Tax Holiday dan Tax Allowance di Era Dua Pilar, Masih Menarik?

 

Oleh: Usti Nugraeni, Staf Ditjen Pajak Kemenkeu *)

Dalam pertemuan G-20 yang diselenggarakan baru-baru ini, Indonesia dan beberapa negara lain menyepakati pembaruan sistem perpajakan internasional yang berfokus pada pencegahan hilangnya potensi penerimaan pajak akibat digitalisasi dan globalisasi ekonomi. Salah satu langkah yang ditempuh adalah melalui penerapan pajak minimum global sebesar 15% (lima belas persen). Di satu sisi, hal tersebut dapat membuka ruang penambahan penerimaan negara. Akan tetapi di sisi lain, kebijakan global dimaksud tidak hanya akan berdampak pada arus investasi, tetapi juga pada daya tarik insentif perpajakan, terutama tax holiday dan tax allowance.

Sebanyak 136 negara dalam forum G-20 telah menyetujui penerapan Solusi Dua Pilar, yaitu Pilar Satu dan Pilar Dua, yang akan diwujudkan dalam suatu konvensi multilateral. Pilar Satu akan berfokus pada pengenalan Unified Approach dimana hak pemajakan suatu negara tidak lagi tergantung pada ada atau tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara tempat perusahaan beroperasi komersial.

Sementara Pilar Dua, difokuskan untuk melindungi basis pajak melalui dua rencana kebijakan. Kebijakan pertama adalah melalui pengenaan pajak pada perusahaan multinasional yang menghasilkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) keuntungan di negara tempat beroperasi.

Kebijakan kedua yang akan diterapkan yaitu pengenaan pajak minimum global sebesar 15% (lima belas persen) kepada perusahaan multinasional yang beroperasi di beberapa negara. Melalui penerapan kebijakan pajak minimum global tersebut, suatu negara berhak untuk mengenakan pajak tambahan bagi perusahaan multinasional yang memiliki tarif pajak penghasilan global efektif di bawah tarif yang ditentukan.

Dengan penerapan kebijakan pajak minimum global, diharapkan dapat menghapuskan kompetisi antarnegara melalui pengenaan tarif pajak serendah mungkin dalam menarik investor. Selain itu, kebijakan tersebut juga bertujuan untuk meminimalisir upaya penghindaran pajak melalui skema tertentu.

Di satu sisi, Pemerintah Indonesia mendapatkan keuntungan berupa hak untuk mendapatkan tambahan penerimaan pajak penghasilan dalam hal perusahaan multinasional yang berdomisili di Indonesia memiliki tarif pajak penghasilan efektif yang berada di bawah tarif 15%. Namun di sisi lain, Pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas dan daya tarik insentif perpajakan yang saat ini diberikan untuk mendorong masuknya investasi ke dalam negeri.

Dampak Pajak Minimum Global

Dua jenis insentif pajak yang menjadi primadona untuk menarik investasi saat ini adalah berupa tax holiday dan tax allowance. Tax holiday diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi di sektor industri pionir, sementara tax allowance diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi di sektor industri yang menjadi prioritas nasional. Melalui kedua jenis insentif tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya memberikan sweetener guna mendorong masuknya investasi baru yang berdampak besar bagi perekonomian.

Rencana penerapan pajak minimum global sebagaimana dimaksud dalam kebijakan Pilar Dua, memang tidak secara langsung berdampak pada pengurangan potensi penerimaan perpajakan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sejak awal pemberian insentif perpajakan, Pemerintah telah merelakan kehilangan potensi penerimaan pajaknya.

Akan tetapi dengan adanya rencana penerapan pajak minimum global, Indonesia akan kehilangan daya tarik investasi melalui pemberian insentif perpajakan khususnya tax holiday dan tax allowance tersebut. Penyebabnya adalah pada akhirnya perusahaan multinasional tidak akan menikmati pengurangan beban pajak yang diberikan melalui kedua skema insentif.

Apabila Pemerintah Indonesia tidak mengenakan pajak atas investasi perusahaan multinasional di Indonesia, maka keuntungan hasil investasi tersebut akan dikenakan di negara lain tempat domisili perusahaan multinasional. Secara tidak langsung, Pemerintah Indonesia justru memberikan subsidi pajak pada negara lain.

Pada akhirnya daya tarik insentif perpajakan dalam mendorong masuknya investasi pada era ini perlu dipertanyakan. Pemerintah Indonesia harus memilih apakah akan merelakan potensi penerimaan dan memberikan subsidi kepada negara lain, ataukah perlu untuk mengubah desain insentif agar tidak kehilangan potensi penerimaan tersebut.  

Pemerintah Perlu Kreatif

Untuk mengantisipasi hilangnya potensi penerimaan, Pemerintah perlu meninjau ulang aturan dan skema insentif perpajakan dalam negeri. Hal serupa dapat mulai dilakukan antara lain dengan mengubah skema pemberian fasilitas perpajakan yang ditawarkan dalam bentuk tax holiday maupun tax allowance.

Dalam skema tax holiday saat ini, perusahaan dimungkinkan untuk mendapatkan libur pajak hingga 100% (seratus persen) selama jangka waktu hingga 20 tahun. Sementara melalui tax allowance, perusahaan dimungkinkan untuk mendapatkan pengurangan beban pajak melalui penambahan pengurang penghasilan neto, perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian, pengenaan tarif pajak penghasilan dividen yang lebih rendah, dan percepatan amortisasi dan penyusutan. Melalui dua skema insentif saat ini, tarif pajak penghasilan efektif di Indonesia dimungkinkan untuk berada di bawah tarif 15%.

Agar penerimaan perpajakan tersebut tidak berpindah ke negara lain, maka Pemerintah perlu menata kembali desain kedua insentif baik melalui perubahan skema insentif maupun jangka waktu pemberian insentif. Perubahan skema insentif dilakukan agar keringanan atau penurunan beban pajak di Indonesia dapat menjadikan tarif pajak penghasilan efektif dalam negeri minimal setara dengan tarif minimum global. Dampaknya adalah Indonesia tidak perlu lagi memberikan tambahan penerimaan pajak kepada negara lain.

Sebagai kompensasi dari perubahan penurunan tarif tersebut, jangka waktu pemberian fasilitas dapat diperpanjang sehingga pada akhirnya investor akan tetap dapat menikmati tax saving yang setara. Diharapkan dengan adanya modifikasi kedua skema insentif, Indonesia tidak serta merta kehilangan potensi penerimaan perpajakannya saja tetapi juga masih memberikan daya tarik bagi investor.

Selain dari sisi perpajakan, Pemerintah juga harus lebih jeli dalam melihat kebutuhan investor. Perbaikan juga perlu dilakukan untuk aspek lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia antara lain terkait perizinan, penguasaan lahan, kepastian hukum, dan juga stabilitas ekonomi dan politik. Pada akhirnya, investor diharapkan akan tetap tertarik untuk datang di Indonesia di era penerapan Solusi Dua Pilar nantinya. *) Tulisan ini merupakan opini pribadi

BERITA TERKAIT

Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

  Oleh: Farhan Farisan,  Mahasiswa PTS di Bandung Swasembada pangan telah menjadi bentuk strategis nasional yang terus dihidupkan dalam setiap…

Langkah Tegas Berantas Judi Daring Berhasil Tekan Jumlah Deposit

    Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro   Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…

Pemerintah Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset

  Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik     Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Swasembada Pangan Bentuk Strategi Ketahanan Nasional

  Oleh: Farhan Farisan,  Mahasiswa PTS di Bandung Swasembada pangan telah menjadi bentuk strategis nasional yang terus dihidupkan dalam setiap…

Langkah Tegas Berantas Judi Daring Berhasil Tekan Jumlah Deposit

    Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro   Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…

Pemerintah Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset

  Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik     Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…