Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Perjumpaan saya dengannya sepenuhnya dilakukan melalui perantaraan sebuah medium. Kalau tidak dengan Whatsapp, ya dengan Messenger. Seringnya sih kami saling menyapa lewat aplikasi Whatsapp. Belum pernah sekali pun saya bertatap muka langsung dengannya. Jadi, kurang tepat sebenarnya saya menggunakan kata perjumpaan di muka. Tak apalah. Sekarang lagi masanya makna kata tidak lagi seajeg sediakala jika tidak mau disebut dijungkirbalikan.
Awal kontak saya dengan Imam Syafi’i terjadi ketika saya tengah menyelesaikan artikel tentang kondisi penempatan pelaut di atas kapal domestik setahun lalu. Kala itu dia tengah membela beberapa pelaut yang terpilin mesin hukum karena dianggap melakukan penggelapan oleh pemilik tug boat tempat mereka bekerja. Kasus ini sendiri bermula ketika kapten kapal tersebut meminta perusahaan membayar upah sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Laut/PKL. Di samping itu, mereka juga meminta penjelasan terkait uang premi yang belum dilunasi oleh perusahaan.
Karena perundingan yang digelar berkali-kali untuk menyelesaikan perselisihan yang ada antara pelaut dan perusahaan dengan melibatkan pihak terkait belum mencapai titik temu, ABK memutuskan untuk tetap bertahan di atas kapal. Sayangya, pihak pelayaran menganggap langkah ini sebagai upaya untuk menguasai aset perusahaan. Di sinilah tuduhan penggelapan tadi disodokan kepada kru kapal yang dibela Imam dan rekan-rekannya yang tergabung di dalam Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI). Para pelaut yang jadi terdakwa diputus bebas oleh pengadilan. Kabarnya, perusahaan tengah mengajukan banding terhadap putusan itu.
Imam memang mengisi hari-harinya dengan kegiatan pembelaan dan advokasi untuk pelaut Indonesia. Ia menilai para pelaut dalam negeri belum diperlakukan dengan layak oleh pemerintah dan pengusaha pelayaran. Salah satunya adalah ketiadaan standar gaji/upah pokok untuk pelaut lokal hingga saat ini. Selain itu, pelaut dalam negeri acap di-PHK semena-mena oleh pelayaran tempat mereka bekerja tanpa diberi pesangon sesuai aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Dengan pemahaman hukum ketenagakerjaan yang diperolehnya secara otodidak ditambah dengan pelatihan-pelatihan bidang hukum yang diikutinya, pria bertubuh gempal itu berhasil memaksa perusahaan membayar pesangon kepada pelaut yang mereka PHK. Hampir semua kasus yang ditanganinya berhasil dimenangkan. Imam Syafi’i adalah pahlawan bagi sejawatnya yang dirundung masalah.
Kini, lelaki yang pernah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan di atas kapal ikan asing tanpa gaji sama sekali itu tengah tak sadar akibat kecelakaan motor yang menimpanya di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Istri dan putri kecilnya yang ikut berkendara dengannya dalam kejadian nahas itu juga masih dirawat di sebuah RS di kota udang tersebut. Teman-temannya di PPI serentak memanjatkan doa melalui media sosial agar dia tidak apa-apa dan bisa segera pulih.
Di sudut ruang sempit tempatku menulis, kupanjatkan doa yang sama untukmu, kawan..
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Defisit APBN dan beban pembayaran cicilan hutang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Ketika IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Defisit APBN dan beban pembayaran cicilan hutang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Ketika IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…