Oleh: Bima Pradana Putra, Penyuluh Pajak Muda Ditjen Pajak
Saat ini UMKM di Indonesia tidak bisa dipungkiri merupakan primadona dunia bisnis, meski tidak memegang porsi yang dominan dalam perputaran uang, secara jumlah pelakunya, UMKM menguasai hingga 99,9% dari total pengusaha yang ada di negeri ini. Hal ini juga yang membuat Direktorat Jenderal Pajak memberi porsi lebih dalam memperhatikan hak dan kewajiban perpajakan UMKM.
Adapun peraturan yang mendasari UMKM dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif hanya 0,5% dari peredaran bruto (omset) adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23/2018. Peraturan ini telah melekat di masyarakat wajib pajak (WP) sebagai tarif perpajakan bagi UMKM, yang memiliki omset di bawah Rp 4,8 miliar.
Namun ternyata masih banyak WP yang belum mengetahui, bahwa pengenaan tarif PPh 0,5% ini memiliki batas waktu. Menurut PP-23/2018, bagi badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maksimal penggunaan tarif UMKM lamanya adalah 3 tahun, sedangkan bagi badan usaha berbentuk koperasi, CV, atau Firma, jangka waktu berlakunya 4 tahun, sementara WP orang pribadi diberikan jangka waktu penggunaan tarif 0,5% paling lama yakni 7 tahun. Jangka waktu ini dimulai dengan memperhatikan saat WP mulai terdaftar. Apabila terdaftar sebelum PP23-2018 mulai berlaku (1 Juli 2018), maka batas waktu dimulai sejak PP23-2018 mulai berlaku, namun apabila terdaftar lebih dari tahun 2018, maka dimulai sejak tahun pajak terdaftar.
Dengan adanya klausul tersebut, maka untuk WP yang berbentuk badan usaha dan terdaftar memiliki NPWP dari 2018 dan sebelumnya, menjadi tidak lagi eligible untuk menggunakan tarif pajak 0,5% pada tahun ini (2022). Karenanya, perlu ada penyesuaian dari cara menghitung dan membayar PPh yang terutang atas usahanya. Bagaimana para badan usaha UMKM dapat tetap menjalankan kewajiban perpajakannya? terdapat beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan oleh badan usaha terkait hal tersebut.
Pembukuan Taat Azas
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 54/2021 mengatur bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan itikad baik, mencerminkan keadaan sebenarnya, berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain, serta diselenggarakan dengan konsisten dan taat azas dalam hal ini metode pembukuan yang digunakan harus sama dengan tahun pajak sebelumnya. Aturan itu juga menyatakan bahwa agar dapat dihitung besarnya pajak yang terutang, pembukuan paling sedikit harus memuat catatan dari Harta, Kewajiban, Modal, Penghasilan dan biaya serta Harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa termasuk penjualan dan pembelian.
Untuk WP Badan Usaha yang omsetnya belum mencapai batasan Rp 4,8 miliar, dapat menyelenggarakan pembukuan dengan stelsel kas yakni penghitungan jumlah penghasilan dan harga pokok penjualan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas termasuk penjualan dalam suatu tahun pajak diakui saat pembayaran dan penerimaan secara tunai telah dilakukan. Namun WP tetap harus memperhatikan, bahwa untuk tujuan perpajakan stelsel kas yang dimaksud adalah stelsel kas campuran, yang pada dasarnya mengakui penghasilan dan biaya baik atas transaksi yang bersifat tunai maupun bukan tunai.
Perhitungan PPh Pasal 25
Sementara itu, menurut PMK No. 99/2018 yang merupakan aturan pelaksanaan PP-23/2018 mengatur bahwa bagi WP yang telah melewati jangka waktu, wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan ketentuan umum PPh, dan untuk penghitungan besarnya angsuran pajak, wajib pajak tersebut diberlakukan seperti WP baru.
Apabila kita merujuk kepada definisi, WP baru adalah WP orang pribadi dan badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun Pajak, termasuk WP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha dan/ atau perubahan bentuk badan usaha. Dengan adanya ketentuan tersebut, petunjuk selanjutnya ada di PMK No. 215/2018 pasal 10 menyebutkan, angsuran PPh Pasal 25 untuk WP Baru pada tahun pajak berjalan ditetapkan nihil.
Jadi, WP yang telah melewati jangka waktu penggunaan PPh Final 0,5% tidak perlu untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 di tahun pertama melewati jangka waktu, namun perhitungan PPh terutangnya akan dilakukan saat membuat SPT Tahunan Badan.
Pelaporan SPT Tahunan
Bagi UMKM yang telah menggunakan ketentuan umum perpajakan akan mengisi SPT Tahunan Badannya (Form 1771) dengan sedikit perbedaan dibandingkan saat masih menggunakan tarif PPh Final 0,5%. Pada lampiran I-Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal, Angka 4. Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final Dan Yang Tidak Termasuk Objek Pajak, yang sebelumnya diisi dengan Penghasilan UMKM yang telah dibayarkan sendiri PPh 0,5%-nya, menjadi tidak diisi dikarenakan tidak ada penyetoran PPh Final 0,5%, kecuali terdapat Penghasilan yang dipotong PPh Final lainnya.
Dengan memperhatikan pembukuan yang taat azas, perhitungan PPh Pasal 25 (angsuran pajak) dan Pelaporan SPT Tahunan, UMKM yang telah melewati jangka waktu penggunaan PPh Final 0,5% dan beralih menggunakan ketentuan umum perpajakan diharapkan dapat tetap menjalankan kewajiban perpajakan dengan mudah dan benar, sebagai bakti warga negara dalam mewujudkan cita-cita Pajak Kuat untuk Indonesia Maju.
Oleh: Dr. Mahpud Sujai, Pejabat Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku di Indonesia sejak…
Oleh : Kurniawan Binangkit, Pengamat Sosial Politik Peringatan Hari Reformasi pada 20 Mei seharusnya menjadi momentum refleksi dan…
Oleh: Sadena Devi, Pemerhati Pangan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan keseriusannya dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan…
Oleh: Dr. Mahpud Sujai, Pejabat Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku di Indonesia sejak…
Oleh : Kurniawan Binangkit, Pengamat Sosial Politik Peringatan Hari Reformasi pada 20 Mei seharusnya menjadi momentum refleksi dan…
Oleh: Sadena Devi, Pemerhati Pangan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan keseriusannya dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan…