Jaga Kredibilitas Rupiah

 

 

Kondisi nilai tukar (kurs) rupiah yang menembus kisaran Rp 12.300 per US$, merupakan sebuah level yang tidak lagi mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Apalagi ada empat status defisit yang menghantui ekonomi nasional: defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan dan defisit APBN.  

 

Walau dalam APBN 2014 kurs rupiah dipatok di kisaran Rp 10.500-Rp 11.000 per US$, pemerintah bersama otoritas moneter, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pelaku usaha, dan masyarakat, perlu sepakat menjaga kredibilitas rupiah agar kembali ke tingkat yang wajar.

 

Kita menyadari saat ini ekonomi Indonesia lagi persoalan mendasar tersebut perlu penanganan yang komprehensif. Defisit APBN yang merupakan cermin keseimbangan primer merupakan total penerimaan negara dikurangi belanja tanpa menghitung pembayaran utang.

Pembayaran bunga dan cicilan utang tampaknya tak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, melainkan oleh pinjaman baru. Dalam konteks ini pemerintah terkesan membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan terjebak pada pola "gali lubang, tutup lubang". Ironis memang.

Sedangkan defisit neraca perdagangan yang membesar disebabkan struktur ekonomi nasional yang rapuh. Kekuatan permintaan yang besar tidak diimbangi oleh pasokan, sehingga impor lebih deras dari ekspor. Indonesia lemah dalam produksi dan biaya logistik di negeri yang tergolong paling mahal di dunia. Ekspor didominasi ekspor produk primer, yakni hasil sumber daya alam yang belum diolah.

Repotnya lagi, defisit neraca jasa sudah lama terjadi karena minimnya perusahaan perkapalan dan reasuransi. Angkutan laut hampir semuanya dikuasai asing. Klaim asuransi kerugian dalam nilai besar hanya bisa ditutup reasuransi luar negeri. Saat neraca perdagangan mulai defisit pada 2011, defisit neraca current account juga makin menganga.

Defisit neraca perdagangan pada hakikatnya dapat ditekan jika pemerintah mampu mengerem konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dengan penjatahan, diversifikasi energi atau mengurangi lagi subsidi BBM. Namun, di tengah merosotnya ekspor karena krisis global, pemerintah justru membiarkan defisit neraca migas membengkak kian menjadi US$ 5,57 miliar akibat lonjakan impor BBM. Defisit migas memakan surplus neraca nonmigas yang masih mencapai US$ 3,91 miliar. Defisit migas akhirnya menembus US$ 11,83 miliar pada 2013, dan membuat total defisit perdagangan melebar menjadi US$ 5,6 miliar.

Rupiah seharusnya dapat membaik asalkan kondisi ekonomi dalam negeri terus menerus diperbaiki. Apalagi Amerika Serikat menunda lagi pengurangan stimulus ( tapering off)-nya  yang setidaknya memberikan peluang bagi pemerintah Indonesia fokus membenahi struktur infrastruktur, masalah kepastian hukum, dan politik dalam negeri khususnya jelang Pilpres tahun ini. Semoga!

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…