Standar Garis Kemiskinan

 

Apakah kita benar-benar makin miskin? Pertanyaan itu menggema ketika Bank Dunia mengumumkan bahwa standar garis kemiskinan ekstrem internasional dinaikkan dari US$2,15 menjadi US$3,0 per kapita per hari.

Dalam sekejap, lebih dari 15 juta rakyat Indonesia—yang sebelumnya mungkin tidak masuk dalam hitungan “miskin ekstrem”—kini digolongkan ke dalam kriteria tersebut.  Angka itu setara dengan 5,5 persen dari populasi penduduk Indonesia. Lantas apakah yang berubah adalah kenyataan di lapangan, ataukah sekadar cara kita mengukurnya? Ini bukan sekadar masalah statistik, tetapi  persoalan keadilan.

Ketika standar kemiskinan berubah, yang paling terdampak adalah mereka yang hidup paling dekat dengan batas—mereka yang sehari-harinya berjibaku dengan ketidakpastian. Maka, pertanyaan seharusnya bukan hanya  “Berapa jumlah orang miskin hari ini?”  melainkan  “Apakah kita cukup jujur dan adil dalam mengukur serta menangani kemiskinan?”

Naiknya garis kemiskinan ke US$ 3 per hari sebenarnya membawa kita lebih dekat pada pengukuran yang realistis atas kebutuhan dasar hidup manusia—makanan bergizi, air bersih, akses kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak.

Selama ini, banyak rumah tangga Indonesia hidup “sedikit di atas garis kemiskinan,” yang secara teknis tidak miskin, tetapi secara nyata sangat rentan terhadap guncangan: kenaikan harga, kehilangan pekerjaan, atau anggota keluarga yang sakit.

Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta, perubahan garis kemiskinan ini seperti menggeser kamera agar bisa melihat lebih jelas bayang-bayang ketidakadilan yang selama ini samar. Bukan berarti dunia makin buruk; tetapi kacamata kita kini lebih jernih. Dan itu adalah awal dari kebijakan yang lebih berpihak.

Dengan standar baru, lebih dari 15 juta orang kembali terdata sebagai miskin ekstrem. Ini menjadi alat evaluasi yang fair bahwa ternyata program pemerintah 10 tahun terakhir gagal, dan 2025 ini tantangan baru muncul yaitu realitas biaya hidup semakin meninggi.

Era Presiden Prabowo membawa momentum baru, dengan pembentukan Badan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (BP2K) yang diharapkan lebih efektif dan terkoordinasi.  Tetapi tantangan ke depan bukan hanya soal menyalurkan bantuan lebih banyak. Tantangannya adalah: bagaimana menjadikan kebijakan anti-kemiskinan sebagai jalan membangun keadilan sosial yang sesungguhnya.

Maka penting bagi Indonesia untuk menyesuaikan garis kemiskinan nasionalnya dengan garis global agar kita bisa tahu: apakah kita tertinggal, setara, atau unggul dalam mengatasi kemiskinan?

Garis kemiskinan nasional kita hari ini—sekitar Rp 595 ribu per kapita per bulan—jika dikonversi  ke standar Purchasing Power Parity (PPP), sudah hampir setara dengan US$ 3,31 per hari. Angka ini jauh dari standar global untuk Indonesia yang sudah masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas sejak 2023.

Bila diukur menggunakan PPP US$8,30, angka kemiskinan di Indonesia pada 2024 mencapai 68,25 persen atau setara 193,49 juta jiwa. Sedangkan jika menggunakan garis kemiskinan saat ini, angka kemiskinan mencapai 171,8 juta jiwa atau setara 60,3 persen. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mau mengikuti standar global.

Persoalannya bukan sekadar konversi angka, melainkan bagaimana pemerintah merespon perubahan ini dalam desain kebijakan. Sebab kita tidak bisa hanya menyesuaikan angka tanpa menyesuaikan nurani.

Apa gunanya garis baru jika program sosial tetap menggunakan data lama?  Apa artinya garis kemiskinan baru jika rumah tangga miskin tidak mendapatkan akses kesehatan atau pendidikan yang lebih baik?

Jadi, perubahan garis kemiskinan mengingatkan kita pada satu hal mendasar: kemiskinan bukan hanya soal kekurangan uang, melainkan soal kehilangan pilihan. Orang miskin sering tidak punya pilihan makanan sehat, tempat tinggal layak, atau sekolah berkualitas.

Mereka juga lebih rentan terhadap kekerasan struktural, diskriminasi layanan, dan stigma sosial. Kita tidak bisa menyelesaikan kemiskinan dengan membagikan bantuan tanpa memperbaiki struktur yang membuat orang miskin tetap miskin.

Itu sebabnya, penting untuk memperkuat pendidikan, akses ke modal usaha kecil, penyediaan layanan kesehatan berbasis komunitas, serta reformasi agraria dan perlindungan terhadap buruh informal. Semoga.

BERITA TERKAIT

Stop Tambang Nikel!

     Langkah cepat dan tegas Presiden Prabowo Subianto mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, Papua…

Jaga Daya Beli Rakyat

     Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan berbagai tekanan domestik, pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga daya beli…

Edukasi Pekerja Migran

    Perhatian pemerintah terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) semakin nyata dengan hadirnya berbagai program sosialisasi dan edukasi yang berorientasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Standar Garis Kemiskinan

  Apakah kita benar-benar makin miskin? Pertanyaan itu menggema ketika Bank Dunia mengumumkan bahwa standar garis kemiskinan ekstrem internasional dinaikkan…

Stop Tambang Nikel!

     Langkah cepat dan tegas Presiden Prabowo Subianto mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, Papua…

Jaga Daya Beli Rakyat

     Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan berbagai tekanan domestik, pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga daya beli…