Menata Ulang Perpajakan Indonesia

 

Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, Staf KPP PMA Satu

 

Di tengah turunnya aktivitas ekonomi dan adanya penyesuaian atas tarif PPh Badan, APBN 2021 menjadikan PPN sebagai jenis pajak yang diandalkan mampu mengatasi amuk pandemi Covid-19. PPN diharapkan mampu menyentuh Rp518,55 triliun atau 35,9% dari total target pajak dalam negeri sebesar Rp1.444,54 triliun. Besarnya target penerimaan pajak disebabkan adanya pemberian insentif melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan nilai mencapai Rp699,43 triliun.

Sayangnya, kajian IMF menyebutkan C-Efficiency PPN Indonesia pada tahun 2018 hanya mencapai 63,58%, yang artinya Indonesia dapat mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya dipungut. Meski lebih baik dari Mexico (37,88%) dan Turki (46,96%), namun masih berada di bawah Afrika Selatan (70,24%), Argentina (83,71%).

Beberapa sebab ditengarai menjadi alasan rendahnya C-Efficiency PPN, antara lain adanya penyimpangan dalam penerapan konsep dasar PPN dalam bentuk pengecualian barang dan jasa sebagai objek PPN serta pemberian fasilitas seperti pembebasan PPN serta belum optimalnya pengawasan DJP.

Seperti disebutkan Hassan (2018), penyimpangan dari sistem PPN yang sesuai dengan konsep dasar dan praktik internasional dapat menimbulkan kerugian berupa hilangnya penerimaan PPN dan efisiensi.  Penyimpangan dari sistem PPN ini juga mengakibatkan peningkatan biaya kepatuhan bagi wajib pajak dan biaya penegakan hukum bagi otoritas pajak.

Pemerintah sejak 2016 dan direncanakan hingga 2024 tengah melakukan reformasi perpajakan jilid III. Secara komprehensif reformasi akan membenahi institusi perpajakan dari berbagai sisi. Terdapat 5 pilar yang direformasi, yakni organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis dan peraturan perundang-undangan.

Bebarapa capaian tercatat telah diraih. Salah satu capaian pada pilar teknologi informasi antara lain diluncurkannya aplikasi e-faktur 3.0. yang secara otomatis menyajikan prepopulated pajak masukan dan PIB. Adanya pembaharuan ini memudahkan wajib pajak mandapatkan haknya untuk mengkreditkan Pajak Masukan.

UU Nomor 2 tahun 2020 juga menjadi salah satu capaian lainnya. Dalam rilis yang disampaikan DJP disebutkan hingga  31 Mei 2021 PPN dari kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) mencapai Rp2,1 triliun.  Karenanya, kembali melalui RUU KUP pemerintah akan melakukan penataan.

Konsep Dasar PPN

PPN (Value Added Tax) pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang bersifat umum (general) dan dipungut beberapa kali (multiple stage levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Nilai tambah dimaksud tercermin pada selisih antara harga jual dan harga beli. Perbedaan sistem pemungutan mengakibatkan penerapan PPN tidak menimbulkan efek pajak atas pajak (cascading effect) seperti halnya Pajak Penjualan (PPn).

Baik PPn maupun PPN memiliki legal character, yakni bersifat umum (general),  netral, tidak langsung (indirect) dan atas dasar konsumsi (on consumption).

Bersifat umum (general) berarti pajak dikenakan pada semua pengeluaran baik untuk konsumsi barang maupun jasa. Sebagai konsekuensinya tidak boleh ada diskriminasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Terra (1988),”a sales tax is a general tax on consumption”. Pengenaan pajak secara umum juga dimaksudkan untuk mencegah adanya distorsi ekonomi. Pengenaan yang bersifat umum tersebut menjadi pembeda dengan cukai (excise tax) yang bersifat specific.  

PPN bersifat tidak langsung (indirect) karena tidak memperhatikan keadaan wajib pajak seperti jumlah penghasilan, namun hanya akan dipungut pajak kalau pada suatu ketika terdapat peristiwa atau perbuatan seperti penyerahan barang (R. Santoso Brotodihardjo, 1993).

Alasan lainnya PPN dikatakan bersifat tidak langsung karena antara pihak yang memikul beban pajak dan pihak yang bertanggung jawab untuk memungut serta menyetorkan pajak ke kas negara adalah dua pihak yang berbeda. Pemikul beban PPN adalah konsumen akhir atau pembeli (forward shifting),  sedangkan yang bertanggung jawab untuk memungut dan menyetorkan PPN ke kas negara adalah penjual atau pihak yang menyerahkan barang dan/atau jasa.

PPN memiliki sifat netral yang berarti dapat menjamin bahwa atas barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam negeri akan menapatkan perlakuan dan menanggung beban pajak yang sama tanpa memperhatikan seberapa panjang proses produksi dan distribusi yang dilalui. Untuk memastikan beban pajak ditanggung oleh konsumen akhir dan bukan oleh produsen, PPN menerapkan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.  

Konsep Dasar PPN

Menilik UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, tercatat tidak kurang dari 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa yang tidak dikenakan pajak. Sementara itu terdapat dua jenis fasilitas, yaitu PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut.

Berbeda dengan fasilitas PPN tidak dipungut, adanya fasilitas PPN dibebaskan dan adanya barang atau jasa yang dikecualikan sebagai objek PPN memiliki konsekuensi Pajak Masukan yang melekat dalam proses produksi barang-barang tersebut tidak dapat dikreditkan.  

Sebagai akibatnya terjadi distorsi ekonomi yang disebabkan karena adanya tax incidence.  Pada beberapa kasus harga jual kepada konsumen atas barang (produk akhir) yang dihasilkan dari bahan baku yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan ataupun bukan objek PPN justru menjadikannya lebih tinggi dibanding barang sejenis yang berasal dari impor.   

Pada kasus lain akibat tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan, PPN akan dilimpahkan ke belakang kepada faktor-faktor produksi dari produsen (backward shifting). Bila ini terjadi maka bisa dikatakan PPN menjadi tidak bersifat netral lagi.

Jika menilik pada UU PPN yang memuat jenis barang dan jasa yang dikecualikan sebagai objek PPN, sejatinya telah terjadi diskriminasi dan mencederai konsep dasar PPN itu sendiri. Konsep dasar yang dimaksud yakni umum (general).

Padahal menurut Terra (2018), penerapan pajak yang bersifat umum (general) sejalan dengan prinsip “equality” sebagaimana dikemukakan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into The Nature and Causes of the Wealth of Nation. Orang yang mempunyai kemampuan lebih akan menanggung pajak yang lebih (equal is treated equally) dan orang yang mengkonsumsi sedikit akan menanggung beban pajak yang sebanding dengan kemampuannya (the unequal is proportion).

Pendapat Terra  dan Hassan juga diamini oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 70 P/HUM/2013. Terdapat dua poin penting pendapat Majelis dalam putusan tersebut yang patut digarisbawahi. Pertama, barang hasil pertanian sebagai barang strategis menyebabkan terjadinya cascading effect (pajak berganda) di tingkat pengusaha CPO, karena PPN Masukan untuk menghasilkan kelapa sawit tidak dapat dikreditkan, sehingga harus dimasukkan dalam komponen harga pokok penjualan/ekspor CPO. Dengan demikian, terjadi pelemahan daya saing dari Pengusaha CPO, antara lain karena dalam harga ekspornya tidak steril dari PPN Masukan.

Kedua, untuk menghindari pajak berganda disikapi dalam Metode Pengkreditan Pajak Masukan yang merupakan refleksi dari karakteristik PPN sebagai pajak untuk konsumsi. Dampak positifnya PKP yang melakukan penyerahan BKP dan JKP tidak perlu memikul beban pajak dalam menghitung PPN yang harus disetor ke Kas Negara. Hal ini mengingat UU PPN Indonesia menggunakan metode pengurang secara tidak langsung (indirect substraction method).

Dari RUU KUP yang beredar luas serta penjelasan pemerintah jelas bahwa konsep penataan kembali PPN di Indonesia tidak semata dimaksudkan untuk menggenjot penerimaan semata dan menghilangkan distorsi ekonomi.

Melalui rancangan tersebut pemerintah mengakui tetap mengedepankan rasa keadilan dan keberpihakan pada masyarakat kecil dengan menerapkan konsep ability to pay (kemampuan membayar) masyarakat. Antara lain dengan pengenaan PPN sembako yang hanya ditujukan bagi sembako premium. PPN jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan dan dinikmati orang banyak pun tetap tidak dikenakan PPN. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Undangan Presiden ke Rusia Bukti Posisi Strategis RI di Mata Dunia

    Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional   Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…

Program Listrik Desa Bentuk Keadilan Distribusi Energi

  Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi     Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…

TREN MASA KINI DAN JERATAN UTANG: - Maraknya Gaya Hidup Flexing dan Konsumerisme Digital

       Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta Dalam era media sosial dan digital saat…

BERITA LAINNYA DI Opini

Undangan Presiden ke Rusia Bukti Posisi Strategis RI di Mata Dunia

    Oleh : Ricky Rinaldi, Pengamat Hubungan Internasional   Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Rusia atas…

Program Listrik Desa Bentuk Keadilan Distribusi Energi

  Oleh: Aurellia Syahputri, Pemerhati Energi     Program Listrik Desa (Lisdes) yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan…

TREN MASA KINI DAN JERATAN UTANG: - Maraknya Gaya Hidup Flexing dan Konsumerisme Digital

       Oleh : Diana Triwardhani, PhD., Dosen FEB UPN Veteran Jakarta Dalam era media sosial dan digital saat…