Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel (nickle ore) yang telah di ekspor secara ke China. Praktik penyelundupan tersebut bukan berdasarkan data bea cukai ataupun data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, melainkan berdasarkan data customs dari Pemerintah China.
NERACAA
Berdasarkan data KPK, penyelundupan bijih nikel terjadi di Pelabuhan China dan kerap dilakukan dengan memakai dokumen pelaporan kode barang yang diekspor yakni HS Code 2604 atau HS0 2604. HS Code 2604 adalah kode untuk nikel olahan atau nikel pig iron atau sejenisnya. Langkah tersebut digunakan untuk memanipulasi petugas agar diloloskan oleh Bea Cukai. Beacukai menilai HS Code 2604 bukan bijih nikel namun nikel olahan, sehingga bisa diizinkan keluar dari kawasan kepabeaan pelabuhan di Maluku dan Sulawesi.
Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan CEO Narasi Insitute menegaskan kejadian ini merupakan kebobolan besar yang diduga melibatkan oknum surveyors, beacukai dan oknum petugas pengawasan. Untuk itu, para pengambil kebijakan (policy makers) perlu melakukan evaluasi terkait implementasi kebijakan hilirisasi terutama tata kelola hilirisasi dan sistem pengawasan sektor pertambangan. “Ini bukti buruknya tata kelola hilirisasi dan lemahnya sistem pengawasan kita terhadap sektor pertambangan,” tegas Achmad seperti dalam keterangannya kepada NERACA, di Jakarta, Rabu (5/7).
Akibat buruknya tata kelola hilirisasi ini pula menurut Achamd telah merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola industri tambang menjadi syarat mutlak yang harus segera dilakukan seiring gencarnya upaya pemerintah mengembangkan hilirisasi industri tambang belakangan ini. “Adanya kejadian ini Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak dirugikan oleh praktik aliran dana tak wajar yang umum terjadi di sektor ekspor ilegal barang tambang,” tambahnya.
Labih jauh Achmad melanjutkan, tata kelola Hiliriasasi yang buruk selain dari kecoboran ekspor ilegal nikel oleh produsen nikel, juga terjadi dari proses pengawasan oleh pihak surveyors. Persoalan pengukuran kadar menjadi permainan kebijakan hilirisasi. “Tata kelola buruk memberikan insentif bagi surveyors, produsen dan eksportir ilegal bermain ekspor ilegal. Perbedaan pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir adalah permainan para Surveyor. Pengusaha smelter kerap menetapkan kadar yang lebih rendah dibandingkan di hulu,” lanjutnya.
Padahal kebijakan hilirisasi nikel gencar dikampanyekan pemerintah. Hanya saja hingga saat ini, lebih banyak menguntungkan eksportir ilegal dan pemain industri smelter di negara lain, khususnya China. Dan kebijakan hilirisasi juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dari China, tidak hanya untuk tenaga ahli, tetapi juga untuk pekerja kasar, seperti petugas keamanan, pengemudi, koki, pekerja bongkar-muat, dan manajer gudang. “ Ini menunjukan bahwa tata Kelola Hilirisasi sudah sangat Buruk dan tidak boleh terus dibiarkan. Untuk itu tidak boleh dibiarkan, karena tidak ada manfaat buat Indonesia malah menguntungkan China,” tegasnya.
Bicara kebocoran ekspor ilegel Achmad juga mengungkapkan, pada periode 2008-2017, nilai rata-rata aliran dana mencurigakan di sektor pertambangan mencapai 43 miliar dollar AS, atau Indonesia berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 610,09 triliun dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Salah satu contohnya adalah pelanggaran ekspor bijih nikel yang berujung kepada ekspor ilegal nikel di masa lalu. Indonesia sempat mengharamkan ekspor bijih nikel di zaman SBY 2014. 2 tahun kemudian yaitu pada 2016, General Administrations of Customs of China (GACC) melaporkan ekspor bijih nikel dari Indonesia senilai 4 juta dollar AS. Data itu tidak tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebocoran ekspor ini diperkirakan merugikan negara Rp 2,8 miliar.
Bukan hanya itu saja, kasus serupa juga terjadi pada 2020. BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel (kode HS 2604), tetapi GACC lagi-lagi mencatat, ada impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia senilai 193,6 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun pada 2020. “Permasalahan tersebut tidak mungkin sekedar salah mencatat code HS02604. Bisa jadi memang ada main antara customs pihak Indonesia dan China,” tandasnya.
Sementara itu, Juru bicara KPK Ali Fikri menjelaskan bahwa temuan dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina masih dalam kajian. Dugaan tersebut ditemukan saat KPK melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi (Koorsupgah). “Itu hasil dari proses di Koorsupgah, termasuk juga kemudian kajian,” katanya.
Ali menjelaskan KPK memiliki beberapa tugas, yakni penindakan hingga pencegahan dan monitoring. Kajian mengenai ekspor nikel, kata dia, dilakukan oleh Kedeputian Pencegahan dan Monitoring.
Menurut dia, kajian yang telah dilakukan KPK sebenarnya meliputi banyak hal, seperti jalan tol dan pertanahan. Kedua kajian itu sudah dipublikasikan. Dia mengatakan kajian soal nikel itu sudah dilakukan oleh KPK, dan akan segera dipublikasikan. “Nanti kami pasti akan sampaikan,” kata dia lagi
KPK mengungkapkan bahwa lembaganya menemukan dugaan ekspor ilegal dari Indonesia ke Cina dengan jumlah 5,3 juta ton biji ore nikel. Ekspor itu terjadi selama 2020-2022. Ekspor itu disebut ilegal lantaran Indonesia sudah melarang biji nikel diekspor langsung sebelum diolah.
Temuan KPK ini didasarkan atas perhitungan jumlah ekspor biji nikel dari Indonesia ke Cina. KPK menemukan ada selisih nilai ekspor sebesar triliunan Rupiah dari hasil ekspor itu.
Sedangkan, Plt Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing mengenai adanya dugaan ekspor ilegal bijih nikel tersebut.
Meski demikian, Wafid menilai dugaan kebocoran ekspor bijih nikel kemungkinan bisa saja terjadi akibat adanya perbedaan persepsi. Terutama dalam skema pencatatan antara pihak Indonesia dan China. "Mungkin beda persepsi bea dan cukai di sana metodenya pakai apa, kita pakai apa, itu baru kita godok juga," kata Wafid.
Misalnya, ia mencontohkan bahwa selama ini Pemerintah Indonesia masih memperbolehkan ekspor konsentrat besi ke luar negeri. Adapun di dalam konsentrat besi tersebut umumnya terdapat kandungan nikel yang cukup rendah yakni di bawah 2%.
Menurut Wafid, bagi Pemerintah Indonesia, kandungan tersebut tidak tercatat sebagai komponen bijih nikel. Namun, kemungkinan komponen tersebut tercatat oleh Pemerintah China sebagai bijih nikel. "Jadi umpamanya begini kita memperbolehkan ekspor besi. Dalam besi konsentrat itu masih ada nikel yang taruhlah di bawah 2%-1%, bagi kita itu tidak masalah. Itu bukan bagian dari nikel. Tetapi di sana dihitung nikel, seperti itu," tukasnya. agus
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…