IPB Lahirkan Doktor Ilmu Tanah Berbasis Kecerdasan Buatan

NERACA

Bogor - Ilmuwan ilmu tanah di Indonesia sudah saatnya mengembangkan teknologi kecerdasan buatan di bidangnya. Di negara maju, teknologi kecerdasan buatan seperti machine learning telah digunakan ilmuwan ilmu tanah untuk pemetaan tanah, pemetaan sifat tanah, hingga monitoring kekeringan serta pemupukan.

“Kecerdasan buatan anugerah besar untuk sektor pertanian termasuk ilmu tanah sehingga harus dikembangkan seluas-luasnya,” kata Destika Cahyana, pada acara pengukuhan gelar doktor di IPB University, Bogor, Jawa Barat.

​Promovendus berhasil mempertahankan disertasi berjudul Pengembangan metode pendetailan satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah semi detail (1:50.000) di wilayah Tropika, pada sidang promosi yang digelar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB University, Bogor, Selasa (28/6).

Menurut Destika, pendekatan machine learning untuk mendetailkan satuan peta tanah dapat menghemat waktu, biaya, dan resiko yang selama ini menjadi kendala dalam pemetaan tanah.

​Pendetailan satuan peta tanah dengan cara sebelumnya membutuhkan survei ulang ke lokasi yang sama dengan jumlah pengamatan yang lebih rapat. “Biaya perjalanan, penginapan, serta tenaga kerja menjadi komponen biaya tertinggi,” kata promovendus yang saat ini bekerja di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) itu.

Komponen biaya di atas dapat mencapai 70% dari anggaran sehingga pemutakhiran peta tanah berjalan lambat. 

Pada 2013, Indonesia berhasil menuntaskan pemetaan tanah skala 1:250.000 untuk seluruh wilayah Indonesia setelah berupaya lebih dari 63 tahun.

Berikutnya pada 2019 Indonesia berhasil menyelesaikan peta tanah skala 1:50.000 untuk 511 kabupaten/kota setelah berupaya dari tahun 70-an. “Teknologi kecerdasan buatan dengan pendekatan machine learning menjadi jawaban untuk pemutakhiran peta yang lebih murah, cepat, dan minim risiko,” kata Destika yang mendapat beasiswa tugas belajar dari Badan Litbang Kementerian Pertanian itu.

Promovendus melakukan penelitian di tiga kabupaten yaitu Timor Tengah Utara, Jember, dan Bogor yang mewakili 3 variasi iklim di wilayah tropis.

Destika menguji sejumlah algoritma dari machine learning yang biasa digunakan di negara subtropis untuk memetakan tanah dengan teknik pemetaan tanah digital.

Ia juga menguji kombinasi faktor-faktor lingkungan yang dapat digunakan untuk menduga sebaran tanah di Indonesia yang tergolong wilayah tropis.

Menurut Destika, pemetaan tanah digital di negara maju yang umumnya beriklim subtropis telah berkembang pesat sejak 10 tahun terakhir. “Kita berupaya menerapkannya dalam konteks wilayah tropis karena kondisinya berbeda,” kata alumnus dari Universitas Sriwijaya itu.

Di wilayah tropis kondisi atmosfer banyak terhalang awan sehingga hanya data penginderaan jauh tertentu saja yang dapat digunakan. Demikian pula vegetasi di atas tanah tropis relatif lebih tinggi dan tebal dibanding vegetasi di wilayah subtropis. 

Master dari Chiba University, Jepang, tersebut menyelesaikan disertasinya di bawah bimbingan para promotor dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB yaitu Dr. Baba Barus, Prof. Budi Mulyanto, dan Dr. Darmawan.

Pembimbing lainnya dari luar IPB yaitu Dr. Yiyi Sulaeman yang merupakan peneliti di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Pada sidang promosi tersebut promovendus juga diuji oleh promotor luar komisi dari IPB yaitu Bambang Hendro Trisasongko, S.P, M.Si, Ph.D dan dari University of Sydney yaitu Prof. Budiman Minasny.

Menurut Dr. Baba Barus, riset yang dilakukan promovendus menyumbangkan 2 kebaruan pada disiplin ilmu tanah antara lain kebaruan metode dan kebaruan hasil.

Destika menawarkan metode pendetailan satuan peta tanah secara otomatis di daerah tropis yang spesifik di setiap variasi subiklim dan menyumbangkan produk pemetaan tanah digital dengan akurasi 70,00-73,17%. “Kebaruan tersebut harus selalu dikembangkan agar dapat diterapkan lebih luas,” kata Baba yang juga Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, itu.

Sementara menurut Prof. Budi Mulyanto, promovendus telah membuka peluang pemetaan tanah digital pada level taksa tanah yang lebih detail di tanah air. Saat ini promovendus berupaya menduga sebaran taksa tanah pada level subgrup pada sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan USDA.

“Di masa depan bukan tidak mungkin pemetaan tanah digital dapat menduga sebaran tanah hingga level seri atau famili,” kata Budi yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) itu. (Mohar/Rin)

 

 

BERITA TERKAIT

Satgas PHK Lindungi Hak Buruh di Tengah Ancaman PHK

NERACA Jakarta – Pemerintah bergerak cepat saat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai mengguncang sektor industri dan menciptakan kecemasan di…

Momentum Mayday Kolaborasi Sejahterakan Kelompok Pekerja

  NERACA Surabaya-Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tahun ini menjadi momen penting bagi berbagai elemen bangsa untuk kembali mempertegas…

BSI Wealth Insight Hadir di GIFS 2025, Memberi Lebih untuk Nasabah Prioritas

  NERACA Jakarta-PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) terus memperkuat komitmen pelayanan bagi segmen nasabah prioritas dengan menghadirkan beragam produk…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Daerah

Satgas PHK Lindungi Hak Buruh di Tengah Ancaman PHK

NERACA Jakarta – Pemerintah bergerak cepat saat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai mengguncang sektor industri dan menciptakan kecemasan di…

Momentum Mayday Kolaborasi Sejahterakan Kelompok Pekerja

  NERACA Surabaya-Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tahun ini menjadi momen penting bagi berbagai elemen bangsa untuk kembali mempertegas…

BSI Wealth Insight Hadir di GIFS 2025, Memberi Lebih untuk Nasabah Prioritas

  NERACA Jakarta-PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) terus memperkuat komitmen pelayanan bagi segmen nasabah prioritas dengan menghadirkan beragam produk…