Fufu Fafa

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Kasus akun Fufu Fafa benar-benar mengguncang dunia maya. Bahkan, semakin terang dan terkuaknya kasus Fufu Fafa bukan hanya menjadi trending topic di dunia maya, tapi juga berdampak sistemik ke dunia sosial politik kita. Ironisnya, masih saja ada sejumlah pihak yang masih belum percaya, termasuk Menkominfo yang menyangkal, meski juga belum berani menjelaskan ke publik siapa sebenarnya pemilik akun Fufu Fafa.

Fakta ini menjadi catatan menarik di akhir pemerintahannya Jokowi dan juga menjelang hadirnya Sang Putra di kekuasaan barunya yaitu Gibran yang berduet dengan Prabowo. Realita ini juga memberikan sentimen terhadap akhir pemerintahan Jokowi. Padahal, semua sangat berharap agar di akhir kekuasaan tertanam image yang bagus sehingga meninggalkannya sebagai sejarah manis dalam ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa akhir pemerintahan Jokowi terjadi pada 20 Oktober ini dan akan diteruskan dengan regenerasi kepemimpinan oleh Prabowo. Ironisnya regenerasi di republik ini justru diwarnai dengan sejumlah praktik ketatanegaraan yang kurang baik. Hal ini bisa terlihat dari kasus putusan MK atas harapan Jokowi agar Gibran bisa masuk dalam pilpres. Kongkalikong itu memang sukses memuluskan langkah Gibran. Meski di satu sisi, situasi ini memicu kemarahan publik tetapi di sisi lain Jokowi tetap saja ingin memaksakan Kaesang untuk bertarung juga di pilkada. Setidaknya, melalui MA putusan juga memuluskan dan berlanjut ke rencana melalui putusan Wakil Rakyat.

Meskipun demikian sepertinya publik tidak mau lagi dibodohi dengan cara-cara licik dengan taktik rekayasa perundangan, regulasi dan siapa saja yang mungkin masih bisa dikendalikan.

Kilas balik di akhir pemerintahan Jokowi memang tidak mulus dan publik sudah sangat sadar dengan apa yang terjadi. Oleh karena itu, muasal dari kasus ‘nebeng’ jet pribadi di perjalanan ke AS menjadi titik penting untuk membongkar semua yang terjadi. Bahkan, akun Fufu Fafa juga dibongkar habis-habisnya oleh sejumlah pihak termasuk Roy Suryo dan netizen. Carut marut apa yang terjadi dengan akun Fufu Fafa semakin menyadarkan publik tentang keperilakuan Gibran.

Bahkan, Roy Suryo meyakini akun Fufu Fafa tidak lain dimiliki oleh Gibran. Dampak sistemik dari akun Fufu Fafa yang viral menjadikan Gibran seolah hilang ditelan bumi dan kegeraman netizen juga semakin menyudutkan si pemilik akun Fufu Fafa karena transfer sejumlah uang yang dilakukan menyebut nama si Gibran (meski akhirnya berganti nama menjadi Selamet).

Dampak sistemik dari terbongkarnya akun Fufu Fafa memicu sentiment terhadap agenda pelantikan Gibran. Bahkan sejumlah tokoh dan politisi juga sepakat untuk membatalkan pelantikan Gibran. Selain itu wacana penggantian Gibran dengan Puan semakin menguat terutama berkaitan dengan rencana pembacaan putusan PTUN atas gugatan PDIP besok pada 10 Oktober. Fakta lain penolakan terhadap pelantikan Gibran juga menguat melalui impeachment pasca 20 Oktober. Argumen yang mendasarinya adalah tuduhan perbuatan tercela yang melanggar norma.

Yang juga menarik terkait kasus akun Fufu Fafa adalah ketidakhadiran Gibran pada saat pelantikan wakil rakyat periode 2024 – 2029. Padahal, Prabowo dan Jokowi hadir di saat tersebut. Ironisnya, sentimen terhadap Jokowi semakin menguat, terutama tidak adanya tepuk tangan ketika nama Presiden disebut dalam sambutan dan sebaliknya penyebutan Prabowo justru mendapatkan tepuk tangan meriah. Terkait hal ini, tidak hadirnya Gibran di pelantikan wakil rakyat tersebut diduga kuat karena ketakutan jika kemudian diteriaki Fufu Fafa seperti saat Komeng disebut yang kemudian diteriaki ‘uhuy’.

Artinya, dampak sistemik dari kasus akun Fufu Fafa tidak hanya viral di dunia maya, tapi juga politik dan akhirnya publik hanya wait and see apakah Gibran benar-benar batal dilantik dan diganti oleh Puan atau siapapun penggantinya? Jika ini terjadi maka inilah sejarah kelam dibalik pilpres yang memang sedari awal sudah tidak demokratis karena rekayasa putusan MK yang merusak ketatanegaraan, perundangan dan demokrasi demi sekedar dinasti.

BERITA TERKAIT

Tunjangan Guru: Bentuk Kepedulian Pemerintah dalam Dunia Pendidikan

  Oleh: Ivan Aditya, Pemerhati Pendidikan.    Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa yang berkualitas. Dalam ekosistem…

Gerak Cepat Pemerintah Merespon Kebijakan Tarif Impor Trump

Oleh: Farhan Farisan, Mahasiswa PTS di Bandung     Pemerintah menunjukkan respons cepat dan strategis dalam menghadapi dampak kebijakan tarif impor…

Konferensi PUIC: Pertegas Peran Indonesia di Mata Dunia Internasional

  Oleh : Jodi Mahendra,  Pengamat Hubungan Internasional   Indonesia kembali menunjukkan kiprahnya di panggung diplomasi global dengan menjadi tuan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Mewujudkan Generasi Sehat Melalui Program MBG

  Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Kesehatan Masyarakat Di awal masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen yang kuat untuk…

Tutup Celah Judi Daring, Saatnya Lakukan Kolaborasi Nasional

  Oleh : Kenzo Malik, Pengamat Sosial Budaya   Judi daring atau judi online tidak lagi sekadar menjadi persoalan moral,…

DEMI KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN BURUH: - Mendesak Revisi Menyeluruh atas Sistem Outsourcing

DEMI KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN BURUH:  Mendesak Revisi Menyeluruh atas Sistem Outsourcing  Oleh: Achmad Nur Hidayat,  Ekonom  UPN Veteran Jakarta Sistem…