HASIL TEMUAN PEMERIKSAAN BPK SEMESTER II-2017 - Tarif Tol Belum Sesuai Daya Beli Masyarakat

Jakarta-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut masih menemukan sejumlah permasalahan dalam kebijakan penetapan tarif dan pengelolaan operasional jalan tol yang dijalankan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

NERACA

Berdasarkan ikhtisar laporan hasil pemeriksaan semester (IHPS) II-2017 yang diterima media pekan lalu, BPK mengungkapkan sedikitnya delapan masalah pengelolaan operasional yang berkaitan dengan kelancaran lalu lintas dan kebijakan tarif tol ini masih belum efektif dalam aspek perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi.

Pertama, kenaikan tarif tol saat ini belum mempertimbangkan pemenuhan pelayanan atas kelancaran lalu lintas yang seharusnya didapat masyarakat. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa beberapa ruas jalan tol tidak memenuhi indikator kecepatan tempuh minimal rata-rata sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yaitu kurang dari 40 km/ jam. Selain itu, aksesibilitas berupa panjang antrean pada gerbang tol juga melebihi 10 kendaraan.

Kenaikan tarif tol yang sesuai inflasi juga dinilai BPK belum sesuai dengan kondisi daya beli masyarakat. Menurut BPK, tingkat kenaikan tarif tol sesuai dengan inflasi seharusnya memiliki jarak yang tak jauh dengan daya beli masyarakat.

Menurut data BPS, selama tiga tahun terakhir (2013-2016) daya beli masyarakat meningkat, tetapi sangat kecil. Pertumbuhan daya beli tersebut berkisar antara 4,9%-5,3%, lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Akibatnya, penggunaan jalan tol belum menikmati peningkatan pelayanan atas kelancaran lalu lintas dikaitkan dengan kenaikan tarif tol yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena BPJT belum memerhatikan penuh pelayanan kelancaran lalu lintas dalam menyesuaikan tarif," menurut laporan BPK.

Selain itu, BPK juga menilai perhitungan inflasi wilayah sejatinya belum memiliki ketentuan. Misalnya, sebuah tol melewati tiga kota, lantas takaran inflasi kota mana yang seharusnya digunakan untuk mengatur tingkat kenaikan tarif tol ke depan.

Kedua, BPJT belum melakukan penyesuaian tarif dan masa konsesi berdasarkan perubahan golongan kendaraan pengguna jalan tol. Seperti diketahui bahwa sebelum tahun 2007, ada lima golongan kendaraan dan tarif, yaitu golongan I, golongan I umum, golongan II A, golongan II A umum, dan golongan II B.

Sedangkan setelah 2007, diubah menjadi golongan 1, golongan 2, golongan 3, golongan 4, dan golongan 5. Hingga kini, penyesuaiannya belum dilakukan. Namun, Kementerian PUPR sudah berencana kembali mengubah golongan kendaraan di jalan tol menjadi tiga golongan saja, di mana golongan 4 dan 5 akan melebur ke golongan 3.

Ketiga, dari sisi operasional jalan tol, menurut BPK, jalan tol seharusnya merupakan akses jalan bebas hambatan, termasuk kemacetan. Namun nyatanya, BPK menemukan sejumlah ruas tol masih dilanda kemacetan pada pagi dan sore hari.

"Misalnya, Tol Jakarta-Tangerang, Cawang-Tomang-Pluit, Jakarta Outer Ring Road (JORR), Jagorawi, Jakarta-Cikampek dan Ir. Wiyoto Wiyono (Cawang-Tanjung Priuk-Pluit)," menurut data BPK tersebut.

Keempat, standar kecepatan tempuh rata-rata pada standar pelayanan minimal jalan tol belum sejalan dengan ukuran tingkat pelayanan bagi jalan tol yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.

Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kementerian PUPR, dikatakan bahwa kecepatan tempuh rata-rata jalan tol sekitar 40-60 kilometer/jam. Sedangkan Peraturan Menteri Perhubungan menyebutkan minimal 70 km/jam. Artinya, belum ada standar yang jelas dari pemerintah.

Kelima, kewajiban pelebaran jalan pada ruas tol tertentu belum dilakukan. Padahal, kewajiban itu diatur dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), khususnya pada Rencana Bisnis (Bisnis Plan) pengusahaan jalan tol yang merupakan dasar perhitungan pemberian masa konsesi.

Temuan BPK menyatakan bahwa pelebaran jalan belum dilakukan. "Misalnya pada ruas jalan tol Jakarta-Tangerang (Segmen Toman-Kembangan) dan ruas jalan Tol Jagorawi (Segmen Bogor-Ciawi), meskipun telah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam PPJT."

Keenam, transaksi pembayaran elektronik di beberapa gerbang tol belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi panjangnya antrean kendaraan di gerbang tol. Hasil temuan BPK menyebutkan bahwa antrean panjang masih terjadi, pengendara masih ada yang tidak menggunakan kartu elektronik, pengisian saldo kartu elektronik menghambat di gerbang tol, dan lainnya.

BPK menilai, hal ini lantaran pengalihan transaksi pembayaran dari tunai ke nontunai belum memperhitungkan kapasitas jalan di pintu keluar akhir. Kondisi ini terjadi di pintu keluar tol Pejagan, Brebes Barat, dan Brebes Timur.

Ketujuh, minimnya rekayasa lalu lintas dalam mewujudkan kelancaran lalu lintas, khususnya pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada arus mudik Lebaran, Natal, dan libur panjang akhir pekan (long weekend).

Kedelapan, pemantauan dan evaluasi BPJT terhadap Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) belum optimal. Hal in terlihat dari masih belum adanya sejumlah kewajiban BUJT yang belum dijalankan, namun lepas dari kontrol BPJT.

BPK mencontohkan, kewajiban tersebut yakni ketepatan pelaksanaan SPM, evaluasi rencana pelaksanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan yang disusun BUJT, hingga kewajiban pelebaran oleh BUJT sesuai dengan PPJT.

Terhadap hasil temuan tersebut, BPK memberi rekomendasi kepada BPJT Kementerian PUPR untuk menyempurnakan aturan yang dibuatnya, mulai dari sisi perencanaan, pengoperasian, hingga evaluasi kebijakan tarif maupun pengoperasian jalan tol.

Kasus Impor Garam

Pada bagian lain, BPK meminta pemerintah untuk membenahi data terkait kebutuhan riil dan pasokan dalam negeri ihwal garam industri. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesalahpahaman antar instansi mengenai rekomendasi impor yang seharusnya diberikan untuk garam industri.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djajanegara menuturkan, hal ini merupakan paling krusial yang perlu dibenahi, alih-alih menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang peralihan rekomendasi impor garam industri. Jika sistem dan data tidak dibenahi, selamanya antarkementerian akan saling tunjuk-menunjuk.

"Kami memang tidak membicarakan PP secara spesifik, tapi yang penting sistemnya ini harus dibenahin. Ini jadinya saling salah menyalahkan, dan itu yang kami sampaikan ke Presiden Joko Widodo. Presiden memahami hal tersebut," ujarnya di Istana Kepresidenan, pekan lalu.

Tidak hanya soal garam, sebelas temuan BPK terkait impor bahan pangan antara 2015 hingga 2017 juga berakar dari masalah data. Menurut dia, pembenahan bisa dimulai dari Kementerian Perdagangan dengan membenahi sistem di Inatrade dulu, yang notabene adalah pengajuan sistem perizinan ekspor-impor secara daring.

"Dengan Inatrade semua data dimasukkan dulu, nanti akan ketahuan kebutuhannya berapa. Saat ini, Inatrade tidak nge-link dengan data di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Nah, kami minta supaya nge-link saja. Kalau sudah beli dengan perintah impor itu akan ada pemberitahuan, kalau tidak ya sudah tidak bisa impor gitu," jelasnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tidak berkomentar lebih jauh mengenai hal itu. Ia hanya mengatakan, siap untuk membenahi sistem tersebut. "Tentu kami akan segera benahi sistemnya," ujarnya seperti dikutip laman CNNIndonesia.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 untuk mengembalikan kewenangan rekomendasi impor garam industri yang sebelumnya berada di KKP kepada Kemenperin. Adapun, rekomendasi garam industri oleh KKP dimulai sejak 1 April 2016 setelah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa komoditas pergaraman harus mendapat restu dari KKP.

Langkah ini diharapkan bisa mengakomodasi kebutuhan industri akan garam setelah selama ini impor garam industri terhambat perdebatan ihwal besaran kebutuhan impor antara Kemenperin dan KKP. Kemenperin mengatakan kebutuhan garam industri tercatat 3,7 juta ton. Sementara, rekomendasi KKP akan garam industri terbilang 1,8 juta ton saja.

Kemenperin mengatakan kebutuhan garam industri itu akan disalurkan kepada industri Chlor Alkali Plant (CAP) dalam memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2,48 juta ton. Selain itu, bahan baku garam juga didistribusikan kepada industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton dan industri aneka pangan sebesar 535 ribu ton.

Sisanya, kebutuhan bahan baku garam sebanyak 740 ribu ton untuk sejumlah industri, seperti industri pengasinan ikan, industri penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri tekstil dan resin, industri pengeboran minyak, serta industri sabun dan deterjen. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…