Korupsi Trias Politika

Oleh: Zainal C Airlangga

Ribuan tahun lalu, di Athena, Yunani, para pemikir genius di muka bumi sudah mengembangkan sistem kehidupan bernegara yang kemudian dikenal dengan istilah trias politika. Caranya, membagi kekuasaan pada tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya mulia, memisahkan kekuasaan dalam tiga poros utama agar tercipta keseimbangan, saling kontrol, dan menghindari tirani.

Konsep itu kemudian disempurnakan oleh pemikir Eropa di abad ke-17 dan ke-18. John Locke dalam bukunya Two Treaties of Government “membagi” kekuasaan ke dalam trias politika: legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan federatif (pemangku hubungan diplomatik dengan negara lain).

Sedangkan Montesquieu yang bernama lengkap Charles-Louis de Secondat Baron de La Brède et de Montesquieu, lewat karyanya L’esprit des Lois “memisahkan” kekuasaan ke dalam trias politika: legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), yudikatif (mengawasi undang-undang). Montesquieu tak memasukkan federatif ala John Lock ke dalam teorinya, sebab menurutnya pemangku hubungan diplomasi dengan negara luar adalah bagian dari kerja eksekutif.

Itulah intisari dari demokrasi yang dianut mayoritas negara di dunia saat ini. Negara kita Indonesia, turut pula menganut sistem itu. Pelembagaan eksekutif diwujudkan dalam postur pemerintahan mulai dari presiden, menteri, hingga para kepala daerah. Kemudian, ada lembaga legislatif yang diterjemahkan lewat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan yudikatif dilembagakan ke dalam Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mereka, para pemangku trias politika itu, adalah para penjaga marwah dan keseimbangan bernegara.

Namun apa lacur, sejarah trias politika di negeri ini diwarnai saling tikam dan pelanggaran atas dirinya. Di era Orde Lama dan Orde Baru, sejarah mencatat tirani eksekutif mengebiri peran yudikatif dan legislatif. Bahkan di masa Soekarno, pihak eksekutif amat digdaya membentuk dan membubarkan lembaga legislatif.

Di era reformasi sekarang ini, pelembagaan dan distribusi kekuasaan lebih merata. Namun, rupanya tak menjamin kelangsungan bernegara ini ajek dan bebas penyimpangan. Pemerataan kekuasaan justru setali tiga uang dengan pemerataan tindakan korupsi. Akhirya, trias politika, meminjam istilah pakar hukum Todung Mulya Lubis, bergeser maknanya menjadi trias koruptika.

Trias Koruptika

Kasus Setya Novanto adalah satu contoh benderang dari sekian banyak riwayat perilaku lancung para wakil rakyat di lembaga legislatif. Inilah kali pertama benteng lembaga tinggi negara bernama DPR ambruk, bruk… bruk… , seambruk-ambruknya. Ironisnya, yang merobohkannya justru sang ketuanya sendiri.

Tak berhenti di situ, penetapan tersangka Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam skandal korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun, diwarnai drama memalukan: berkali-kali mangkir, buron, kecelakaan mobil, dan perawatan di rumah sakit. Semua berujung pada olok-olok publik.

Pun begitu, rasa malu dan sikap etis tak ditunjukkan Novanto: ia menulis surat dari sel tahanan antirasuah yang isinya menolak berhenti dari ketua DPR dan ketua umum partai Golkar. Alih-alih menginsyafi beban mahaberat yang ditanggung parlemen dan partai beringin akibat dari kasus hukum yang membelitnya, ia justru menyerang balik KPK dan melaporkan puluhan akun media sosial yang menyebarkan meme lucu perihal Novanto. Tak kehabisan akal, ia pun menyeret-nyeret Presiden, Polri, TNI, serta mahkamah internasional ke dalam perkaranya dengan dalih mohon perlindungan. Akal sehat publik dilawan, aturan hukum ditekuk-tekuk.

Pilar parlemen satunya, yaitu DPD, juga berkalang noda. Sebabnya, sang ketuanya, Irman Gusman, tertangkap tangan–juga dua penyuapnya–oleh penyidik KPK karena menerima suap Rp100 juta. Padahal, ia bos para senator yang kerap nyaring berteriak betapa bahayanya korupsi. Ia mengusulkan hukuman mati bagi para pelakunya. Namun, citra ‘orang baik’ yang selama ini melekat, sirna sudah dalam waktu sekejap. Semua hal bajik serupa bungkus tebal untuk barang buruk.

Kita juga dibuat terkesiap manakala seorang hakim ketua di lembaga yudikatif sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) diciduk KPK lantaran menerima suap. Tak tanggung-tanggung, ketua MK Akil Mochtar bahkan dijerat dengan lima dakwaan. Pertama, kasus suap pengurusan perkara sengketa pilkada di Lebak, Banten. Kedua, kasus suap pengurusan perkara sengketa pilkada di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ketiga, kasus dugaan gratifikasi terkait pengurusan sembilan pilkada lainnya di MK. Keempat dan kelima, Akil dijerat dengan dua dakwaan kasus pencucian uang.

Belum kering aib pada MK, di periode berikutnya, giliran hakim konstitusi Patrialis Akbar terlibat kejahatan hina itu. Ia diduga menerima suap yang jumlah totalnya mencapai Rp2,15 miliar terkait pengurusan perkara judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Akil dan Patrialis memang sengaja merobek-robek hukum yang mestinya mereka tegakkan. Padahal, dari sisi kelembagaan, MK ialah ‘institusi di atas institusi’. Mengapa? Karena keputusan-keputusannya, menurut undang-undang, final dan mengikat. Karena itu, undang-undang menyaratkan para hakim MK mesti berjiwa negarawan.

Bujuk rayu korupsi pun menyasar ke lembaga yudikatif lain, Mahkamah Agung (MA). Salah satu pejabat terasnya, yakni Sekretaris MA Nurhadi, terjaring operasi tangkap tangan KPK. Lagi-lagi, karena terlibat suap. KPK juga mencokok Panitera PN Jakpus Edy Nasution dan Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga, Doddy Aryanto Supeno.

Gurita korupsi tak berhenti membelit cabang legislatif dan yudikatif, tetapi cengkeramannya juga membawa puluhan pejabat eksekutif meringkuk di penjara. Jika di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terjaring korupsi didominasi para menteri dan ketua partai politik, maka di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) “pasiennya” lebih banyak para kepala daerah. Belum cukup, sejumlah hakim, jaksa, dan polisi, sialnya turut melakukan praktik tercela itu. Sempurna: alangkah rapuhnya pilar-pilar penting dalam organ negara. Oknum-oknum inilah yang telah meruntuhkan kepercayaan publik pada lembaga negara.

Benteng Terakhir

Dengan kasus yang menyeret para pembesar itu, kita sudah bisa menyimpulkan bagaimana wajah bopeng trias politika kita. Fakta-fakta durjana (jahat) di atas membuktikan betapa di banyak strata pejabat negara mengalami kelumpuhan akal sehat mengurus publik, sebagai tugas utamanya. Inilah sebuah paralisis, kondisi kehilangan daya bergerak, yang amat serius.

Alegori apa yang paling mewakili perasaan kita untuk menggambarkan keadaan ini selain paralisis (kelumpuhan) mengurus warga negara? Dan, publik mulai mengalami kelumpuhan kepedulian pula. Barangkali, kita tak lagi kaget pada yang lancung dan durjana. Emosi kita seperti datar, bahkan cenderung melandai, pada soal ini: korupsi. Mungkin karena terus terjadi, dan yang muskil-muskil telah pula menguras emosi.

Karena itu, kita berharap Ketua MPR Zulkifli Hasan menjadi benteng terakhir parlemen dari serangan korupsi. Lebih-lebih presiden Jokowi dan para pembantunya, selain menjadi benteng di jajaran eksekutif, mesti berdiri di depan merancang bangun sistem imun terhadap korupsi dan segala laku durjana. Berkelindan dengan itu, KPK sebagai lembaga predator korupsi harus kian diperkuat. Jika benteng ini jebol juga, habislah negara kita. (www.nusantara.news)

BERITA TERKAIT

Surplus Anggaran Cerminkan Tren Positif Kinerja APBN

    Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung   Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…

Pemerintah Jalankan Strategi Proaktif Demi Cegah PHK

  Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…

Ajaran Konstitusionalisme dalam Konsep Negara Hukum di RI

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Surplus Anggaran Cerminkan Tren Positif Kinerja APBN

    Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung   Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…

Pemerintah Jalankan Strategi Proaktif Demi Cegah PHK

  Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…

Ajaran Konstitusionalisme dalam Konsep Negara Hukum di RI

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…