Ekonomi Tak Kokoh Digerogoti Pemburu Rente

Oleh: Sarwani

Ekonomi nasional yang berdaulat, mandiri, dan kuat tak kunjung terwujud meski Indonesia sudah 74 tahun merdeka. Bangsa lain yang seumuran merdekanya dengan Indonesia sudah lebih mandiri dalam ekonomi dan tidak begitu bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain.

Struktur ekonomi Indonesia tidak sehat untuk bisa menopang keberlanjutan pembangunan dan mudah dipengaruhi oleh kebijakan negara lain. Defisit neraca perdagangan yang dialami Indonesia sudah cukup memberikan tanda bahwa ada yang salah dalam desain ekonomi.

Nilai tukar rupiah yang bergejolak dan mudah dipengaruhi kebijakan negara lain menandakan ketergantungan Indonesia yang besar terhadap dana asing yang bebas keluar masuk. Indonesia tidak memiliki cadangan devisa dan simpanan yang cukup untuk mendanai pembangunan.

Indonesia bukannya tidak membangun ekonomi. Program pembangunan disusun secara bertahap mulai dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I – V. Meski rezim berganti, rencana pembangunan tetap disusun, hanya ganti nama dengan macam-macam sebutan. Ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 20 tahun atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode pembangunan yang lebih pendek, 5 tahun.

Ditambah lagi dengan kebijakan yang sifatnya ad hoc untuk pengembangan sektor atau fungsi ekonomi tertentu melalui paket kebijakan ekonomi. Selama periode Presiden Joko Widodo sudah 16 paket kebijakan yang ditelorkan. Jika digabung dengan paket kebijakan ekonomi presiden sebelumnya, kiranya dibutuhkan space besar untuk menyimpan dokumennya.

Hasil pembangunan terlihat di mana-mana, tetapi seharusnya lebih banyak lagi yang bisa dicapai dengan sumber daya yang dimiliki dan bantuan utang yang diterima. Indonesia seharusnya sudah mempunyai infrastruktur luas, industri strategis, manufaktur berbasis sumber daya lokal dan berorientasi ekspor, agrobisnis, migas, dan ekonomi kerakyatan dan koperasi yang mapan.

Upaya membangun pilar-pilar ekonomi yang kokoh, yang menyejahterakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan itu digembosi oleh kepentingan jangka pendek individu atau kelompok tertentu. Banyak kepentingan bermain di dalamnya, salahnya satunya adalah para pemburu rente yang mendistorsi realisasi rencana pembangunan, mempengaruhi arah kebijakan agar memberikan keuntungan kepada mereka.

Sektor-sektor yang tidak memberikan rente dibiarkan berjalan mengikuti ‘mekanisme pasar’, dilepas ke pasar bebas, tidak diberikan insentif, dan berdarah-darah bersaing dengan kompetitor dari luar negeri.

Sebaliknya, sektor yang menjanjikan rente tinggi dikelola secara rapi, didukung dengan kebijakan dan anggaran, dimudahkan pelaksanaannya, diberikan fasilitas, dan diperkuat dengan argumentasi yang seolah-olah sahih secara ekonomi dan demi kepentingan rakyat.

Kita menyaksikan selama bertahun-tahun impor migas deras mengalir ke Tanah Air. Bagi para pemburu rente, kebijakan ini sangat menguntungkan dan sebisa mungkin dipertahankan ketimbang membangun kilang minyak di dalam negeri. Akibatnya, biaya impor BBM semakin membengkak, membuat neraca perdagangan menjadi defisit.

Impor beras sebelas duabelas. Dengan alasan menjaga stabilitas harga, kran impor dibuka dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung 2 juta ton pada saat panen raya terjadi. Petani menjerit tapi apa daya mereka hanya bisa pasrah gabahnya dihargai murah. Alangkah eloknya jika anggaran itu dialihkan untuk subsidi pupuk atau membangun irigasi agar para petani semakin makmur.

Begitu juga dengan impor sapi. Kuota diatur untuk kelompok pengusaha tertentu yang dekat dengan elite penguasa. Kebijakan impor dilestarikan ketimbang membangun peternakan nasional, mendirikan pusat pembibitan sapi, dan mengembangkan produk turunan susu.

Di BUMN-BUMN para pemburu rente mencari margin dari pengadaan barang dan jasa. Pada masa Orde Baru, maskapai penerbangan negara diharuskan membeli pesawat melalui agen. Akibatnya, BUMN tersebut harus menanggung kredit mahal bertahun-tahun, menggerogoti keuangan korporasi dan menghabiskan anggaran negara melalui penempatan modal. Bahkan petinggi perusahaan ikut bermain mata dengan pemasok mesin pesawat untuk mendapatkan komisi.

Para pemburu rente tidak akan tinggal diam, mereka terus mencari cara agar bisa mendapatkan margin. Senjata untuk menangkiskanya adalah akal sehat, apakah kebijakan yang diambil menguntungkan atau merugikan negara. Dibutuhkan kesadaran moral para elite. Rakyatlah yang harus disejahterakan, bukan keluarga atau kelompoknya. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Sejumlah Tokoh Bangsa Apresiasi Putusan MK

  Oleh : Davina G, Pegiat Masalah Kebangsaan   Keabsahan kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan…

Tokoh Agama Berperan Penting Cegah Radikalisme di Masyarakat

    Oleh: Zahid Umar, Sosiolog     Radikalisme telah menjadi tantangan serius dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Di…

Jaga Persatuan, Mayday 2024 Berlangsung Kondusif

  Oleh : Rizky Pratama, Pemerhati Ketenagakerjaan   Mayday 2024 adalah momen penting bagi bangsa Indonesia. Setelah perhelatan Pemilihan Umum…

BERITA LAINNYA DI Opini

Sejumlah Tokoh Bangsa Apresiasi Putusan MK

  Oleh : Davina G, Pegiat Masalah Kebangsaan   Keabsahan kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan…

Tokoh Agama Berperan Penting Cegah Radikalisme di Masyarakat

    Oleh: Zahid Umar, Sosiolog     Radikalisme telah menjadi tantangan serius dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Di…

Jaga Persatuan, Mayday 2024 Berlangsung Kondusif

  Oleh : Rizky Pratama, Pemerhati Ketenagakerjaan   Mayday 2024 adalah momen penting bagi bangsa Indonesia. Setelah perhelatan Pemilihan Umum…