Jakarta-Menjelang pengumuman resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (5/5), sejumlah ekonom memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 akan mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
NERACA
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 4,91 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dari 5,11 persen yoy pada kuartal I-2024. "Proyeksi tersebut mencerminkan perlambatan yang terjadi di sisi domestik dan eksternal," ujarnya, Minggu (4/5).
Josua mengatakan, konsumsi rumah tangga diperkirakan hanya tumbuh 4,50 persen yoy, melambat dari 4,91 persen tahun lalu. Meski indeks keyakinan konsumen pada Maret masih tinggi di angka 121,1, penurunan pada indeks pendapatan dan pembelian barang tahan lama mengindikasikan daya beli yang belum pulih sepenuhnya, terutama di segmen menengah bawah.
Belanja pemerintah diperkirakan terkontraksi -2,88 persen yoy, berbalik dari pertumbuhan tinggi di kuartal pertama 2024. Hal ini sejalan dengan realisasi belanja negara yang baru mencapai 17,1 persen dari pagu anggaran hingga Maret 2025. "Penurunan belanja pemerintah disebabkan oleh perbedaan pola tahun ini dan tahun lalu, di mana realisasi belanja tahun lalu sangat tinggi karena ada pembayaran THR lebih awal,” ungkapnya seperti dikutip Kumparan.com.
PMTB diperkirakan tumbuh 3,11 persen yoy. Realisasi investasi sebesar Rp 465,2 triliun masih mencerminkan geliat investasi, namun kuartalan diperkirakan minus hingga -6,50 persen. “Dari sisi ekspor neto, kontribusinya masih positif tetapi mengecil,” ujarnya.
Ekonom lainnya dari LPEM FEB-UI Teuku Riefky, juga memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 4,94 persen yoy. Menurut dia, konsumsi rumah tangga tumbuh moderat, lebih rendah dari pertumbuhan PDB. "Investasi domestik kini mencatatkan pertumbuhan tertinggi sejak 2022 dan menjadi pendorong utama PDB, mengungguli PMA," ujarnya.
Riefky menambahkan, inflasi yang rendah di awal 2025 serta defisit transaksi berjalan yang semakin kecil menjadi ruang positif bagi stabilitas. Namun, konsumsi belum sepenuhnya pulih. "Jika ingin mencapai target pertumbuhan tahunan 5,2 persen, perlu akselerasi pada kuartal berikutnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 sebesar 4,91 persen yoy. "Salah satu penyebabnya adalah melambatnya konsumsi rumah tangga yang kami perkirakan tumbuh di bawah 4,9 persen," jelasnya.
Andry juga menyoroti rendahnya belanja pemerintah yang diperkirakan hanya tumbuh 3,3 persen yoy. Realisasi anggaran yang rendah membuat kontribusi fiskal terhadap PDB menjadi terbatas.
Menurut dIa, ekspor tumbuh melambat 5,9 persen yoy dan impor hanya naik 2,7 persen, mencerminkan lemahnya permintaan domestik. Adapun, BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2024 mencapai 5,11 persen yoy. Ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 2019 dan tertinggi pada kuartal I sejak 2015.
Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,97% year on year (yoy), lebih rendah bila dibandingkan kuartal I-2024 yang mencapai 5,11%.
Sementara itu, secara kuartalan diperkirakan mengalami kontraksi 0,89% quarter to quarter (qtq), merosot bila dibandingkan kuartal IV 2025 yang tumbuh 0,58% qtq. “Kontraksi ini mencerminkan faktor musiman setelah puncak ekonomi tahun lalu,” ujarnya seperti dikutip Kontan, Jumat (2/5).
Hosianna menyebut, tanpa adanya pemilu, pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih dipengaruhi faktor momentum Ramadan dan menjelang Lebaran. Menurutnya, momentum tersebut menjadi penopang konsumsi domestik, meskipun ada perlambatan ekonomi global dari China dan ketegangan internasional. Selanjutnya, sektor komoditas seperti emas dan tembaga turut memberikan dukungan positif.
Dia mengungkapka, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 diperkirakan tidak mencapai 5%, lantaran adanya pelemahan permintaan global, yang kemudian berdampak pada aktivitas perekonomian dalam negeri.
Lebih lanjut, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025 akan berada kisaran 4,8%, lebih rendah dari target dalam asumsi APBN 2025 yang ditargetkan 5,2%.
Sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 4,7 persen pada 2025 dan 2026. Laporan itu dikeluarkan IMF dalam laporan terbaru mereka bertajuk World Economic Outlook edisi April 2025 yang diunggah, pekan lalu.
Dalam laporan, angka gross domestic product (GDP) di angka 4,7 persen pada 2025, atau turun 0,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka GDP itu tetap pada 2026. Sementara itu, angka pengangguran di Indonesia diproyeksikan sebesar 5 persen pada tahun ini, naik dari 4,9 persen pada tahun sebelumnya.
Pada 2026, angka pengangguran di Indonesia naik menjadi 5,1 persen. Dalam laporan tersebut, IMF memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia mencapai 4,5 persen pada 2025. “Untuk negara-negara berpenghasilan rendah, kami juga melihat penurunan peringkat di mana kami melaporkan (penurunan ekonomi) sebesar 0,4 persen. Kami memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,2 persen pada 2025,” kata Kepala Ekonomi dan Direktur Divisi Riset IMF Pierre Olivier Gourinchas dalam jumpa pers seperti dikutip imf.org.
Garis Kemiskinan
Di sisi lain, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan garis kemiskinan yang dihitung lembaganya mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai respon atas perbedaan angka kemiskinan antara BPS dengan Bank Dunia.
“Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat,” ujarnya dalam keterangan resmi Jumat (2/5).
BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan atau cost of basic needs yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Namun, kata Amalia, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per individu. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp 2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan juga berbeda untuk setiap provinsi, sebab ada perbedaan dalam tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di masing-masing daerah.
Amalia menjelaskan, garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. “Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang,” ujarnya. bari/mohar/fba
Pelemahan Fundamental Ekonomi Domestik Tidak Pengaruhi Nilai Rupiah Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali…
NERACA Jakarta - Tahap pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sudah memasuki tahap akhir. Dalam Rapat Finalisasi dipaparkan bahwa skema pendanaan…
NERACA Jakarta – Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan prinsip…
Jakarta-Menjelang pengumuman resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (5/5), sejumlah ekonom memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada…
Pelemahan Fundamental Ekonomi Domestik Tidak Pengaruhi Nilai Rupiah Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali…
NERACA Jakarta - Tahap pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sudah memasuki tahap akhir. Dalam Rapat Finalisasi dipaparkan bahwa skema pendanaan…