Implikasi PPN atas Belanja Desa

 

Oleh: Amin Subiyakto, Widyaiswara BDK Yogyakarta, Kemenkeu

 

Pemerintah pusat sejak 2015 sudah menggelontorkan Dana Desa yang berasal dari APBN. Dana Desa yang telah dikucurkan pemerintah pada 2015 sebesar Rp20 triliun, dan terus meningkat tiap tahun hingga Rp68 trilyun pada 2022. Dana tersebut dianggarkan bagi sekitar 74.000 desa. Rata-rata, tiap desa akan memperoleh Dana Desa sekitar Rp945 jutaan. Selain itu, desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari APBD Kabupaten, serta Bantuan Provinsi (Banprov) yang berasal dari APBD Provinsi. Banyak sekali jumlah dana yang diterima oleh sebuah desa.

Jika dihitung potensi penerimaan pajaknya, Bendahara Desa yang bisa menyetorkan sampai Rp60 jutaan dalam setahun. Dalam satu wilayah KPP bisa terdapat ratusan desa yang berada dalam pengawasannya. Sebagai contoh, salah satu KPP di salah satu kabupaten di Jawa Tengah mengawasi 469 desa dengan potensi pajak yang bisa dicairkan mencapai sekitar Rp28,14 miliar.

Dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai diatur pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP nantinya wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Aturan ini dikecualikan bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dengan adanya PMK ini, artinya pengusaha dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun akan memilih menjadi Non-PKP, sehingga para pengusaha tersebut tidak perlu menjalankan kewajiban perpajakan yang melekat. Mereka juga tidak diwajibkan membuat faktur pajak dan tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Dengan begitu, Ditjen Pajak berharap biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) menjadi lebih rendah

            Jika melihat kondisi lapangan, umumnya vendor/suplier di Desa adalah Usaha Kecil Menengah (UMKM) dan bukan Pengusaha Kena Pajak. Artinya tidak ada PPN dalam pembayaran dari desa ke supplier.  

Impilkasi bagi Pengusaha

Perbedaan antara PKP dengan non PKP dalam hal PPN adalah hak pengkreditan pajak yang dibayarkan pengusaha saat membeli barang yang diserahkan ke Desa (Pajak Masukan). PKP berhak mengkreditkan Pajak Masukan sedangkan Non PKP tidak berhak. Kita dapat ilustrasikan implikasi dari pengkreditan tersebut dengan skenario harga barang sama dengan konsekuensi margin laba pengusaha yang non PKP (A) akan lebih kecil dibanding yang memilih menjadi PKP (B). Misalnya harga penyerahan ke Desa 11 juta termasuk PPN. Dengan harga jual yang sama misalnya 14 juta, maka laba bruto A akan lebih kecil yaitu 3 juta (21%) dibanding B yang labanya 4 juta (29%). Hal ini disebabkan pada pengusaha A, PPN yang dibayarkan saat pembelian akan dibebankan sebagai harga pokok penjualan sedangkan B, PPN yang dibayarkan senilai 1 juta tidak masuk ke dalam harga pokok karena bisa dijadikan kredit pajak (Pajak Masukan)

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa penyerahan kepada bukan PKP jika dilakukan pemungutan pajak akan berdampak pada laba yang diperoleh pengusaha bukan PKP akan lebih kecil karena PPN yang dibayarkan pada saat pengusaha melakukan pembelian tidak dapat dikreditkan sehingga menjadi komponen harga pokok.

Jika pengusaha non PKP menargetkan laba yang sama dengan rekanan PKP, maka harga jual ke pengusaha non PKP akan lebih mahal. Hal ini dikarenakan harga pokok pengusaha yang Non PKP jadi lebih mahal senilai PPN Pembelian yang tidak bisa dikreditkan menjadi Pajak Masukan. Jika hal ini terjadi dalam skala nasional, berapa banyak pemborosan yang dilakukan karena Desa harus membayar lebih mahal. Atau dengan asumsi pengusaha mentargetkan laba yang sama, pembelian akan lebih murah jika dilakukan kepada PKP.

Kewajiban Bendahara Desa terkait Perpajakan

Dasar hukum terkait dengan penegasan Bendahara Desa masuk dalam pengertian bendaharawan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa menegaskan bahwa  Bendahara adalah unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan administrasi keuangan untuk menatausahakan keuangan desa. Terkait kewajiban perpajakan, Bendahara desa sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S – 6/PJ.13/2016 menegaskan bahwa istilah bendaharawan mengacu pada jabatan bendaharawan pada tingkat administrasi pemerintahan, dan tidak didasarkan pada sumber dana pengelolaan keuangan. Dengan demikian maka pengertian Bendaharawan Dana Desa adalah Bendaharawan Pemerintah Desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa. 

Bendahara desa sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bendahara diwajibkan untuk memotong PPh atas pembayaran terhadap penerima. Jenis-jenis PPh, ada PPh perorangan (PPh 21) dan PPh badan (PPh 23) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk PPN, pemungutan dilakukan atas penyerahan barang atau jasa kena pajak yang ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak.

Bagaimana ke Depannya?

Pemungutan PPN pada UMKM Non PKP atas belanja Dana Desa tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menjadikan nilai belanja lebih mahal. Implementasi pemungutan PPN di lapangan atas belanja dana kepada suplier non PKP adalah PPN disetor atas nama Bendahara Desa/suplier atau Pengusaha Rekanan Desa di-PKP kan. Cara pertama secara formal dan material tidak sesuai dengan ketentuan, sedangkan cara kedua meski secara formal benar, secara material menyimpang dengan semangat melindungi / memberikan insentif kepada UMKM.

Implikasi lainnya dari pemungutan PPN kepada non PKP adalah laba yang diperoleh pengusaha bukan PKP akan lebih kecil karena PPN yang dibayarkan pada saat pengusaha melakukan pembelian tidak dapat dikreditkan sehingga menjadi komponen harga pokok. Jika pengusaha non PKP menargetkan laba yang sama dengan rekanan PKP, maka harga jual ke pengusaha non PKP akan lebih mahal. Jika hal ini terjadi dalam skala nasional, berapa banyak pemborosan yang dilakukan karena Desa harus membayar lebih mahal.

Direktorat Jenderal Pajak perlu membuat penegasan untuk mengembalikan kepada konteks aturan PPN secara khusus terkait belanja Dana Desa untuk menghindari adanya belanja yang lebih mahal bagi Desa sekaligus sebagai wujud keberpihakan DJP dalam mengefisienkan pembelanjaan dana desa dan melindungi para penyedia barang/jasa yang dibiayai dengan Dena Desa yang pada umumnya adalah pengusaha di Desa tersebut dan skalanya masih UMKM.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Jawab Isu Indonesia Gelap dengan Kerja dan Capaian

  Oleh: Budiman Aktuari, Peneliti di Urban Catalyst Institute   Dalam beberapa waktu terakhir, muncul seruan dan narasi yang menyebutkan…

Menolak Narasi Palsu Tentang Indonesia Gelap

    Oleh: Nana Sukmawati,  Mahasiswa PTS di Palembang   Narasi Palsu terkait "Indonesia Gelap" yang beredar belakangan ini mencuat…

Komitmen Pemerintah Terus Perkuat Sistem Pengawasan Gizi MBG

    Oleh : Doni Wicaksono, Pemerhati Pangan     Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam membangun generasi sehat dan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pemerintah Jawab Isu Indonesia Gelap dengan Kerja dan Capaian

  Oleh: Budiman Aktuari, Peneliti di Urban Catalyst Institute   Dalam beberapa waktu terakhir, muncul seruan dan narasi yang menyebutkan…

Menolak Narasi Palsu Tentang Indonesia Gelap

    Oleh: Nana Sukmawati,  Mahasiswa PTS di Palembang   Narasi Palsu terkait "Indonesia Gelap" yang beredar belakangan ini mencuat…

Komitmen Pemerintah Terus Perkuat Sistem Pengawasan Gizi MBG

    Oleh : Doni Wicaksono, Pemerhati Pangan     Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam membangun generasi sehat dan…