Antisipasi Fluktuasi Kurs Rupiah

Kebijakan Bank Indonesia kembali menaikkan sukubunga acuan 50 basis poin menjadi 5,25% ternyata belum mampu mengendalikan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hingga akhir pekan lalu kurs rupiah terus terdepresiasi, bahkan pernah mencapai level Rp 14.400 meski kemudian menguat lagi. Karena itu, kita tentu mengkhawatirkan batas psikologis bertambah dekat yang bisa menimbulkan ketidakpercayaan di masyarakat kian masif.

Sebelumnya, BI juga melakukan intervensi ke pasar uang, namun hasilnya tidak seperti diharapkan semula. Tinggal pemerintah yang belum menunjukkan kinerjanya  dengan baik untuk mendorong ekspor agar neraca perdagangannya tidak terus defisit, selain menjaga kepercayaan investor asing agar tetap menempatkan dananya di dalam negeri.

Data terakhir BI memang tidak menggembirakan. Gejolak kurs rupiah telah menyedot cadangan devisa (cadev) yang terus merosot dalam beberapa  bulan terakhir. BI baru saja mengumumkan posisi cadev hingga akhir Juni lalu turun US$ 3,1 miliar dari bulan sebelumnya, menjadi US$ 119,8 miliar.

Angka penurunan tersebut semakin besar dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pada Mei lalu penurunannya US$ 2 miliar dari posisi akhir April. Artinya, jumlah cadev yang digunakan BI untuk intervensi pasar dalam upaya mengamankan kurs rupiah lebih besar dari sebelumnya.

Kondisi terlihat makin sulit karena kinerja perekonomian yang belum membaik. Kita bisa melihatnya antara lain dari neraca perdagangan yang tetap defisit dan terjadi terus membesar.  Selama lima bulan pertama tahun ini (Januari-Mei) defisitnya sudah sebanyak US$2,8 miliar.

Belum lagi munculnya tekanan internasional yang membuatnya semakin kurang kondusif, terlihat kecenderungan investor asing menarik dana-dananya dibawa keluar. Lihat saja data Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak Januari hingga pekan ini nilai jual bersih (net sell) investor asing sudah mencapai Rp 50 triliun lebih.

Kiranya dapat dipahami bahwa cadangan devisa kita makin tergerus. Apalagi kebutuhan pemerintah sendiri untuk membayar kewajiban bunga dan cicilan utang luar negeri juga terus meningkat. Jumlah yang tersisa sekarang memang masih terbilang aman dilihat dari standar kebutuhan kecukupan tiga bulan impor, namun penurunan yang berlanjut tentu merupakan indikator yang mengkhawatirkan.

Kita bisa memperhitungkan beberapa kemungkinan yang mengkhawatirkan sebagai dampak kondisi saat ini. Pertama, aliran modal asing yang keluar (capital outflow) bisa semakin besar. Kedua, beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar sehingga menimbulkan risiko gagal bayar.

Ketiga, penguatan kurs dollar akan sangat merisaukan, karena kita net importer minyak. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bisa memicu kenaikan harga barang di dalam negeri. Keempat, dampak lebih lanjutnya adalah ancaman kenaikan harga barang mengingat porsi bahan baku impor juga sangat besar. 

Kita tahu bahwa beberapa jenis barang konsumsi kita masih diimpor, seperti gandum, beras, gula, kedelai dan aneka jenis lainnya. Kenaikan kurs US$ yang berlanjut akan menyebabkan harga barang terkerek naik sehingga menimbulkan beban berat konsumen.

Sejumlah pengamat ekonomi menyatakan angka psikologis yang menuntut kewaspadaan sangat tinggi bila penurunan kurs rupiah menyentuh Rp 14.800. Angka tersebut tak mustahil tertembus bila tidak ada langkah terobosan dalam meredam gejolak kurs. Kita jangan menipu diri dengan mengatakan keadaan akan baik-baik saja karena keadaan buruk bisa terjadi secara mendadak bila secara psikologis pemilik dana tidak lagi mempercayai nilai rupiah.

Tentunya hal ini semakin penting bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga agar tidak menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Kita mengharapkan pemerintah bersama BI lebih fokus dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan pasokan barang kebutuhan pokok. Dampaknya bisa sangat besar bila pemerintah tidak cermat mengamati dan mengelola perkembangan harga di lapangan, apalagi yang menyangkut kepentingan dan kebutuhan pokok masyarakat luas.

Bagaimanapun, kita tidak bisa hanya mengandalkan BI untuk terus menerus melakukan “rekayasa” arus moneter menghadapi tekanan dari internal maupun eksternal yang berimbas pada penurunan nilai tukar rupiah lebih dalam. Adalah perlunya meningkatkan peran sektor riil bagaimana meningkatkan ekspor secara signifikan, dan mempertimbangkan kebijakan perpajakan agar pengusaha setidaknya dapat “bernafas” untuk membantu gairah kehidupan ekonomi Indonesia ke depan. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…