran dan pengelolaan keuangan yang baik, ia bisa menjadi pintu masuk menuju jeratan utang dan tekanan mental. Dalam dunia yang semakin digital dan visual, penting bagi setiap individu untuk menyeimbangkan antara pencitraan dan kenyataan.
Langkah kolektif dari masyarakat, pemerintah, institusi keuangan, dan pelaku media sosial diperlukan untuk mengedukasi dan membentuk pola konsumsi yang sehat dan berkelanjutan. Dengan demikian, kita bisa membangun generasi muda yang tidak hanya tampil sukses, tetapi juga memiliki fondasi ekonomi yang kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.
Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…
Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…
Oleh : Gavin Asadit, Pengamat Perkoperasian Pemerintah Indonesia terus mengakselerasi program strategis nasional berupa pembentukan Koperasi Merah Putih…
Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…
Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…
Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta Dalam era media sosial dan digital saat…