Ekstensifikasi BKC Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)

 

Oleh: Awaluddin Haq, Staf Kanwil DJBC Sulawesi Selatan

Barang Kena Cukai (BKC) merupakan salah satu objek pungutan pajak yang tanggung jawab pemungutannya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.  Adapaun cukai sendiri merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik berupa barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Ditjen Bea Cukai yang memiliki tugas pokok diantaranya sebagai community protector (pelindung masyarakat dari barang berbahaya) dan revenue collector (pemungut penerimaan), diminta untuk menjadi garda terdepan dalam pemberlakukan pemungutan cukai.

Sampai saat ini, hanya terdapat 3 jenis BKC yang telah dipungut cukai yaitu Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan Hasil Tembakau (Rokok), termasuk Rokok Elektrik dan Vape. Dari seluruh negara di ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan jenis barang kena cukai yang sangat terbatas dan paling sedikit dibandingkan negara lain. Padahal terdapat banyak isu kesehatan dunia dan isu lingkungan hidup yang perlu diadopsi terkait cukai. Hal yang paling urgent adalah menyangkut isu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), plastik, emisi kendaraan dan lain sebagainya.

Dari segi kesehatan, ekstensifikasi BKC berupa MBDK perlu segera diterapkan. Hal ini mengingat tingginya risiko gangguan kesehatan pada masyarakat akibat konsumsi MBDK secara berlebihan. Konsumsi gula masyarakat Indonesia yang semakin meningkat dan berlebih berpotensi menghasilkan Penyakit Tidak Menular (PTM). PTM sendiri bertanggung jawab atas 72% kasus kematian global pada tahun 2016, atau hampir empat kali lipat dibandingkan kematian akibat penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah nutrisi. Penyakit diabetes dan hipertensi terutama menjadi perhatian akibat peningkatan kasus baru dan prevalensi yang tinggi menjadikannya salah satu masalah kesehatan utama, baik di tingkat global, regional maupun nasional.  

Konsumsi gula yang berlebih berpotensi mengakibatkan kegemukan (Obesitas) dan resistensi insulin yang memicu terjadinya peningkatan kadar gula darah (Hiperglikemi) dan menyebabkan Diabetes Mellitus. Diabetes yang tidak terkontrol akan berisiko mengganggu organ tubuh lainnya dan berpotensi menyebabkan pertambahan penyakit lain. Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa penyebab 53,5% penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami disabilitas (mendengar, melihat dan berjalan) adalah adanya penyakit yang diderita berupa PTM, terutama hipertensi (22,2%) dan diabetes (10,5%).

Jika dilihat dari keberadaan faktor risiko, terjadinya penyakit diabetes akan lebih tinggi terhadap kelompok yang memiliki faktor risiko obesitas sentral atau aktifitas fisik yang kurang dengan proporsi penderita diabetes dengan obesitas sentral berusia 18-59 tahun mencapai 3 kali lipat. Upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor risiko terjadinya obesitas dan diabetes perlu segera dihadirkan di tengah-tengah masyarakat.

Dari sudut pandang ekonomi, meningkatnya jumlah penderita PTM dapat memicu naiknya kebutuhan pelayanan kesehatan, pengobatan yang semakin mahal dan peningkatan belanja kesehatan yang berakibat terbatasnya anggaran kesehatan untuk diinvestasikan pada kegiatan lain yang lebih produktif. Pada tahun 2022, jumlah pembiayaan penyakit katastropik termasuk penyakit diabetes memakan biaya Rp24 triliun , meningkat 34% dari tahun 2021 sebesar Rp18 triliun. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 meningkat 74%, dari 5,2 juta pada 2018 menjadi 9,1 juta klaim di tahun 2022. Total biaya klaim pasien Diabetes Melitus periode 2018-2022 juga meningkat sebesar 26% dari Rp1,5 triliun menjadi hampir mencapai Rp2 triliun.

Dengan kondisi semakin meningkatnya prevalensi penyakit Diabetes Mellitus pada penduduk Indonesia, konsumsi masyarakat terhadap gula perlu ditekan. Semangat untuk menerapkan pola hidup sehat di masyarakat menjadi prioritas utama dalam mencegah timbulnya PTM. Terkait dengan konsumsi gula berlebih, salah satu upaya Pemerintah dalam membatasi konsumsi gula di masyarakat antara lain dengan mengimplementasikan kebijakan cukai pada MBDK.

Target Cukai MBDK

Pengenaan Cukai MBDK sendiri diharapkan dapat mendorong industri untuk mereformulasi produk yang lebih rendah gula dan mendorong pola konsumsi masyarakat yang lebih sehat. Pengenaan Cukai pada MBDK akan membuat harga produk menjadi lebih tinggi karena mempertimbangkan biaya eksternalitas negatif. Hal ini diharapkan dapat menggeser pola konsumsi masyarakat terhadap produk lain yang lebih sehat. Kondisi masyarakat yang sehat tentu saja secara signifikan dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas hidup masyarakat itu sendiri.

 Jika dilihat dari segi penerimaan negara, MBDK telah ditetapkan sebagai salah satu barang kena cukai dalam Target Penerimaan APBN Tahun 2024 dengan target penerimaan negara lebih dari Rp4 triliun.  Namun, peraturan mengenai petunjuk teknis pemungutannya belum ditetapkan. Padahal jika melihat rasio penerimaan cukai dibandingkan perpajakan secara keseluruhan hanya berkisar 12% dan terhadap PDB hanya di angka 1,12%.

Penerimaan cukai sekarang ini juga sangat tergantung terhadap cukai pada Industri Hasil Tembakau (IHT) yang mencapai angka 96%. Hal ini menambah daya tarik perlunya mempertimbangkan adanya esktensifikasi cukai di Indonesia saat ini. Penerimaan negara dari Cukai MBDK sendiri dapat diperhitungkan sebagai dasar perhitungan alokasi anggaran untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman berpemanis.

Di sisi lain, dengan kondisi masyarakat yang lebih aware akan konsumsi gula, tentunya akan berpotensi pada pengurangan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) dan biaya penanggulan kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui JKN terhadap penyakit tersebut ikut berkurang. Biaya penanggulangan masalah kesehatan yang dapat ditekan tentu menjadi angin segar, sebab besaran biaya tersebut dapat dialokasikan untuk ranah lain yang sifatnya lebih produktif dan konstruktif untuk negara, misalnya untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan.

 

BERITA TERKAIT

Undangan Presiden ke Rusia Bukti Posisi Strategis RI di Mata Dunia

    Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional   Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…

Program Listrik Desa Bentuk Keadilan Distribusi Energi

  Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi     Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…

TREN MASA KINI DAN JERATAN UTANG: - Maraknya Gaya Hidup Flexing dan Konsumerisme Digital

       Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta Dalam era media sosial dan digital saat…

BERITA LAINNYA DI Opini

Undangan Presiden ke Rusia Bukti Posisi Strategis RI di Mata Dunia

    Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional   Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…

Program Listrik Desa Bentuk Keadilan Distribusi Energi

  Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi     Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…

TREN MASA KINI DAN JERATAN UTANG: - Maraknya Gaya Hidup Flexing dan Konsumerisme Digital

       Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta Dalam era media sosial dan digital saat…