NERACA
Jakarta – Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amalia Adiningrat Widyasanti mengatakan bahwa implementasi ekonomi hijau bukanlah hambatan, melainkan peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
"Ketika kita menerapkan ekonomi hijau secara masif dan menyeluruh, ini pasti memberi peluang baru bagi aktivitas perekonomian Indonesia, berkontribusi pada akselerasi pertumbuhan ekonomi," ujar Amalia saat kegiatan Launching Policy Brief Greenpeace Indonesia dan CELIOS: Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik di Jakarta, Selasa (19/12).
Amalia menjelaskan, dalam perencanaan jangka panjang nasional 2025-2045, transisi ke ekonomi hijau diarahkan pada beberapa fokus utama. Pertama, transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan dengan target bauran energi terbarukan mencapai sekitar 60 persen pada 2045.
Kedua, penerapan transportasi ramah lingkungan, atau yang dikenal sebagai transportasi hijau. Ketiga, penerapan ekonomi sirkular di industri dan kehidupan sehari-hari. "Penerapan ekonomi hijau menjadi fokus utama dalam Indonesia Emas, mulai tahun 2025 hingga 2045, menjadi bagian integral dari upaya transformasi ekonomi Indonesia," kata Amalia.
Menyoroti tantangan, Amalia menekankan persiapan yang diperlukan, termasuk peningkatan Sumber Daya Manusia atau SDM, adopsi teknologi bersih, dan perluasan ekosistem pendukung melalui kebijakan dan regulasi yang mendukung ekonomi hijau di berbagai sektor kehidupan. "Penerapan ekonomi hijau memerlukan perubahan besar yang harus didukung oleh ekosistem yang baik dan kebersamaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan 20 tahun ke depan," ujar Amalia.
Berbagai arah kebijakan, seperti peningkatan efisiensi energi, transisi energi yang berkeadilan, pengembangan smart grid, dan penerapan ekonomi sirkular, menjadi landasan bagi perubahan besar ini. Amalia juga menekankan pentingnya insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong produk ramah lingkungan.
Ia menambahkan bahwa ekonomi hijau bukan hanya tentang transisi energi, melainkan juga tentang penguatan pilar-pilar lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam dua dekade mendatang. Dengan demikian, Ianjut Amalia, Indonesia memantapkan komitmennya untuk merangkul ekonomi hijau sebagai fondasi pertumbuhan masa depan.
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai transisi menuju ekonomi hijau memiliki kemampuan untuk menekan kasus korupsi di Indonesia. Hal itu disebabkan transisi ekonomi hijau dapat mengurangi ketergantungan pada sektor ekonomi ekstraktif yang rentan dengan praktik-praktik korupsi.
“Banyak sekali laporan pendanaan dari pertambangan ilegal, juga ada korupsi soal perizinan atau mendapat suap dari pengusaha. Kita perlu membenahi ini, sehingga ketika transisi, tata kelola dari sisi energi dan ekonomi menjadi lebih baik,” katanya. Di samping itu, Bhima menyebut transisi ekonomi hijau juga bisa menurunkan tingkat ketimpangan. Berdasarkan hasil modelling yang ia lakukan, indeks Wiiliamson makin melandai ketika transisi ke ekonomi hijau diterapkan.
Indeks Williamson menjelaskan ketimpangan pendapatan per kapita antarwilayah dengan rentang nilai 0 (tanpa ketimpangan) hingga 1 (ketimpangan mutlak). Dengan demikian, makin tinggi nilai indeks Williamson, maka makin tinggi ketimpangan pendapatan per kapita antardaerah. Dalam skemanya, transisi ekonomi hijau dapat menurunkan indeks Williamson dari 0,74 menjadi 0,65.
“Praktik ekonomi ekstraktif itu menciptakan ketimpangan, karena uang dari hasil tambang mengalir ke Jakarta. Sementara masyarakat lokal, meski makin banyak pabrik, kemiskinannya juga makin tinggi. Maka kami ingin mengubah pola ekonomi ekstraktif yang membuat timpang dengan pola ekonomi lainnya,” ujar dia.
NERACA Jakarta – Di tengah meningkatnya dinamika kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara—mulai dari ketegangan geopolitik, transformasi ekonomi, hingga…
NERACA Jakarta – Pemerintah menyerap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp115,9 triliun per 31 Maret 2025, setara 22,6…
NERACA Jakarta - Perekonomian Jakarta diperkirakan tetap tumbuh kuat, sedikit di bawah titik tengah kisaran 4,6-5,4 persen sepanjang tahun…
NERACA Jakarta – Di tengah meningkatnya dinamika kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara—mulai dari ketegangan geopolitik, transformasi ekonomi, hingga…
NERACA Jakarta – Pemerintah menyerap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp115,9 triliun per 31 Maret 2025, setara 22,6…
NERACA Jakarta - Perekonomian Jakarta diperkirakan tetap tumbuh kuat, sedikit di bawah titik tengah kisaran 4,6-5,4 persen sepanjang tahun…