Green Diesel Pertamina Raih Sertifikat ISCC - Penggunaan Minyak Nabati Diperluas

NERACA

Jakarta - Produk bahan bakar hijau unggulan Pertamina  yakni Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau Green Diesel D100 semakin diakui dunia. Produk ini merupakan substitusi bahan bakar diesel yang lebih ramah lingkungan dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar kendaraan ataupun memproduksi listrik hijau melalui penggunaan di genset. Produk bahan bakar hijau yang dihasilkan Green Refinery Cilacap ini telah mendapatkan sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Melalui sertifikasi ISCC, Produk HVO Pertamina memperoleh pengakuan bahwa penggunaan produk ini berkontribusi pada penurunan emisi karbon hingga 65-70% dari bahan bakar umumnya sehingga layak disebut sebagai green product. 

Produk HVO dengan branding nama Pertamina Renewable Diesel (Pertamina RD) sebelumnya diluncurkan dan dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan Jakarta E-Prix 2021. Kapasitas produksi Green Refinery Cilacap untuk menghasilkan Produk Green Diesel sebesar 3.000 barrels per hari dengan bahan baku nabati berupa Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Saat ini telah dipasarkan dan diterima pasar Eropa, utamanya Jerman dan Prancis.  

General Manager Kilang Cilacap - PT Kilang Pertamina Internasional, Edy Januari Utama mengatakan Pertamina terus memperkuat transisi energi bersih sejalan dengan komitmen Pertamina mengedepankan prinsip Environmental, Social, & Governance (ESG) di semua lini bisnis. Pertamina terus melakukan inovasi dengan menekan emisi dari peralatan produksinya maupun menghasilkan produk-produk rendah emisi berbasis energi baru terbarukan.

Ini sejalan dengan komitmen Pertamina untuk melakukan dekarbonisasi pada bisnisnya demi menciptakan lingkungan yang semakin baik. Pertamina juga telah mencanangkan Roadmap Net Zero Emission untuk memastikan komitmen upaya dekarbonisasi secara bertahap hingga dicapai target net zero emission di tahun 2060.

Roadmap Net Zero Emission merupakan salah satu bukti nyata- komitmen Pertamina dalam mendukung SDG’s atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan no. 13 mengenai penanganan perubahan iklim. 

Pertamina berkomitmen meningkatkan kapasitas dan kemampuan Green Refinery Cilacap yang saat ini baru 2.500 -  3.000 barel per hari menjadi 6.000 barrel per hari dengan produk mencakup Green Diesel, Sustainable Aviation Fuel, dan Bionaphta," ujar Edy. 

Edy menambahkan, peningkatan kapasitas green energy tersebut sejalan dengan permintaan pasar dunia terhadap produk energi bersih dan sebagai bentuk keseriusan Pertamina untuk menerapkan strategi agresif di Green Business dalam roadmap net zero Emissionnya.

"Fleksibilitas bahan baku green energy juga akan semakin ditingkatkan sehingga tidak hanya mengolah berbasis CPO tetapi juga bisa mengolah bahan lain semisal Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah menjadi energi hijau," imbuh Edy. 

Pada fase kedua pengembangan green refinery Cilacap, selain fleksibilitas jenis produk, juga telah direncanakan peningkatan kemampuan kilang dalam mengolah second generation renewable feedstock seperti minyak jelantah atau sejenisnya, sehingga kontribusi penurunan emisi produknya pun meningkat hingga 85-90% dibandingkan bahan bakar fosil. 

Dalam pengumpulan minyak jelantah tersebut, akan dipelajari juga potensi pengimplementasian konsep circular economy yang berfokus pada peningkatan ekonomi masyarakat sehingga keberadaan Green Refinery dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat selain energi yang lebih ramah lingkungan.

Lebih lanjut, adapun di sektor biodiesel sebagai sektor hilir kelapa sawit, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) tetap berkomitmen mendukung mandatori biodiesel bauran 30% atau B30 sesuai regulasi pemerintah. Pada 2021, jumlah alokasi penyaluran B30 sebesar 10.257.952 kilo liter (KL). Selanjutnya alokasi penyaluran tahun ini sebesar 10.151.018 KL.

“Untuk kebutuhan domestik maka besaran volume dan wilayah pasokan mengikuti aturan Keputusan Menteri ESDM Nomor 150/2021. Jadi kebijakan biodiesel ini berdasarkan kepada regulasi dan aturan yang ditetapkan pemerintah,” tutur Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI).

Paulus pun mengatakan produsen biodiesel ibarat tukang jahit yang menerima jasa. Tidak ada insentif dan subsidi yang diterima produsen biodiesel karena biodiesel dibeli dengan harga keekonomian. Besaran harga indeks biodiesel diatur oleh Peraturan Menteri ESDM.

Konsistensi program biodiesel berdampak positif kepada iklim investasi. Pembangunan pabrik biodiesel terus meningkat sampai tahun ini, jumlah kapasitas terpasang produksi biodiesel mencapai 16,6 juta Kl.

“Sudah ada 2 sampai 3 investor yang berminat untuk membangun pabrik biodiesel baru,” kata Paulus.

 

BERITA TERKAIT

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…