Oleh : Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
Menurut data BNPB Pusat, melaporkan Minggu (27/11) terdapat 321 orang meninggal, 11 orang masih hilang dan sekitar 3.000 orang mengalami luka-luka akibat bencana gempa di Cianjur, pekan lalu.
Gempa Cianjur seharusnya dapat dinyatakan sebagai bencana nasional karena korban jiwa nya begitu besar mencapai 271 korban, dimana mayoritas anak-anak dan kerugian ekonomi dan rusaknya infrastruktur begitu besar.
Berdasarkan estimasi kerugian ekonomi dari gempa Cianjur mencapai Rp1.601 triliun. Hal tersebut dihitung dari kerusakan rumah tinggal sebanyak 22.198 rumah yang terdiri dari 6.570 rumah rusak ringan, 2.071 rumah rusak sedang dan 12.641 rumah rusak parah dan beberapa infrastruktur publik lainnya seperti pasar, jembatan, fasos dan gedung pemerintahan.
Melihat besarnya kerugian ekonomi akibat bencana seharusnya Indonesia memiliki mitigasi bencana yang jauh lebih akurat dan berbasis data geo-spasial yang lebih komprehensif. Kejadian gempa Cianjur itu menunjukkan bagaimana otoritas mitigasi bencana seperti BMKG, BNPB, PVMBG tidak melaksanakan tupoksinya dengan baik.
Otoritas mitigasi bencana sudah dibekali dana APBN, namun kinerjanya dalam menghindari korban jiwa dan kerugian ekonomi belum berhasil. Selain dibekali APBN, Otoritas mitigasi bencana di Indonesia seperti BMKG juga banyak mendapatkan bantuan teknologi dan bantuan teknis dari internasional. Namun BMKG belum sesuai harapan yaitu memberikan peringatan dini bencana terutama di daerah rawan bencana.
Ada pelajaran penting yang harus diambil oleh pemerintah dari kejadian ini. Karena pemerintah dianggap telah lalai memperingatkan rakyatnya yang tinggal di tempat rawan bencana. BMKG tidak memberikan early warning yang lengkap, up to date dan komprehensif dan sosialisasi bencana ke masyarakat disekitar area rawan gempa baik itu di area sesar gempa atau cincin api sangat minim sehingga korban jiwa tidak terhindarkan.
Pemerintah melalui otoritas mitigasi bencana (BMKG) harus bertanggungjawab dengan kelalaian ini dan melakukan langkah-langkah konkret terkait langkah pre-emptive (pencegahan) kemungkinan bencana serupa di masa depannya.
Dalam padangan kebijakan publik, masyarakat bisa menuntut kepada pemerintah atas kelalaiannya melakukan pencegahan bencana di wilayah rawan gempa. Publik memiliki legal standing untuk protes dan menuntut ganti rugi yang lebih besar.
Pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) perlu dievaluasi dan berharap dapat diisi oleh orang-orang yang lebih profesional. Karena jika tetap begini maka akan banyak korban berjatuhan jika terjadi bencana-bencana di daerah rawan bencana khususnya daerah rawan gempa di masa depan.
Ke depan BMKG harus lebih waspada atas segala indikasi yang mengarah kepada terjadinya bencana. Ini penting setidaknya jika terjadi gempa maka masyarkat sudah bersiap menyelamatkan diri sejak awal. Hal ini juga akan lebih meringankan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanganan dampak yang terjadi akibat gempa ataupun bencana alam lainnya.
Perlu Sentralisasi
Otoritas mitigasi bencana juga memiliki kelemahan diantaranya adalah belum tersentralisasi. Selain BMKG, institusi mitigasi bencana juga melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Ketiganya mendapatkan APBN namun ketiga lembaga tersebut masih bekerja sendiri-sendiri.
BMKG sebagai otoritas yang seharusnya mengkoordinasikan pada lintas kementerian dan lintas institusi kelihatannya belum menjalankan tugasnya.
Daerah rawan bencana seharusnya bisa dipetakan dengan lebih detail dan hasil pemetaan tersebut dijadikan rujukan institusi lain termasuk publik luas, untuk bersiap siaga termasuk merencanakan membangun rumah tinggal dan kantor pemerintahan.
Sungguh aneh, bila di daerah rawan bencana seperti Cianjur, gedung yang ikut hancur adalah gedung pemerintahan. Ini menunjukan tidak ada perencanaan dan koordinasi antar institusi dalam memperingatkan gempa yang rutin berkala akibat pergerakan lempeng aktif yang terus dipantau BMKG.
Selain gempa di Cianjur, Indonesia berturut-turut negara dirundung bencana. Berbagai peristiwa bencana alam melanda di berbagai daerah. Dari banjir di Bali, Jawa Tengah, dan berbagai daerah lainnya kini gempa yang melanda Cianjur yang menimbulkan korban jiwa lebih dari 300 orang dan ribuan orang lainnya luka-luka.
Selain itu, narasi pemerintah dalam gempa Cianjur berupa mengajak publik dalam membangun solidaritas adalah sangat baik. Narasi solidaritas tersebut dibuktikan dengan Presiden Jokowi mengunjungi RSUD Cianjur dan ikut menyalurkan bantuan, BUMN-BUMN melakukan CSR ke kecamatan-kecamatan terdampak di Cianjur dan para menteri dan pimpinan tinggi lembaga negara juga melakukan hal yang serupa.
Semua narasi solidaritas tersebut baik, namun fungsi pimpinan K/L dan alat pemerintahan dalam melakukan mitigasi bencana bukan sekedar itu. Mereka harusnya harus mampu mencegah bencana terulang kembali dengan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar.
Oleh: Miftahul Jannah, Pengamat Pendidikan Pendidikan merupakan fondasi utama bagi kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia, upaya untuk…
Oleh: Silvia Anggun, Pengamat Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang diresmikan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi),…
Oleh: Zulfikar Ibrahim, Pemerhati Sosial Ekonomi Peresmian program Aneuk Muda Aceh Unggul dan Hebat (Amanah) oleh…
Oleh: Miftahul Jannah, Pengamat Pendidikan Pendidikan merupakan fondasi utama bagi kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia, upaya untuk…
Oleh: Silvia Anggun, Pengamat Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang diresmikan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi),…
Oleh: Zulfikar Ibrahim, Pemerhati Sosial Ekonomi Peresmian program Aneuk Muda Aceh Unggul dan Hebat (Amanah) oleh…