RPP Kesehatan Diklaim Bakal Matikan Industri Tembakau - ANALISIS INDEF:

NERACA

Jakarta - Sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang memuat soal tembakau dinilai akan mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyatakan bahwa negara akan menanggung kerugian puluhan triliun rupiah jika pasal-pasal tembakau tersebut disahkan.  “Di sisi lain, manfaat yang hendak didapat dari aturan tersebut belum tentu dapat dicapai,” ujar Tauhid dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (27/12).

Lebih jauh, kata dia, pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan juga akan berdampak pada sektor lain yang selama ini banyak bergantung pada industri tembakau nasional. “Penerapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menggerus penerimaan negara,” ujarnya.

Sementara itu, jelas Tauhid, pemerintah sangat membutuhkan penerimaan negara, termasuk untuk membiayai program-program kesehatan yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara."Jika pasal-pasal ini diterapkan, maka penerimaan negara akan turun. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini," jelasnya.

Dalam kajian terbaru INDEF, hasil dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau yang terdapat di RPP Kesehatan dihitung dengan metode pemodelan keseimbangan umum (Computable General Equilibrium) yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder.

Pasal-pasal tersebut dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah kemasan, pemajangan produk dan pembatasan iklan.

Dari sisi penerimaan negara, INDEF juga berkesimpulan bahwa penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun.

Seperti diketahui, pemerintah sedang menargetkan pengesahan RPP sebagai aturan pelaksana UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Beleid itu kan memuat pasal-pasal tembakau, termasuk soal pengendalian produksi, penjualan, dan sponsorship produk tembakau.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Sahminuddin, menjelaskan bahwa PP Nomor 109 Tahun 2012 yang merupakan peninggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan pukulan bagi nasib para petani tembakau, dan Presiden Jokowi berpotensi mengulanginya lagi.

Dijelaskan Sahminuddin, PP Nomor 109 Tahun 2012 yang ditetapkan pada Desember oleh Presiden SBY menandai sebagai Desember Kelabu bagi para petani tembakau. "Jika RPP Kesehatan ini disahkan, maka Presiden Jokowi akan mengulang Desember Kelabu Kedua,” ungkapnya.

Presiden Turun Tangan

Sedangkan Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar,Firman Soebagyo mengatakan, penolakan terhadap RPP UU Kesehatan, khususnya yang terkait dengan ketentuan pengaturan tembakau dan IHT semakin masif.

Menurutnya, tidak hanya masyarakat dan petani tembakau, asosiasi IHT, pekerja kreatif iklan, asosiasi biro iklan,  asosiasi media elektronik, asosiasi pengusaha ritel, pengamat ekonomi, pengamat kebijakan publik, hingga beberapa kementerian juga terlibat polemik terbuka dalam pembahasan RPP Kesehatan. Secara garis besar, RPP Kesehatan yang disusun Kementerian Kesehatan  banyak menuai protes dari Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Ekonomi Kreatif  hingga Kementerian Keuangan.

Karena itu, , meminta Presiden Joko Widodo turun tangan. “Ya, saya kira Presiden Jokowi perlu turun tangan membenahi salah kaprah ini. “Cabut pasal tembakau dari RPP Kesehatan,” kata Firman.

Menurut Firman, sejatinya Kementerian Keuangan  mendapat berkah dari industri tembakau berupa penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) yang naik tiap tahun. Tahun lalu, setoran CHT ke brangkas Kemenkeu mencapai Rp218 triliun. Tahun cukai digenjot lagi menjadi Rp232,5 triliun. “Itu Bu Sri Mulyani tahun lalu dapat Rp200 triliunan, tapi apa sumbangsihnya kepada petani tembakau? Enggak ada tuh. Malah petani tembakau dan industrinya terus dipersulit dengan menaikkan tarif cukai,” ujarnya.

Firman menegaskan, apa yang dialami petani tembakau serta pekerja industri tembakau yang jumlahnya sekitar enam juta jiwa, sangat tidak manusiawi. Padahal, kontribusi mereka kepada keuangan negara, tidak bisa diremehkan. “Tembakau memiliki nilai ekonomi dan penerimaan negara dari cukai dan penyerapan tenaga kerja serta mensejahterakan petani tembakau. Kini malah mau dimusnahkan,” kata Firman.  Politisi senior itu menduga adanya dukungan asing yang menunggangi para pejabat negara yang anti tembakau.

Pandangan senada disampaikan anggota Komisi IX dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nur Nadlifah, pasal tembakau seharusnya dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Politisi perempuan asal Brebes ini, menyebutkan, isi RPP Kesehatan memuat banyak larangan bagi produk tembakau. Memberikan kesan bahwa produk tembakau seolah merupakan produk terlarang.  Padahal, produk tembakau jelas merupakan produk legal, yang keberadaannya justru mendorong perekonomian negara.

“Kementerian Kesehatan, sebagai leading sector penyusunan RPP Kesehatan harusnya lebih melibatkan petani, pekerja, dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat di industri tembakau, guna menentukan arah yang tepat tanpa harus ada pihak yang dirugikan,” tandasnya.

Beberapa waktu lalu, Asosiasi Petani Tembakau melayangkan surat resmi kepada Presiden Jokowi.  Sebagai informasi asosiasi ini terdiri dari sejumlah elemen ekosistem pertembakauan, yakni Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI).

Isi surat tersebut berupa penolakan sejumlah pasal yang memasukkan tembakau dalam RPP tentang Pelaksana UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan).

Selain ditujukan ke Presiden Jokowi, surat tersebut ditembuskan ke sejumlah kementerian terkait, yakni Kementerian Pertanian (Kementan), Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kemekop UKM).

Dalam surat tersebut, asosiasi petani tembakau menyebut pasal-pasal zat adiktif RPP Kesehatan tidak melindungi petani dan pekerja tembakau. Dalam banyak pasal, beleid yang saat ini masih dalam pembahasan itu, cenderung menyakiti hati petani dan pekerja tembakau.

Padahal, tembakau adalah bagian dari budaya, warisan dan tumpuan penghidupan dari 2,5 juta petani tembakau, serta sejuta petani cengkeh. Menurut mereka, RPP Kesehatan arahnya jelas sebagai  upaya pelarangan total untuk produk tembakau dan turunannya. agus

BERITA TERKAIT

SURVEI KONSUMEN MEI 2025 BI: - Masyarakat Pesimis Ketersediaan Lapangan Kerja

  Jakarta-Hasil survei konsumen Mei 2025 Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, keyakinan masyarakat soal ketersediaan lapangan kerja saat ini menuju zona…

Ketua MA: Korupsi Rusak Citra Lembaga Peradilan

NERACA Jakarta - Ketua Mahkamah Agung Sunarto meminta kepada 1.451 hakim yang hari ini dikukuhkan untuk memulihkan turunnya kepercayaan publik…

Efisiensi Anggaran Perlambat Pertumbuhan Ekonomi Daerah

  NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran dan pengalihan belanja pemerintah terhadap…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

SURVEI KONSUMEN MEI 2025 BI: - Masyarakat Pesimis Ketersediaan Lapangan Kerja

  Jakarta-Hasil survei konsumen Mei 2025 Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, keyakinan masyarakat soal ketersediaan lapangan kerja saat ini menuju zona…

Ketua MA: Korupsi Rusak Citra Lembaga Peradilan

NERACA Jakarta - Ketua Mahkamah Agung Sunarto meminta kepada 1.451 hakim yang hari ini dikukuhkan untuk memulihkan turunnya kepercayaan publik…

Efisiensi Anggaran Perlambat Pertumbuhan Ekonomi Daerah

  NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran dan pengalihan belanja pemerintah terhadap…