Konsumen yang Lebih Bertanggung Jawab Akan Ikut Mempromosikan Keadilan

NERACA

Cikarang - Pandemi Covid-19 membuat luluh lantak banyak sendi kehidupan. Sosial, budaya, ekonomi dan bisnis, serta masih banyak lagi. Meski begitu bak kotak Pandora, pandemi ini juga membuka banyak kesempatan. Di antaranya, pandemi dapat menjadi momentum guna mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi dan konsumsi secara sadar dan lebih bertanggung jawab, termasuk menerapkan konsep ekonomi sirkular. Pandemi juga dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengalihkan fokusnya dari ekonomi material ke ekonomi yang berbasis pada kekayaan intelektual dan teknologi. Di dunia, sejumlah negara yang mampu mengakumulasi kekayaan intelektual dan teknologinya ternyata dapat lebih menjamin kesejahteraan dan masa depan rakyatnya dibandingkan negara-negara yang masih berorientasi pada ekonomi material.

Demikian disampaikan Prof. Dr. Chairy dalam orasi pengukuhan guru besar bidang manajemen di President University, Sabtu (21/8). Chairy adalah guru besar ke-2 yang dikukuhkan oleh President University. Sebelumnya pada 26 April 2019, President University mengukuhkan Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, yang juga Rektor universitas tersebut, sebagai guru besar pertama. “Saya merasa bangga, karena hari ini kami kembali mengukuhkan seorang guru besar yang dilakukan oleh President University. Semoga pengukuhan Prof. Chairy ini menginspirasi dosen-dosen President University lainnya untuk segera menjadi guru besar,” kata Jony Haryanto dalam sambutannya.

Oleh karena masih dalam masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), acara pengukuhan Chairy sebagai guru besar dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan hanya dihadiri secara terbatas oleh beberapa tamu undangan. Di antaranya, Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, mantan Gubernur Lemhanas (2011-2016) yang kini menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Presiden, Chairman Grup Jababeka SD Darmono, jajaran direksi Jababeka dan beberapa perusahaan lainnya, sejumlah rektor perguruan tinggi, para guru besar dan tamu-tamu undangan lainnya. Sebagian besar tamu undangan lainnya hadir secara daring.

Dalam upacara pengukuhan tersebut, Chairy menyampaikan orasi ilmiahnya dengan topik Imagining the Post-Pandemic Era: The Roles of Conscious Consumption and Influencer Marketing in Fostering Circular Economy. Menurut Chairy, pandemi dapat menjadi momentum guna mendorong munculnya gerakan masyarakat untuk mengonsumsi secara sadar (conscious consumption). “Konsumen yang sadar melihat konsumsi sebagai tindakan sosial. Artinya, mereka tidak mengonsumsi secara berlebihan, melainkan dengan lebih bertanggung jawab,” papar Chairy.

Ada tiga ciri dari konsumsi sebagai tindakan sosial. Pertama, konsumen secara sadar melakukan konsumsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsanya. Ini, misalnya, diwujudkan konsumen dengan secara sadar lebih memilih produk lokal ketimbang produk impor.

Kedua, masyarakat yang sadar bahwa saat mengonsumsi mereka juga harus mengurangi berbagai masalah lingkungan. Contohnya, dengan tidak meninggalkan sisa atau limbah makanan yang berlebihan.

Ketiga, masyarakat sadar bahwa kegiatan konsumsinya memang ditujukan untuk mempromosikan keadilan dan mengurangi ketidakadilan. Ini bisa dilakukan dengan tidak membeli barang-barang yang diproduksi dengan upah yang menekan buruh atau mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Kata Chairy, tegas, “Jika masih ada konsumen yang mengonsumsi barang-barang yang diproduksi dengan upah murah atau mempekerjakan anak-anak, itu sama saja dengan mendukung adanya perbudakan modern.”

Pada bagian lain dari orasinya, Chairy juga menyinggung berkembangnya tren pemasaran baru, terutama di media sosial, yang mengandalkan peran para influencer atau buzzer. Fenomena ini terjadi bukan hanya dalam bidang bisnis, tetapi juga sosial dan politik. Banyak influencer, baik dari kalangan selebriti atau tokoh-tokoh berpengaruh, yang sengaja dibayar untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Para influencer ini, menurut Chairy, sesungguhnya dapat memainkan peran penting dalam mendorong masyarakat untuk mengonsumsi secara sadar. Sayangnya, tambah Chairy, dalam masyarakat yang semakin kapitalistik dan hedonistik, banyak influencer yang lebih memilih untuk  mengejar keuntungan materi dan mengabaikan peran mulia tersebut.

Dalam orasinya, Chairy juga mendorong peran masyarakat untuk ikut membina ekonomi sirkular demi masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. Di sini, yang dimaksud ekonomi sirkular adalah aktivitas ekonomi yang mencakup penggunaan kembali, perbaikan produk, daur ulang, desain produk yang ramah lingkungan, rantai pasok (supply chain) yang berkelanjutan, dan termasuk di dalamnya konsumsi yang lebih bertanggungjawab. “Jadi, gerakan mengonsumsi secara sadar sangat relevan dengan konsep ekonomi sirkular,” tandas Chairy.

Penerapan konsep ekonomi sirkular juga sangat tepat untuk menjawab tantangan global, seperti perubahan iklim, makin berkurangnya keanekaragaman hayati, efek rumah kaca serta terus meningkatnya limbah dan polusi. Sama seperti konsumen yang sadar, perusahaan yang sadar dan bertanggungjawab juga harus berperan dalam mengatasi permasalahan global dengan setidak-tidaknya melakukan tiga hal.

Pertama, pembelian bahan baku dan proses produksi. Apakah bahan baku diperoleh dari proses yang sustainable? Misalnya, jika bahan bakunya dari kayu, apakah setiap menebang satu pohon diimbangi dengan langkah penanaman kembali. Begitu juga ketika bahan baru diproduksi, apakah prosesnya menjamin kesehatan, keselamatan dan bahkan kesejahteraan karyawannya? “Saya yakin setiap keputusan bisnis yang diambil dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan keselamatan para pemangku kepentingan, itu merupakan keputusan yang terbaik,” tegas Chairy.

Kedua, masalah konsumsi. Perusahaan yang sadar dan bertanggung jawab harus mengedukasi konsumennya, termasuk melalui influencer, untuk tidak mengonsumsi secara berlebihan. Apalagi kalau kegiatan konsumsinya sampai menimbulkan limbah rumah tangga.

Ketiga, perusahaan secara sadar mengumpulkan dan mengolah limbah dari produknya yang dikonsumsi masyarakat. Untuk itu perusahaan perlu membangun sistem, sarana dan berbagai fasilitas untuk merealisasikan hal tersebut. Itu dilakukan sebuah perusahaan apparel dengan menyediakan fasilitas bagi konsumen untuk memperbaiki pakaian lama ketimbang membeli yang baru.

Kini, Indonesia dan dunia tengah dilanda pandemi. Melalui orasinya, Chairy mengajak masyarakat untuk membayangkan dunia pasca pandemi. Di garis depan, ada konsumen yang sadar sebagai kelompok penekan dan para influencer yang telah mengalami pencerahan, sehingga mau mempromosikan perbaikan untuk masyarakat. Apa yang kemudian terjadi?

Dari sisi bisnis, akan lebih banyak perusahaan, termasuk perusahaan rintisan (startup), yang bisnisnya mengusung konsep ekonomi sirkular. Mereka sadar bahwa pola bisnis yang lama hanya akan mengarah pada kehancuran masyarakat dan dirinya sendiri.

Bagaimana dengan konsumen? Akan semakin banyak konsumen yang sadar dan mau mengorbankan sebagian kenyamanannya agar dapat mengonsumsi secara lebih bertanggung jawab dan lebih etis. Konsumen ini, bersama-sama dengan para pakar dan influencer, akan menjadi kelompok penekan untuk memandu bisnis ke jalan yang lebih bertanggung jawab.

Dari sisi pemerintah diharapkan ada kebijakan dan regulasi yang mendukung kegiatan produksi dan konsumsi secara lebih bertanggung jawab. Pemerintah juga dapat memberdayakan influencer untuk mempromosikan gaya hidup yang sehat. Kata Chairy, “Pandemi Covid-19 telah mengingatkan kita tentang perlunya memproduksi dan mengonsumsi secara sadar dan lebih bertanggung jawab. Jadi, demi dunia yang lebih baik, meski pandemi berakhir, kita jangan pernah kembali ke gaya hidup lama.”

Perguruan tinggi, menurut Chairy, juga dapat memainkan peranannya dengan terus memberikan pencerahan dan menjadi “mercu suar” yang menjadi pemandu kegiatan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. “Sebagai bangsa timur, kita beruntung punya nenek moyang yang mengajarkan pentingnya menghormati alam; hutan, laut, gunung dan langit. Alam harus menjadi inti dari gaya hidup kita,” tegas Chairy. Ia kemudian menutup orasinya dengan menegaskan, “Hanya dengan cara memproduksi dan mengonsumsi secara bertanggung jawablah kita akan dapat mengamankan masa depan kolektif bangsa.”

Chairy lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 14 Februari 1966. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana Teknik Sipil di ISTN, Jakarta (1993), dan sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI) pada 1996. Gelar master (1998) dan doktor (2004) dalam bidang manajemen juga diperolehnya dari Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, UI. Pada 2009, Chairy sempat mengikuti Kauffman Global Visitor Program (Entrepreneurship Education Program), Kauffman Foundation di Kansas City, Amerika Serikat.

Sebelum menjadi dosen, Chairy sempat berkarier sebagai eksekutif profesional di sebuah perusahaan publik. Pada 2003, ia akhirnya memutuskan untuk memilih karier sebagai pendidik di Universitas Tarumanagara, Jakarta, sebelum akhirnya bergabung di President University tahun 2017.

Di Universitas Tarumanagara, Chairy pernah menduduki berbagai posisi penting, seperti Wakil Rektor dan bahkan Rektor. Sementara, di President University, Chairy pernah menjabat sebagai Wakil Rektor. Kini, sehari-hari Chairy menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Pendidikan Universitas Presiden dan sekali dosen Program Sarjana dan Pascasarjana, President University.

Chairy menikah dengan Prof. Dr. Liche Seniati, MSi. Pasangan tersebut dikaruniai dua putri dan satu putra.

President University, yang bernaung di bawah naungan Yayasan Pendidikan Universitas Presiden, merupakan universitas swasta yang memiliki mahasiswa asing terbesar di Indonesia. Kegiatan perkuliahan di President University sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Mahasiswa asing di President University berasal dari berbagai negara, seperti Afghanistan, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Korea Utara, Singapura, Papua Nugini, Timor Leste, Vietnam dan beberapa negara lainnya, President University juga telah bekerja sama dengan lebih dari 35 universitas internasional dari 20 negara di dunia.

President University merupakan satu-satunya universitas yang berada di tengah-tengah kawasan industri yang terintegrasi dan sekaligus terbesar di Asia Tenggara, yaitu di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Kawasan ini berisi lebih dari 1.750 perusahaan nasional dan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini menjadi sarana praktek kerja (magang) dan riset baik bagi mahasiswa maupun dosen-dosen di President University. Bukan hanya itu, banyaknya perusahaan di kawasan ini memungkinkan mahasiswa President University untuk melatih kemampuannya dalam berwirausaha.

Mohar/Iwan

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…