PEMERINTAH INDONESIA DIMINTA KONSISTEN TEGAS: - Hadapi Diskriminasi Perdagangan di Pasar Global

Jakarta-Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal meminta pemerintah terus konsisten dalam menyuarakan kepentingan Indonesia di pasar internasional, mengingat RI sekarang menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil-CPO) dan nikel.

NERACA

Untuk diketahui, produk CPO ditolak karena minyak kelapa sawit dianggap tidak ramah lingkungan. Bahkan World Trade Organization (WTO) pun menilai industri hilirisasi nikel Indonesia belum optimal, sehingga belum waktunya untuk menutup ekspor barang mentah.

“CPO memang tekanannya besar. Kita harus konsisten memperjuangkan CPO, terutama pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang tidak ramah lingkungan. Sebagian bisa jadi benar, tapi ada juga motif tersembunyi dari negara yang menolak CPO. Begitu pula dengan nikel, yang justru penolakan datang dari negara yang tidak mengimpor nikel mentah kita, yaitu Uni Eropa,” ujar Faisal kepada Media Center Indonesia Maju, akhir pekan lalu.

Di mata Faisal, langkah pemerintah sudah tepat dan selanjutnya perlu lebih diperkuat terutama dalam hal trade diplomacy. “Saya rasa langkah pemerintah sudah bagus. Cuma memang ada yang perlu diperkuat, utamanya terkait trade diplomacy, untuk melawan segala tuduhan yang tidak benar. Kalau ada tuduhan yang benar, ya kita perbaiki. Supaya dalam berargumen di arbitrase kita bisa mempertahankan kepentingan kita dari negara yang merasa kebijakan Indonesia bertentangan dengan WTO,” tegas dia.  

Faisal meyakini, ada kepentingan memperjuangkan produk substitusi CPO dari negara-negara yang menentang kebijakan ekspor Indonesia. “Motif tersembunyi dari argumen sawit yang tidak ramah lingkungan misalnya menjaga produk substitusi, seperti Eropa mereka punya minyak bunga matahari, minyak kacang kedelai,” ujarnya.

Lebih dari itu, menurut dia, ada juga upaya negara-negara maju untuk mencegah Indonesia naik kelas, dengan menolak kebijakan ekspor manufaktur yang bisa memberikan nilai tambah lebih dibanding sekadar ekspor komoditas.

Faisal kemudian mencontohkan persaingan dagang antara Amerika Serikat dengan China beberapa tahun lalu. China mulai dilihat sebagai ancaman karena penetrasi industri teknologinya semakin masif. Amerika Serikat pun membebankan pajak kepada barang-barang China yang dianggap bisa mengganggu pasarnya.

“China ingin naik kelas dengan tidak lagi ekspor barang bernilai tambah rendah. Tapi, pada produk teknologi 5G, Amerika mencoba untuk menjaga dominasinya dengan menerapkan tarif. Jadi itu hal yang umum terjadi, ketika negara memanfaatkan platform internasional untuk mencegah negara lain naik kelas. Dan ironinya, itu justru dicontohkan oleh negara yang menyuarakan perdagangan bebas,” tutur dia.

Spesifik untuk larangan ekspor bijih nikel, Faisal melihat Indonesia sedikit mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi. Namun, kini hilirisasi telah menjadi salah satu faktor penting yang membuat neraca perdagangan Indonesia terus surplus.

“Memang di awal 2020 ekspor sempat menurun karena larangan ekspor bijih nikel. Tidak lama, logam dasar kita naik. Artinya, kerugiannya hanya jangka pendek, karena hasil dari hilirisasi sudah mulai terasa tanpa menunggu beberapa tahun lagi,” ungkap alumni ITB itu.

Ungkapan Faisal senada dengan pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang menyoroti soal politik dagang negara-negara maju di balik gugatan produk Indonesia di WTO.

"Tentang WTO, diskriminasi, dan deforestasi, ini politik dagang. Tidak ada negara di dunia ini yang ingin lapaknya diambil negara lain. Ujung-ujungnya kita lihat ini main narasi saja, tapi substansi sama. Kenapa dibawa ke WTO, karena industri mereka yang sudah dibangun tidak dapat lagi suplai bahan baku. Andaikan mereka dapat suplai, sudah dengan harga mahal," ujar Bahlil pada September 2023.

"Ketika produksi, jadi akan kalah kompetitif harga dengan produksi yang kita bangun di Indonesia. Kemudian dia pakai lembaga dunia yang mengkaji kembali terhadap izin larangan ekspor komoditas ini. Menurut saya nggak bisa kita tolerir," ujarnya.

Sementara itu, melalui diskusi pada Kamis (4/1), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa diplomasi ekonomi merupakan salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia. Ada dua fokus dalam diplomasi ekonomi, yaitu membuka pasar non-tradisional dan memerangi diskriminasi perdagangan terhadap produk-produk Indonesia.

Terkait fokus pertama, Retno mengungkap pesan Presiden Jokowi untuk membuka pasar di negara-negara baru, seperti Afrika dan Uni Eropa. Lebih dari itu, Indonesia juga ingin memperkuat relasi ekonomi dengan banyak negara berkembang.

Ihwal fokus kedua, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda dan Norwegia itu menyatakan, seluruh diplomat turut bekerja keras untuk mendukung kebijakan hilirisasi dalam negeri. "Diplomasi ekonomi juga kita gunakan untuk memerangi diskriminasi terhadap produk-produk Indonesia, misalnya kelapa sawit. Dan diplomasi ekonomi ini juga untuk hilirisasi industri," tegas Retno.

Program Hilirisasi

Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia terlihat surplus selama 43 bulan berturut-turut. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan pada November 2023 mencapai US$2,41 miliar. Sementara, surplus akumulatif periode Januari-November 2023 mencapai US$33,63 miliar.

Menurut Faisal, kebijakan hilirisasi mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Dia menyoroti perubahan struktur ekspor Indonesia, yang semula fokus pada ekspor komoditas beralih menjadi ekspor manufaktur.

 “Struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi, sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah,” ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.  

Faisal menambahkan bahwa ekspor pun mulai merasakan manfaat dari hilirisasi, dengan potensi yang masih bisa disempurnakan lagi. “Betul bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi. Walaupun memang tingkat pengolahannya masih tahap awal dan bisa disempurnakan lagi potensinya. Itu lebih baik daripada ekspor barang mentah. Kalau kita puas dan stop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah,” ujarnya.  

Walau neracanya surplus, menurut dia, nilainya jika dibandingkan dengan Oktober 2023 turun US$1,06 miliar. Bahasa lainnya adalah surplus atau kelebihan ekspor terhadap impor semakin mengecil nilainya.

Faisal mengatakan, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan.

Sebagai informasi, hilirisasi merupakan upaya negara untuk mendongkrak ekonominya dengan memberikan nilai tambah atas suatu komoditas. Faisal mencontohkan, Ketika Indonesia berkomitmen untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel, maka pemerintah praktis melarang ekspor nikel dalam bentuk barang mentah (raw material).

“Apakah kita ingin mendapat keuntungan sesaat tapi nilainya kecil atau keuntungan jangka panjang dengan nilai yang lebih besar. Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah,” ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

BKPM: Kasus Premanisme Terhadap Investor Terus Menurun

NERACA Jakarta - Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu menyebut kasus premanisme…

PROGRAM BANTUAN SUBSIDI UPAH (BSU): - Belum Sentuh Mayoritas Kelompok Sasaran

  Jakarta-Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digulirkan pemerintah dinilai belum menyentuh mayoritas kelompok sasaran. Dalam rencana penyalurannya, BSU hanya…

Menteri PKP Buka Opsi Rumah Subsidi Non Tapak

NERACA Jakarta - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait membuka opsi rumah subsidi bukan berbentuk rumah tapak, melainkan…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

BKPM: Kasus Premanisme Terhadap Investor Terus Menurun

NERACA Jakarta - Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu menyebut kasus premanisme…

PROGRAM BANTUAN SUBSIDI UPAH (BSU): - Belum Sentuh Mayoritas Kelompok Sasaran

  Jakarta-Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digulirkan pemerintah dinilai belum menyentuh mayoritas kelompok sasaran. Dalam rencana penyalurannya, BSU hanya…

Menteri PKP Buka Opsi Rumah Subsidi Non Tapak

NERACA Jakarta - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait membuka opsi rumah subsidi bukan berbentuk rumah tapak, melainkan…