Antara Wedangan, Cita Rasa Tradisional dan Pajak

 

Oleh: Sigit Ihwan Prasetyo, Penyuluh Pajak di KPP PMA Empat *)

Wedangan atau Hik adalah tempat makan tradisional yang sangat digemari masyarakat kalangan menengah ke bawah terutama di wilayah Solo Raya Provinsi Jawa Tengah maupun di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Biasanya Wedangan mengambil tempat di trotoar jalan besar, sudut kampung, atau pojok perempatan jalan desa dengan pelanggan tukang becak, tukang ojek online maupun pekerja pabrik. Pada era modern, beberapa investor bermodal kuat menyulap wedangan menjadi tempat wisata kuliner yang nyaman berlatar belakang sawah, pinggir sungai atau lereng gunung nan indah atau ikut serta dalam program meningkatkan kepariwisataan daerah.

Bahkan tidak sedikit  Wedangan mengambil tempat di lingkungan kampus atau perguruan tinggi dan langsung berhadapan dengan wisata kuliner modern seperti kafe.Hal ini menegaskan bahwa Wedangan dapat dinikmati oleh semua dan menguatkan identitas bahwa Wedangan merupakan makanan cita rasa tradisional khas Indonesia.

Konsep Wedangan secara umum mempunyai ciri khas menyediakan makanan atau minuman tradisional sendiri seperti aneka gorengan  berupa Rondo Royal/Tape Goreng, nasi mungil alias nasi kucing, sate kere/sate miskin , minuman seperti teh dengan cita rasa khusus perpaduan pahit dan harum  atau Ginastel alias Legi Panas Kentel (Manis Panas Kental).

Selain minuman tradisional laiinnya seperti jahe susu ,  kopi tubruk , jahe kencur jeruk  dan beras kencur. Hal tersebut membuat Wedangan jadi tempat kumpul alias kongkow yang menarik untuk semua lapisan masyarakat sambal melepas lelah di siang atau malam hari.

Terlepas dari sensasi Wedangan yang begitu melegenda, tidak ada salahnya kita melihat adanya suatu hal positif dari Wedangan. Sebuah konsep ekonomi yang melbatkan sistem klasik dan unik  jika kita hubungkan dengan perpajakan di tanah air.

Berbicara bisnis Wedangan atau bisnis pada umumnya tentunya berbicara tentang “ berapa uang yang beredar”. Dalam bisnis Wedangan tradisional, kita akan membicarakan tentang  pemakaian modal sendiri, berapa omzet tiap hari atau omzet bulanan jika melihat tolok ukur pajak selama ini.

Dalam lingkup bisnis yang lebih komplek akan melibatkan barang titipan  atau konsinyasi dari para mitra usaha  Wedangan  seperti,  aneka gorengan, kue aneka lauk pauk maupun nasi kucing sendiri. Biasanya pemilik wedangan hanya menyediakan aneka minuman tradisional seperti teh, jahe, kopi maupun susu sedangkan terkadang makanan yang tersaji menggunakan barang titipan atau konsinyasi.

Melangkah ke konsep Wedangan modern yang melibatkan modal besar, kita akan melihat penggunaan sumber daya yang lebih besar seperti sewa tanah bangunan, karyawan-karyawan yang digaji bulanan maupun sistem bonus atau sistem bagi hasil antara dua pemodal atau lebih.

Lantas, bagaimana  kewajiban perpajakan atas pendapatan dan kegiatan operasional yang dijalankan sebuah tempat makan minum bernama Wedangan ini  dan para mitra usahanya?.  Mari kita lihat satu per satu.

Kewajiban Pengusaha

Kewajiban PPh Pengusaha Wedangan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, dimana penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Secara normal Penghasilan kena Pajak (PKP) merupakan laba bersih para pengusaha  Wedangan, pemilik modal maupun pemilik barang titipan untuk dikenai tarif progresif PPh Pasal 17 Undang Undang PPh.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018), mengisyaratkan seluruh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan omzet 4,8 Milyar kebawah dalam setahun termasuk dalam hal ini pengusaha Wedangan  menyetor PPh Final Pasal 4 (2) sebesar 0,5 % dari omzet per bulan.

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Bab III Tentang Pajak Penghasilan Pasal 7 ayat (2a) memberikan pengecualian bagi Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta setahun untuk tidak dikenai PPh Final sebagaimana dimaksud dalam PP 23/2018.

Tiga lapisan omzet dengan tarif perpajakan yang berbeda ini  merupakan kepedulian pemerintah dalam dukungannya terhadap perekonomian nasional melalui UKM Wedangan dan rekan usaha yang terkait untuk tetap berkelanjutan, tumbuh dan akhirnya ikut berkontribusi terhadap pajak.

Untuk Pengusaha Wedangan yang sudah berkembang dan mempunyai karyawan tetap, maka pengenaan PPh pasal 21 atas gaji dan bonus terhadap karyawan dapat diberlakukan dengan tentunya harus memperhatikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pemotongan PPh Pasal 21 oleh Pengusaha Wedangan  terhadap karyawannya yang penghasilannya telah melebihi PTKP dilakukan setiap bulannya dan menyetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Dalam hal pengusaha Wedangan melakukan penyewaan tanah dan/atau bangunan , tentunya ada PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% dari nilai sewa. Pengusaha “Wedangan” akan memotong PPh final Pasal 4 ayat (2) tersebut dari nilai sewa yang dibayarkan kepada pemilik tanah/bangunan, menyetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkan dalam SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Kewajiban atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengusaha Wedangan ternyata berhadapan langsung dengan Pajak Hotel dan Restoran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Bab IV Tentang Pajak Pertambahan Nilai  Pasal 4A  ayat (2) huruf c memberikan beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN antara lain makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini tentunya memberikan rasa keadilan bagi Pengusaha Wedangan agar tidak dikenai pajak atas obyek yang sama.

Melihat paparan di atas, tidak berlebihan kiranya penulis berpendapat bahwa antara Wedangan sebagai sistem ekonomi bercitarasa tradisional tidak bisa dilepaskan dari pajak. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengawal Wedangan tetap eksis sebagai salah satu sistem ekonomi khas Indonesia yang berkontribusi terhadap pajak dan pembangunan secara proporsional sesuai tingkat kompleksitas usaha. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Judi Daring: Ancaman Senyap yang Merusak Moral dan Masa Depan Bangsa

    Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan   Fenomena judi daring kini telah menjelma menjadi ancaman sosial yang serius,…

Danantara dan INA Perkuat Ekosistem Baterai Listrik untuk Transisi Energi

  Oleh : Doni Wicaksono,  Pengamat Kebijakan Publik   Indonesia kini memasuki babak baru dalam upaya transformatif menuju masa depan…

Pokok-Pokok Perubahan Aturan Terkait Faktur Pajak

    Oleh: Yolanda A. Togatorop, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jakarta Timur *)   Peluncuran Coretax DJP pada 1 Januari…

BERITA LAINNYA DI Opini

Judi Daring: Ancaman Senyap yang Merusak Moral dan Masa Depan Bangsa

    Oleh: Arman Panggabean, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan   Fenomena judi daring kini telah menjelma menjadi ancaman sosial yang serius,…

Danantara dan INA Perkuat Ekosistem Baterai Listrik untuk Transisi Energi

  Oleh : Doni Wicaksono,  Pengamat Kebijakan Publik   Indonesia kini memasuki babak baru dalam upaya transformatif menuju masa depan…

Pokok-Pokok Perubahan Aturan Terkait Faktur Pajak

    Oleh: Yolanda A. Togatorop, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jakarta Timur *)   Peluncuran Coretax DJP pada 1 Januari…