Jakarta-Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menyoroti Pasal 435 yang tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Jika pasal 435 diterapkan, pelaku industri hasil tembakau (IHT) legal berpotensi gulung tikar karena beban biaya produksi yang melonjak.
NERACA
"Sebab, mereka harus merancang ulang kemasan secara total yang membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama. Kalau IHT legal gulung tikar, kepada siapa jutaan petani tembakau akan menjual daun tembakaunya?" ujarnya dalam keterangan tertulis, awal pekan ini. .
Pasal 435 rencananya akan diberlakukan pada tanggal 31 Agustus 2024. Menurut Agus, Pasal 435 tidak menjadi bagian dari ketentuan yang mendapatkan transisi 2 tahun sebagaimana 8 Pasal lain, sehingga Kementerian Kesehatan bisa menentukan kapan saja ketentuan itu dikeluarkan.
“Ini jelas bentuk ketidakpastian hukum. Hal itu juga bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual karena desain kemasan termasuk hak kekayaan dan industri dipaksa untuk mengubahnya,” katanya.
Selain itu, Agus mengatakan secara umum PP 28/2024 khususnya Pasal 429-463, ruang lingkupnya tidak jauh berbeda dengan isi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurut Agus, di dalam PP 28/2024 tidak ada sama sekali pengaturan kesehatan, yang ada pengaturan industri. "Menjadi ancaman atas kedaulatan negara, juga ancaman terhadap tenaga kerja, petani dan boncosnya penerimaan negara salah satunya banjirnya rokok ilegal di Indonesia," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan Jawa Timur menilai, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) mengalami cacat proses. Pasalnga, PP yang menjadi Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah diteken oleh Presiden Jokowi baru-baru ini tidak melibatkan pemangku kepentingan terdampak di industri hasil tembakau (IHT) dalam perumusannya.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) APTI Pamekasan Samukrah mengatakan, pihaknya telah mendesak pemerintah untuk melibatkan setiap pemangku kepentingan terkait dalam proses pembahasan perancangan aturan.
Ekosistem Industri Tembakau
Sayangnya, hingga beleid itu ditandatangani oleh Jokowi, desakan itu tak diindahkan oleh pemerintah. Dalam prosesnya, petani tembakau yang sangat terimbas tidak dilibatkan. "Artinya kan pembahasan aturan ini menjadi tidak transparan. Siapa pihak yang dilibatkan? Saya enggak tahu. Yang jelas kami tidak dilibatkan dan tentunya aspirasi kami tidak diakomodir," ujarnya, pekan lalu.
Ketika mendalami isi aturan tersebut, dia mengklaim tidak ada satupun aturan yang memiliki keberpihakan terhadap industri maupun petaniyang berkecimpung di industri tembakau. Imbasnya, para pekerja yang menggantungkan hidupnya di industri tersebutakan mengalami kerugian atas banyaknya larangan yang muncul dalam PP Kesehatan tersebut.
"Aturan ini bisa membuat tembakau menjadi tidak laku. Kalau industri nanti tidak jalan, pasti akan berimbas pada petani tembakau juga. Nggak laku lah jadinya hasil panel daripetani tembakau. Sementara, saat ini belum ada komoditaslain yang nilai jualnya setara dengan tembakau," ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.
Bukan hanya memukul industri tembakau, Samukrah memandang dampak ekonomi terhadap penerimaan negara pun akan muncul. Karena apabila produksi industri turun, maka pendapatan negara akan berkurang.
Dengan angka produksi yang turun, maka pasokan bahan baku juga berkurang. Jika bahan baku berkurang, kemudian akan berimbas pada petani sebagai pemasok yang berdampak pada pendapatan petani.
Padahal, menurut dia, pemerintah seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat dan punya tujuan pengentasan kemiskinan. Hal ini bertentangan dengan muatan PP Nomor 28/2024 tersebut. "Jadi, pengurangan kemiskinan yang katanya akan dientaskansupaya kita jadi negara adidaya, ya jadi bisa tidak terjadi," tutur dia.
Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Dahlan Sahid menyebutkan, 97 persen produktivitas petani cengkeh diserap utuh oleh industri rokok kretek. Cengkeh merupakan dwi tunggal sebagai bahan baku utama rokok kretek. Oleh karena itu, petani cengkeh sangat bergantung pada keberlangsungan IHT.
"Cengkeh merupakan salah satu subs-sistem dari ekosistem pertembakauan tanah air. Bersama dengan 2,5 juta petani tembakau, petani cengkeh berada di hulu, disusul oleh sekitar 600 ribu pekerja pabrik, pedagang dan UMKM. IHT adalah lokomotif yang menyerap komoditas bahan baku, tenaga kerja dan pedagang," ujarnya.
Menurut dia, gangguan terhadap IHT akan berakibat turunnya produksi rokok dan berujung pada petani cengkeh karena akan mengurangi serapan industri yang tentunya akan berakibat pada turunnya harga cengkeh.
"Jangan mentang-mentang akan segera selesai masa jabatannya lantas Menteri Kesehatan mengesahkan aturan turunan tanpa mempertimbangkan keberadaan kami di sektor hulu. Kecenderungannya Pemerintah saat ini ugal-ugalan mengesahkan aturan yang justru akan memberatkan pemerintahan baru," Dahlan Said melanjutkan.
Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), K. Muhdi, menekankan bahwa fakta di lapangan menunjukkan saat ini optimisme jutaan petani bersiap memasuki masa panen tembakau tengah meningkat.
Menurut dia, yang menjadi urgensi kebutuhan petani saat ini adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas petani tembakau seperti pendampingan atau pelatihan pertanian, bantuan pupuk karena subsidi saat ini sudah dicabut, alat-alat yang mendukung mekanisasi pertanian hingga pengaturan proses tata niaga agar berpihak pada kesejahteraan petani.
Muhdi menuturkan, pemerintah harusnya dapat melindungi harapan dan mata pencaharian petani dengan regulasi yang adil dan berimbang, sehingga dapat menjadi payung pelindung bagi komoditas tembakau dan eksosistemnya.
Bukan sebaliknya, melahirkan peraturan seperti PP No 28 Tahun 2024 yang bisa mematikan ladang penghidupan petani, apalagi disebut-sebut ancaman peraturan turunan PP Kesehatan ini akan segera disahkan.
"Yang harusnya diputuskan bersama saja Kementerian Kesehatan tidak transparan, apalagi untuk Peraturan Menteri Kesehatan. Petani pastikan akan mengawal aturan tersebut dan tidak segan turun ke jalan jika Peraturan Menteri Kesehatan mengancam sektor tembakau," Muhdi menyebutkan.
Untuk diketahui, saat ini di Indonesia ada 14 sentra pertembakauan dengan lebih dari 100 jenis tembakau. Sekitar 70 persen dari 200 ribu ton tembakau yang diproduksi oleh petani tembakau di Indonesia diserap oleh industri hasil tembakau (IHT). Dan, 99,96 persen dari total luas lahan sentra tembakau nasional, merupakan perkebunan rakyat.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, memaparkan bahwa PP No 28 Tahun 2024 ini memukul ekosistem pertembakauan di tengah optimisme petani.
PP Kesehatan yang baru saja disahkan akan mematikan seluruh petani tembakau dan cengkeh karena pengetatan berbagai aturan di sisi hilir. Padahal para petani tembakau di Madura, Tulungagung, Temanggung, sedang optimistis karena hasil panennya bagus. bari/mohar/fba
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan efisiensi anggaran akan tetap dilakukan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)…
NERACA Jakarta - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) bersama dengan Komisi V DPR RI baru selesai menggelar rapat kerja…
Jakarta-Rumor mengenai pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai akhirnya mulai menemui titik terang. Setelah sebelumnya santer beredar kabar…
Jakarta-Rumor mengenai pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai akhirnya mulai menemui titik terang. Setelah sebelumnya santer beredar kabar…
NERACA Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal kebijakan efisiensi anggaran akan berlanjut pada tahun anggaran 2026.…
NERACA Jakarta – Program pemerintah mewujudkan tiga juta rumah dalam setahun masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Ya, persoalan anggaran…