Peran Cukai Rokok dalam Pemulihan Defisit BPJS Kesehatan

Oleh: Arifah Muzakkirah, Kanwil DJBC Sulawesi Utara

Kenaikan tarif cukai rokok selalu menjadi perbincangan hangat di masyarakat, khususnya bagi mereka yang secara rutin mengonsumsi rokok. Dewasa ini, rokok sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer menyaingi sandang dan pangan. Karena tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas, namun juga kalangan menegah ke bawah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat tingkat konsumsi rokok masyarakat usia di atas 15 tahun sebesar 28,96 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar 28,69 persen.

Kebiasaan merokok pun tidak hanya menjadi masalah pada orang dewasa, melainkan juga semakin marak pada kalangan anak dan remaja. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun yakni sebesar 1,9 persen dari tahun 2013 (7,2 persen) ke tahun 2018 (9,1 persen). Data ini menunjukkan bahwa lebih dari seperempat penduduk Indonesia mengonsumsi rokok, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak ketiga di dunia pada tahun 2021.

Kenaikan persentase konsumsi rokok juga diikuti dengan kenaikan tarif cukai rokok setiap tahunnya, hal ini mengakibatkan meningkatnya keluhan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok. Namun keluhan itu tidak didasari oleh pemahaman tentang tujuan pengenaan cukai terhadap rokok, ironisnya masih banyak masyarakat yang bahkan belum memahami definisi cukai itu sendiri. Hal ini dibuktikan dalam Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

“Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini”, demikian definisi cukai dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Mengutip salah satu karakteristik cukai yaitu “menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup”, yang menjadi dasar pengenaan cukai terhadap rokok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peningkatan kasus kanker paru-paru di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh konsumsi rokok.

WHO (World Health Organization) mencatat sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal setiap tahun akibat merokok atau penyakit yang berhubungan dengan zat-zat yang terkandung di dalam rokok, sehingga perlu tindakan dalam skala luas untuk melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan rokok. Peningkatan kasus ini diikuti dengan pesatnya pertumbuhan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia, oleh karena itu banyak bermunculan rokok dengan harga yang terjangkau di masyarakat. Dengan kebijakan pengenaan cukai rokok yang diterapkan dalam besaran yang tepat, maka diharapkan pola konsumsi masyarakat cenderung menurun karena kenaikan harga rokok.

Hampir 96 persen proporsi penerimaan cukai berasal dari industri hasil tembakau, dapat dikatakan bahwa penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) termasuk dalam kategori penyumbang terbesar. Penerimaan ini tidak hanya digunakan oleh Pemerintah Pusat, sebagian juga dialokasikan dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ke daerah penghasil cukai dan tembakau dengan presentase dan kriteria tertentu. Pemberian Dana berupa dana perimbangan tersebut sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi Pemerintah Daerah karena telah memperhatikan potensi daerah penghasilan.

Mendukung Program JKN

Ketentuan Penggunaan DBH CHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Pasal 11 Ayat 1, disebutkan bahwa 40% dari DBH CHT dialokasikan untuk bidang kesehatan. Adapun alokasi ini digunakan untuk mendukung program Jaminan Kesehatan (JKN).

Alokasi cukai rokok untuk program JKN bukanlah bentuk pembenaran pemerintah bagi produsen dan konsumen rokok, melainkan untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan beberapa tahun terakhir. Hal ini selaras dengan salah satu nilai Kementerian Keuangan yaitu Sinergi, bersinergi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yang tertuang dalam Program pembinaan lingkungan  sosial  untuk mendukung kesehatan, PMK nomor 215/PMK.07/2021 Pasal 10 Ayat 1 (d). Pasal ini berbunyi “Pembayaran iuran jaminan Kesehatan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah termasuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja”.

Adapun yang dimaksud dengan dukungan terhadap JKN antara lain penyediaan layanan kesehatan preventif dan rehabilitatif, penyediaan sarana prasarana fasilitas kesehatan bersama BPJS Kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan bersama BPJS Kesehatan, pembayaran iuran jaminan kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI APBD), serta pembayaran tindakan pelayanan kesehatan bagi orang tidak mampu.

Maka dari itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok akan terus dilakukan untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat. Kenaikan ini juga diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan penyakit disebabkan oleh penggunaan rokok serta dapat menekan defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan karena banyaknya peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, namun setelah sembuh berhenti membayar iuran.

Karena pada dasarnya, pajak yang dibayar oleh masyarakat dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak lainnya dikumpulkan oleh Pemerintah untuk dialokasikan ke pertumbuhan negara dalam berbagai sektor. Alokasi tersebut tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), UangKita yang berasal dari kita dan untuk kita.

Yang menjadi tugas para pemangku kepentingan, adalah bagaimana cara agar UangKita digunakan secara efektif dan efisien, memberikan dampak yang masif kepada masyarakat, selalu melakukan monitoring dan evaluasi sistem, serta tidak berhenti mengedukasi masyarakat terkait kebijakan yang akan dan telah ditetapkan. Adapun tugas masyarakat adalah tidak menutup mata dan telinga terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah dan mencari tahu kebenaran informasi yang sedang beredar sebelum membuka suara dan menyebarkannya ke orang lain.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…